Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Jalan Menuju Surga

Apakah Engkau Menginginkan Keselamatan?

Apakah Engkau Menginginkan Keselamatan?

Ketika turun firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." [QS. Asy-Syu`arâ': 214], Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—naik ke bukit Shafâ, lalu berseru, "Wahai Bani Ka'ab ibnu Lu'ay, selamatkanlah diri kalian dari Neraka. wahai Bani Murrah ibnu Ka'ab, selamatkanlah diri kalian dari Neraka. Wahai Bani Abdi Syams, selamatkanlah diri kalian dari Neraka. Wahai Bani Abdi Manâf, selamatkanlah diri kalian dari Neraka. Wahai Bani Hâsyim, selamatkanlah diri kalian dari Neraka. Wahai Bani Abdil Muththalib, selamatkanlah diri kalian dari Neraka. Wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari Neraka. Sesungguhnya aku tidak memiliki (pertolongan) apa pun untuk menyelamatkan kalian dari (azab) Allah." [HR. Muslim]

Sungguh sebuah peringatan menakutkan yang disampaikan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk memulai dakwah beliau. Seruan ini mengetuk pintu hati sebelum menyentuh pendengaran, guna membangunkan hati dari tidurnya, supaya tersadar dan kembali kepada Tuhannya, untuk memulai perjalanan menuju terminal kebahagiaannya di dunia dan Akhirat; yaitu ketika ia mengetahui tugasnya yang karena itu ia diciptakan. Sehingga ia pun hidup dengan Allah, untuk Allah, dan bersama Allah.

Demikian pula halnya setiap orang yang ingin berjalan di atas jalan Allah, harus memulai langkah pertamanya di atas jalan yang penuh berkah ini dengan membekali diri pertama kali dengan rasa takut kepada Tuhan Yang Mahatahu segala yang gaib.

Perjalanan menuju Allah sesungguhnya hanya bisa ditempuh oleh hati, bukan raga. Dan tidak mungkin bisa berjalan menuju Allah hati yang masih terlelap di atas kasur kelalaian atau terbelenggu oleh belenggu dosa. "Karena bagaimana mungkin berjalan menuju Allah seorang hamba yang terbelenggu oleh syahwatnya. Bagaimana mungkin ia ingin menghadap Allah, sementara ia belum bersuci dari junub kelalaiannya?"

Oleh karena itu, seorang yang mencari keselamatan membutuhkan energi iman yang tinggi, yang dapat membebaskannya dari belenggu tersebut, sehingga hatinya bebas dan merdeka. Ia berjalan menuju Tuhannya dengan keinginan dan semangat yang menggelora. Dan sebaik-baik pembangkit energi iman itu adalah rasa takut kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Sebagaimana disampaikan oleh Ibrahim Asy-Syaibâni ketika ia berseru, "Rasa takut kepada Allah apabila telah bersarang di hati, ia akan membakar seluruh tempat syahwat yang ada di dalamnya dan mengusir dari sana kecintaan terhadap dunia." [Syu'ab Al-Îmân, Al-Baihaqi]

Bahkan khauf (rasa takut) ini merupakan konsep dasar yang diwariskan dari manusia terbaik, Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, ketika beliau mengarahkan kita dalam sabda beliau, "Barang siapa yang takut pasti akan berangkat di awal malam, dan barang siapa yang berangkat di awal malam pasti akan berhasil mencapai kedudukan (yang didambakannya). Ketahuilah bahwa barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah bahwa barang dagangan Allah itu adalah Surga." [Menurut Al-Albâni: shahîh]

Apakah Engkau Menginginkan Keselamatan?

Saudaraku, apakah engkau menginginkan keselamatan? Maukah engkau merasa aman kelak pada hari Kiamat, ketika manusia ketakutan? Maukah engkau meraih Surga ketika orang-orang merugi tidak mendapatkannya? Jika demikian, engkau harus takut kepada Allah yang Mahahidup lagi Maha Mengatur. Lihatlah, Allah—Subhânahu wata`âlâ—memberi kabar gembira sekaligus peringatan kepadamu pada saat yang sama. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dalam sebuah hadits Qudsi: "Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan pada diri hamba-Ku dua rasa takut dan dua rasa aman. Apabila ia takut kepada-Ku di dunia, niscaya Aku akan membuatnya merasa aman pada hari Kiamat. Dan apabila ia merasa aman dari-Ku di dunia, niscaya Aku akan membuatnya takut pada hari Kiamat." [Menurut Al-Albâni: shahîh]

Kemudian datang pula janji Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada segolongan orang yang takut kepada Tuhan mereka. Beliau bersabda, "Tidak akan masuk Neraka seorang hamba yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu balik kembali ke kantongnya." [Menurut Al-Albâni: shahîh]

Jika seorang mukmin di Akhirat diberikan hanya satu kebun, maka Allah—Subhânahu wata`âlâ—memberikan hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya dua kebun Surga. Allah berfirman (yang artinya): "Dan bagi orang yang takut kepada saat menghadap Tuhannya, ada dua kebun (Surga)." [QS. Ar-Rahmân: 46]. Maka berbahagialah orang-orang yang takut dan beriman.

Simaklah apa yang dikatakan oleh Mujâhid—Semoga Allah merahmatinya—ketika ia menafsirkan siapa hamba yang takut kepada Tuhannya di dalam ayat di atas, "Ia adalah seorang yang ingin melakukan maksiat, lalu ia mengingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah (kelak), lalu ia pun meninggalkan maksiat itu. Maka untuknya disediakan dua taman Surga." [Tafsir Ath-Thabari]

Sayapmu, Wahai Burung.

Saudaraku, jika engkau ingin hidup di bawah lindungan Allah dalam kehidupan ini, jika engkau berharap untuk tinggal di sisi-Nya setelah berpindah dari dunia ini menuju Akhirat, maka engkau harus beranjak menuju teras Tuhanmu hari ini juga sebelum datang esok hari, bukan dengan berjalan kaki, tetapi dengan terbang menuju-Nya dan melayang di langit keimanan. Kekuatan sayapmu amat menentukan sejauh mana engkau akan mampu meraih cita-citamu. Tetapi, tahukah engkau, di mana engkau bisa mendapatkan sayap itu?

Ibnul Qayyim berkata, "Hati dalam perjalanannya menuju Allah—Subhânahu wata`âlâ—bagaikan burung. Cinta (kepada-Nya) sebagai kepalanya, khauf (takut kepada-Nya) dan rajâ' (mengharap rahmat-Nya) sebagai kedua sayapnya. Ketika kepala dan kedua sayapnya sehat, burung itu akan baik terbangnya. Ketika kepalanya terputus, ia pun akan mati. Dan ketika kedua sayapnya hilang, ia pun akan menjadi mangsa pemburu dan hewan pemangsa." [Madârijus Sâlikîn]. Bagaimana mungkin engkau terbang tanpa sayap?! Bagaimana mungkin engkau berjalan menuju Tuhanmu tanpa hati yang mengalir di dalamnya sungai khauf dan rajâ'?!

Sungguh, ini adalah metode tarbiyah yang diajarkan kepada kita oleh seorang pendidik jenius, Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya, yang intinya: Bahwa hati yang hendak berjalan menuju Tuhannya haruslah memiliki bangun tubuh yang mencakup dua hal, yaitu khauf dan rajâ'.

Penyebab Uban

Saudaraku, jika engkau merenungkan perjalanan para nabi dan rasul, engkau akan menemukan bahwa khauf (rasa takut) yang luar biasa kepada Allah merupakan ciri khas kehidupan mereka. Dan yang paling terdepan dalam hal ini tentu adalah penghulu sekalian manusia yang takut kepada Allah, yaitu Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam. Cukuplah bagimu mendengar getaran hati beliau karena rasa takut itu, melalui sabda beliau, "Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak dilihat oleh kalian dan mendengar apa yang tidak didengar oleh kalian. Langit meringis, dan memang sangat pantas ia meringis, karena tidak satu pun tempat seluas empat ruas jari di sana kecuali ada Malaikat yang meletakkan keningnya untuk bersujud kepada Allah. Demi Allah, kalaulah kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis, dan kalian tidak akan bisa menikmati istri kalian di atas kasur, dan kalian akan keluar menuju tempat yang tinggi dan berteriak (memuji dan mengemis ampunan) kepada Allah." [Menurut Al-Albâni: hasan]

Sebuah hadits juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—bahwa Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya—berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Anda telah beruban!" Rasulullah menjawab, "Aku telah dibuat beruban oleh surat Hûd, Al-Wâqi'ah, Al-Mursalât, `Amma Yatasâ'alûn, dan Idzasy Syamsu Kuwwirat." [Menurut Al-Albâni: shahîh]. Inilah bentuk rasa takut yang sampai membuat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beruban.

Pewaris Rasa Takut

Adapun para shahabat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, mereka telah mewarisi dari beliau rasa takut (kepada Allah) ini. Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata tentang mereka, "Orang yang memperhatikan sosok-sosok shahabat—Semoga Allah merihdi mereka—akan melihat betapa mereka berada pada puncak amal shalih dan puncak rasa takut kepada Allah. Sementara kita sekarang malah menggabungkan antara kekurangan amal baik dengan perasaan aman (tidak takut). Lihatlah Abu Bakar Ash-Shiddîq—Semoga Allah meridhainya) yang pernah berkata, 'Aku sebenarnya ingin hanya menjadi sehelai rambut di tubuh orang yang beriman'. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia pernah memegang lidahnya, kemudian berkata, 'Inilah yang menjerumuskanku ke dalam bahaya'. Ia juga sangat banyak menangis, dan pernah berkata, 'Menangislah! Kalau engkau belum bisa menangis, buatlah seperti orang menangis!'" [Ad-Dâ' wad-Dawâ']

Suatu malam, Tamîm Ad-Dâri—Semoga Allah meridhainya—membaca surat Al-Jâtsiyah. Ketika ia sampai di ayat (yang artinya): "Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." [QS. Al-Jâtsiyah: 21], ia mengulang-ulang ayat ini sambil menangis sampai subuh hari. [Shifatush-Shafwah, Ibnul Jauzi]

Orang-orang Shalih Meniti Jalan Kebenaran

Fathimah bintu Abdul Malik, istri Umar ibnu Abdul Aziz, pernah berkata kepada Mughîrah ibnu Hakam, "Wahai Mughîrah, sungguh akan ada di antara manusia orang yang lebih banyak shalat dan puasanya daripada Umar. Tetapi aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih takut kepada Tuhannya melebihi Umar. Apabila selesai shalat Isyâ, ia duduk di mesjid (tempat shalatnya), kemudian mengangkat kedua tangannya sambil terus-menerus menangis hingga ia tertidur, kemudian ia terbangun lagi dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis sampai ia tertidur kembali." [Siyari A'lâmin-Nubalâ', Adz-Dzahabi]

Suatu hari, Umar menangis, Fathimah pun ikut menangis. Lalu seluruh isi rumah menangis, tidak diketahui apa yang menyebabkan mereka ikut menangis. Setelah selesai menangis, Fathimah berkata, "Wahai Amîrul Mukminîn, apakah yang membuat Anda menangis?" Umar menjawab, "Wahai Fathimah, aku merenungkan nasib manusia kelak di hadapan Allah. Sebagian ada yang ke Surga dan sebagian yang lain ke Neraka."

Al-Marwazi bercerita, "Abu Abdullah (Imam Ahmad ibnu Hanbal) apabila mengingat kematian, ia tercekik oleh air mata. Ia juga pernah berkata, "Rasa takut kepada Allah mencegahku makan dan minum. Ketika aku mengingat mati, ringan bagiku seluruh perkara dunia. (Apa yang ada di dunia) hanyalah makanan yang tidak sebanding dengan makanan di Akhirat kelak, pakaian yang tidak sebanding dengan pakaian di Akhirat kelak. Ia hanyalah hari-hari yang sedikit. Aku tidak akan mengganti kefakiran ini dengan apa pun. Kalaulah aku menemukan jalan, niscaya aku akan keluar (dari negeriku), hingga tiada kenangan tentangku (demi menghindari riya)." [Siyaru A'lâmin-Nubalâ', Adz-Dzahabi]

Khauf (Rasa Takut) yang Kita Inginkan

Di sini kita harus mengambil sebuah pelajaran penting bahwa: "Khauf (rasa takut) bukanlah sebuah tujuan, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lain. Oleh karena itu, khauf akan hilang dengan hilangnya apa yang ditakutkan itu. Karena penduduk Surga tidak lagi merasa takut di dalamnya dan tidak pula bersedih. Khauf berkaitan dengan perbuatan, sementara mahabbah (cinta) berhubungan dengan Dzat dan sifat. Khauf yang terpuji adalah khauf yang mencegah seseorang dari perkara-perkara yang diharamkan Allah. Apabila khauf terlalu berlebihan, dikhawatirkan akan menjelma menjadi rasa rasa putus asa. Abu `Utsman pernah berkata, 'Khauf yang benar adalah wara' (menjaga diri) dari dosa-dosa, baik yang lahir maupun yang batin'. Aku juga mendengar Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah—Semoga Allah mensucikan ruhnya—berkata, 'Khauf yang terpuji adalah yang mencegah dirimu dari perkara-perkara yang di haramkan oleh Allah'." [Madârijus Sâlikîn]

Pertanyaan yang Mengganjal

Saudaraku, engkau telah melihat beberapa contoh pola hidup Nabi kita—Shallallâhu `alaihi wasallam, para shahabat beliau—Semoga Allah meridhai mereka, dan juga para ulama generasi salaf yang mengikuti mereka dengan penuh kesetiaan. Sekarang, engkau harus menanyakan kepada dirimu sendiri sebuah pertanyaan yang mengganjal ini: Mengapa mereka merasa takut, sementara kita merasa tenang-tenang saja? Mengapa mereka sedemikian takutnya kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, padahal mereka sangat maksimal dalam beramal shalih? Apa pula yang menyebabkan kita sangat jauh dari rasa takut kepada Allah, padahal kita sangat tidak maksimal menjalankan kewajiban kita kepada-Nya?

Inilah obat untuk setiap diri yang menginginkan kesembuhan! Tidak diragukan lagi, bahwa khauf (rasa takut) memiliki faktor-faktor penyebabnya. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan hati dan akal manusia sampai kepada tingkatan khauf yang tinggi kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dan ketika kita melalaikan faktor-faktor itu, kita akan mendapatkan hati kita keras membatu dan lalai dari segala kewajibannya.

Barangkali salah satu yang terpenting dari faktor-faktor itu adalah renungan hati tentang hari Akhirat, dengan segala peristiwa yang terjadi saat itu, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sebagaimana dikatakan oleh Hanzhalah—Semoga Allah meridhainya, "RasulullahShallallâhu `alaihi wasallambercerita kepada kami tentang Surga dan Neraka seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala kami."

Demikianlah wahai saudaraku, hati kita harus membayangkan hari Akhirat dalam kehidupan dunia ini, supaya ia mengetahui apa saja yang terjadi di hari itu, sehingga ia pun selalu sadar akan kewajibannya, serta senantiasa dipenuhi oleh rasa takut kepada Tuhan yang membangkitkan manusia dari kubur, Tuhan tempat kembali segala urusan.

Wahai saudaraku, kita bisa memulainya dengan mendengarkan kaset-kaset ceramah tentang hari Akhirat, milik para dai yang terkenal dengan ceramah-ceramah pelembut hati. Atau bisa juga dengan membaca buku-buku tentang hari Akhirat.

Kiat lain yang juga penting dilakukan guna membantu kita mendapatkan rasa takut kepada Allah adalah dengan selalu mengingat hadits ini: "Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan pada diri hamba-Ku dua rasa takut dan dua rasa aman. Apabila ia takut kepada-Ku di dunia, niscaya Aku akan membuatnya merasa aman di hari Kiamat. Dan apabila ia merasa aman dari-Ku di dunia, niscaya Aku akan membuatnya takut di hari Kiamat."

Setiap kali nafsu menyuruhmu berbuat maksiat atau melalaikan ketaatan, ingatkanlah ia dengan hadits ini. Sebuah hadits yang mengabarkan kepada kita bahwa keamanan pada hari Kiamat hanya diberikan kepada orang yang takut pada Tuhannya di dunia. Ingatkanlah ia dengan hadits ini, mudah-mudahan hati menjadi tersadar, dan jiwa pun menjadi khusyuk.

Kalimat Penutup dari Al-Asybîli

Mungkin engkaulah, wahai para pemuda, yang diajak berbicara oleh Al-Asybîli ketika ia berkata, "Barangkali engkau merasa lama ketika melaksanakan dua rakaat shalat dengan membaca satu atau dua hizb (Al-Quran) di hadapan Tuhanmu. Barangkali engkau tidak mampu berjalan barang satu mil untuk memenuhi keperluan seorang muslim. Sementara di hadapanmu terdapat hari yang sangat panjang, hari yang berisi kesulitan yang luar biasa, hari yang tidak akan dipendekkan kecuali bagi orang yang lama berlelah diri untuk Allah, hari yang tidak akan dimudahkan kecuali bagi orang yang sabar memikul segala kewajiban berat karena Allah.

Mungkin ketika engkau dapat melaksanakan shalat dalam satu malam, engkau tidak mampu melakukannya di malam yang lain. Mungkin engkau mampu berjalan pada suatu hari untuk membantu seorang muslim, namun tidak mampu dan malas melakukannya pada hari yang lain. Mungkin juga engkau mampu berjalan untuk sebuah kesia-siaan sepanjang satu mil, dua mil, atau lebih dari itu. Kalaulah engkau merenungkan keadaan dirimu dan melihat kepada apa yang diinginkan darimu, niscaya akan ringan bagimu segala urusan yang berat, serta akan dekat bagimu segala yang jauh. Karena itu, beramallah di hari-hari yang singkat ini, di umur yang pendek ini, untuk menghadapi hari-hari dan usia yang panjang kelak."

Artikel Terkait