Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Haji dan Umrah

Safa dan Marwa, Salah Satu Syiar Allah

Safa dan Marwa, Salah Satu Syiar Allah

Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):: "Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah [tanda-tanda atau tempat beribadah kepada Allah]. Maka barang siapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, tidalah dosa baginya[1] mengerjakan Sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 158]

Sa`i antara Shafa dan Marwa adalah salah satu syiar Haji sejak dari zaman Ibrâhîm—`Alaihissalâm, sebagai pengingat nikmat Allah yang diberikan kepada siti Hâjar dan putranya Ismâ`îl, ketika Dia menyelamatkannya dari kehausan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya, disebutkan bahwa: ".Ia (Hâjar) pun bertolak pergi karena iba melihat putranya, sampai ia menemukan bukit Shafa, bukit terdekat darinya dan naik ke atasnya. Lalu ia menghadap ke arah lembah untuk melihat apakah ada seseorang, namun ia tidak melihat seorang pun. Kemudian ia turun dari Shafa dan mendatangi bukit Marwa dan melihat apakah ada seseorang, namun ia tidak melihat seorang pun. Ia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali." Ibnu Abbâs berkata, "Lalu Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda, 'Oleh karena itulah manusia melakukan Sa`i di antara keduanya." [HR. Al-Bukhâri]

Dalam riwayat yang lain dari Anas ibnu Mâlik, ia ditanya tentang Shafa dan Marwa. Lalu ia menjawab, "Sebelumnya kami menganggap hal itu adalah amalah Jahiliyah, ketika Islam datang, kami tidak melakukannya hingga turunlah firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): 'Shafa dan Marwa adalah Syiar Allah'." [HR. Al-Bukhâri]

Mazhab mayoritas Ulama, bahwa Sa`i adalah salah satu rukun Haji yang tidak sah ibadah Haji tanpanya, dengan dalil ayat di atas, dan dari perbuatan Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—ketika Haji Wadâ`. Di dalam kitab Shahîh Muslim, diriwayatkan bahwa Jâbir menyifati Hajinya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, ia berkata, "Setelah ia selesai melakukan Thawâf di Baitullah, ia kembali ke rukn (Hajar Aswad) dan menyalaminya, kemudian keluar dari pintu Shafa sambil melantunkan firman Allah: "Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah.", kemudian beliau bersabda, 'Aku akan memulai (bersa'i) dari (tempat) yang pertama disebut oleh Allah (Shafa)'." [HR. Muslim]. Dan diriwayatkan secara shahîh dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bahwa beliau bersabda, "Ambillah manasik kalian dariku." [HR. Muslim]

Dalam kitab Al-Musnad, imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad hasan dari Abu Muhaishan—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Aku melihat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersa`i di antara Shafa dan Marwa, dan orang-orang berada di hadapan beliau, beliau di belakang mereka bersa`i, sampai aku melihat lutut beliau karena semangatnya beliau bersa`i, sehingga kain beliau berputar-putar, sambil beliau bersabda, 'Barsa`ilah kalian, karena Allah telah mewajibkan bagi kalian Sa`i'." [HR. Ahmad]

Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):: ".Tidalah dosa baginya mengerjakan Sa'i antara keduanya."

Zahir ayat ini menampakkan bahwa Sa`i antara Shafa dan Marwa tidak wajib. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Hadits Aisyah—Semoga Allah meridhainya—menerangkan maksud dari ayat ini. Malik meriwayatkan dari Hadits `Urwah ibnu Zubair—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Aku berkata kepada Aisyah—ketika itu aku masih kecil—Tidakkah engkau melihat firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah.dst? Maka tiadalah dosa bagi seseorang untuk tidak bersa`i di antara keduanya. Lalu ia—Semoga Allah meridhainya—berkata, 'Tidak demikian, kalau sendainya (maknanya) seperti yang engkau katakan, maka seharusnya akan berbunyi, 'Tidak ada dosa bagi kalian untuk tidak bersa'i.[2] Sesungguhnya ayat ini diturunkan kepada orang-orang Anshâr. Mereka dahulu mengagungkan Manât (nama berhala), sehingga mereka merasa keberatan bersa`i di antara Shafa dan Marwa. Setelah Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—tentang hal itu. Lalu turunlah firman Allah (yang artinya): "Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah."

Ayat di atas, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Aisyah—Semoga Allah meridhainya—turun untuk menghilangkan anggapan dan rasa risih sebagian kaum muslimin daam bersa`i di antara Shafa dan Marwa, karena kedua tempat tersebut pada zaman Jahiliyah menjadi tempat penyembahan berhala. Maka Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menafikan dosa untuk menghilangkan anggapan ini, bukan karena Sa`i di antara dua bukit tidak wajib, sebagaimana pemahaan sekilas dari zahir ayat tersebut.

Dalam riwayat Aisyah—Semoga Allah meridhainya—yang lain, dalam kitab Shahîhain, ia berkata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—telah mensyariatkan Sa`i di antara Shafa dan Marwa, maka tak seorang pun yang boleh meninggalkannya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Selain itu, penafian junâh (dosa) dalam ayat di atas bagi orang yang melaksanakan Haji dan Umrah, menunjukkan bahwa Sa`i tidak boleh dilakukan secara tersendiri, melainkan harus dilakukan dalam rangka Haji dan Umrah. Hal ini berbeda dengan Thawâf di Ka`bah yang disyariatkan melakukannya secara tersediri, tidak hanya dalam rangka untuk Haji atau Umrah.

Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ: ".Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan.", yakni mengerjakan ketaatan ".Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." Yakni, Memberi pahala terhadap ketaatan, dan tidak ada yang tersembunyi darinya.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menerangkan bahwa sebaik-baik kebaikan adalah ketaatan dan ibadah yang dilakukan oleh hamba yang mendekatkan dirinya kepda Tuhannya. Hal ini karena semakin seorang hamba menaati Penciptanya, maka semakin bertambah pula kebaikan dan kesempurnaannya, serta derajatnya akan semakin tinggi di sisi Allah.

Di dalam ayat di atas juga terdapat dalil lain yang ditunjukkan oleh spesifikasi kata tathawwa`a (melakukan ibadah yang disyariatkan) dengan imbuhan kata khair (kebaikan), karena spesifikasi ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan amalan bid`ah yang tidak disyariatkan oleh Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ, atau melakukan amalan yang diperintahkan oleh Allah tetapi dengan cara yang tidak disyariatkan oleh-Nya, amalannya tersebut tidaklah diterima dan pelakunya tidak akan mendapatkan pahala selain kepenatan. Orang yang kondisinya seerti itu tergolong ke dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):: "Katakanlah: 'Apakah akan kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." [QS. Al-Kahf: 103-104]

Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—yang artinya: ".Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui."

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah menerima amalan yang sedikit dari hamba-Nya dan memberinya pahala yang besar. Selain itu ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi gantinya yang lebih baik. Barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah sejengkal, niscaya Allah akan mendekat kepadanya sehasta. Dan bahwa Allah Maha Mengetahui kondisi makhluk-Nya, siapa saja yang berhak menerima pahala dan yang harus menuai hukuman.

Keseluruhan ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang bersa`i antara Shafa dan Marwa haruslah menghadirkan (dalam dirinya) rasa kefakiran dan kehinaannya di hadapan Penciptanya, kebutuhannya terhadap hidayah-Nya, kebaikan pribadinya, ampunan terhadap dosanya, dan bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah selain kepada-Nya. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman yang artinya: "Hai manusia, kalian lah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah lah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." [QS. Fâthir: 15]



[1] Ungkapan "tidak ada dosa" tersebut dikarenakan sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa`i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala, dan karena di masa Jahiliyah, tempat itu juga digunakan sebagai tempat Sa`i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini.

[2] (Sementara terjemah ayat yang sebenarnya berbunyi, "Tiada dosa bagi kalian untuk bersa`i di antara keduanya.")

Artikel Terkait