Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Al-Qur’an
  5. Tafsir Al-Qur’an

Ayat-ayat Pemberi Harapan

Ayat-ayat Pemberi Harapan

Karya: Muhammad Nashr

Para ulama sering membahas tentang ayat yang paling memberi harapan di dalam Al-Quran. Yaitu ayat yang membuka pintu harapan bagi orang-orang yang berlumur dosa dan maksiat, sehingga hati mereka kembali luluh untuk berzikir kepada Allah. Dalam tulisan ini, saya akan menampilkan dua contoh ayat yang saya kutip dari penjelasan Syaikh Al-Muqaddam, dan tafsir Al-Qurthubi. Semoga hati kita dilunakkan oleh Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ.

Ayat Pertama:

Ali—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Ayat yang paling mengandung harapan adalah firman AllahSubhânahu wa Ta`âlâ(yang artinya): 'Dan apa pun musibah yang menimpa kalian (sebenarnya) adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).' [QS. Asy-Syûrâ: 30]." Kemudian Ali berkata, "Apabila Allah menghapus dosa-dosa melalui musibah, serta memaafkan sebagian besar (kesalahan-kesalahan kita) maka apa lagi yang akan tersisa setelah penghapusan dan pengampunan Allah itu?!"

Semoga Allah memberikan ampunan dan keselamatan kepada kita semua, di dunia dan di Akhirat. Amin.

Ayat Kedua:

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat mereka, orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. An-Nûr: 22]

Maksudnya, janganlah kalian bersumpah untuk tidak menyambung tali silaturahim dengan kaum kerabat kalian, golongan orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Ayat ini mengandung nilai kelembutan dan kasih sayang dalam hal silaturahim. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada." Yaitu memafkan kelaliman dan perlakuan buruk yang pernah dilakukan orang lain kepada mereka. Dan ini tentunya adalah bentuk kesabaran, kemurahan, dan kelembutan Allah terhadap para makhluk-Nya, walaupun mereka telah menzhalimi diri mereka sendiri.

Ayat ini turun berkaitan dengan kisah Abu Bakar Ash-Shiddîq, ketika ia bersumpah untuk tidak lagi memberi bantuan kepada Misthah ibnu Utsâtsah karena ikut serta menyebarkan berita bohong tentang 'Aisyah, sebagaimana disebutkan di dalam hadits. Tatkala Allah menurunkan ayat yang membuktikan ketidakbersalahan Ummul Mukminîn, 'Aisyah, dan hati orang-orang yang beriman pun telah merasa tenang, Allah juga telah mengampuni dosa orang-orang mukmin yang ikut membicarakan berita bohong itu, dan hukuman kepada orang-orang yang patut menerimanya juga telah diberlakukan, Allah Sang pemilik segala karunia pun memerintahkan kepada Abu Bakar untuk kembali berbuat baik kepada kerabat dan familinya, yaitu Misthah ibnu Utsâtsah. Misthah merupakan anak dari bibi Abu bakar, dan hidup dalam keadaan miskin. Ia tidak memiliki harta apa-apa kecuali nafkah yang diberikan kepadanya oleh Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya. Ia juga termasuk orang-orang yang ikut berhijrah di jalan Allah. Ia ikut terlibat dalam menyebarkan "Berita Bohong" tentang 'Aisyah itu. Lalu Allah mengampuni dosanya, dan kemudian hukuman diberlakukan kepadanya.

Sebagaimana yang kita ketahui, Abu Bakar sangat terkenal dengan kedermawanannya. Ia suka memberi bantuan kepada kerabat dan orang lain. Ketika turun ayat ini sampai ke fiman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Maksudnya, seseorang akan diberi balasan sesuai amalan yang dilakukannya. Seakan Allah berfirman (yang artinya): apabila engkau memberikan maaf kepada orang yang melakukan kesalahan kepadamu, kami juga akan memaafkanmu. Dan pabila engkau berlapang dada, kami juga akan berlapang dada. Saat itu, Abu Bakar langsung berkata, "Tentu, demi Allah, sungguh kami sangat ingin Engkau mengampuni kami, wahai Allah."

Lalu Abu Bakar pun kembali memberi nafkah kepada Misthah sebagaimana sebelumnya, seraya berkata, "Demi Allah, aku tidak akan pernah mencabut nafkah ini darinya selamanya." Ucapan ini adalah ganti dari perkataan yang pernah terucap dari mulutnya sebelum itu: "Demi Allah, setelah ini aku tidak akan lagi memberi nafkah kepada Misthah untuk selamanya." Karena inilah mengapa Abu Bakar benar-benar layak disebut sebagai sosok Ash-Shiddîq (yang selalu membenarkan)—Semoga Allah meridhainya dan putrinya.

Abdullah ibnul Mubârak pernah berkata, "Ini merupakan ayat yang paling banyak mengandung pengharapan di dalam kitab Allah."

Sebagian ulama mengatakan, "Ini merupakan ayat yang paling memberi harapan di dalam kitab Allah." Ulama yang lain juga pernah berkata, "Ini merupakan ayat yang paling memberi harapan di dalam kitab Allah, karena di dalamnya Allah memperlihatkan kelembutannya kepada para pemfitnah dan pelaku dosa dengan menggunakan lafaz tersebut." Kita berdoa semoga Allah mengampuni kita semua.

Terakhir, ada dua yang perlu diingatkan. Pertama, kita harus bersyukur kepada Allah atas kebesaran rahmat dan karunianya-Nya untuk kita. Kedua, kita tetap harus ingat bahwa Allah juga memiliki hukuman yang sangat keras. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya):"Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih." [QS. Al-Hijr: 49-50]

Dengan demikian, kita harus berada di antara perasaan takut dan perasaan harap. Semoga Allah melingkupi kita semua dengan ampunan dan rahmat-Nya.

Oleh: Muhammad Nashr

Artikel Terkait