Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Fikih
  5. Dosa Besar dan Dosa Kecil

Adab Ketika Bermaksiat

 Adab Ketika Bermaksiat

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menciptakan seluruh makhluk dan berfirman (yang artinya): "Apakah (Allah) Yang menciptakan itu tidak mengetahui sementara Dia Mahahalus lagi Maha Mengenal?” [QS. Al-Mulk: 14]. Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan seluruh makhluk dengan kondisi, sifat, dan bentuk yang telah diketahui-Nya. Allah juga menaruh sifat-sifat dan perangai-perangai tertentu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya pada mereka serta menjadikan mereka mempunyai kelemahan, kekurangan, dan kesalahan. Namun, Allah tetap Mahahalus terhadap mereka dengan segala watak yang diberikan-Nya untuk mereka sekaligus Maha Mengenal mereka berikut segala hal yang mereka perbuat. Di sini Allah menetapkan adanya kesalahan, dosa, dan maksiat pada mereka.

Jadi, maksiat (dosa) merupakan sebuah keniscayaan. Tidak ada seorang pun yang bersih dari hal itu—apapun jenis kelamin, sifat, bentuk dan kedudukannya—kecuali para nabi. Bahkan, jelas termaktub di dalam hadits tentang syafaat bahwa ketika umat manusia datang kepada Nabi Adam—`Alaihis salâm—untuk meminta syafaat, beliau menjawab dengan mengatakan, "Tuhanku telah murka dengan kemurkaan yang tidak pernah terjadi sebelum ataupun setelah kemurkaan kali ini. Dia dulu melarangku (mendekati) pohon (Khuldi di Surga), namun aku justru melanggarnya. (Aku justru mengkhawatirkan) dirikulah! (Aku justru mengkhawatirkan) diriku !” [HR. Al-Bukhâri].

Oleh karena terjadinya dosa merupakan sebuah kepastian, maka pengenalan akan adab-adab yang harus dijaga ketika kita telah terlanjur jatuh ke dalam dosa itu juga mesti diketahui sedemikian rupa sebagaimana digambarkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan Rasul-Nya, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Sebenarnya saya sempat ragu ketika akan memberi judul tulisan ini dengan "Adab Ketika Bermaksiat", karena khawatir judul itu akan dipahami sebagai sikap menyepelekan, memperkenankan, serta membenarkan perbuatan maksiat (dosa), sementara jelas-jelas berbuat maksiat merupakan perkara besar dan kejahatan yang tidak ringan.

Lalu saya pun melakukan istikhârah (meminta petunjuk Allah) dan berkonsultasi (dengan orang yang berkompeten). Kemudian akhirnya saya mantap untuk menuliskan artikel ini. Tujuannya adalah dalam rangka memperlihatkan adab-adab islami dalam menjaga karakter manusiawi pada penetapan hukum, beban-beban Syariat, perintah-perintah dan larangan dalam agama ini, serta pengarahannya yang kuat untuk membersihkan, memperbaiki, dan menyucikan setiap pemeluknya dari perbuatan-perbuatan kotor Syetan.

Di sisi lain, penjelasan mengenai adab-adab ini juga merupakan sebuah bentuk upaya untuk memperlihatkan keluasan rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ—sekaligus kemeliputan pengetahuan, kemurahan, serta kelapangan pintu maaf-Nya. Di samping itu, hal tersebut juga akan memperlihatkan bagaimana Allah—Subhânahu wata`âlâtelah mengenalkan diri-Nya kepada para hamba-Nya melalui berbagai cara yang ada.

Selain itu, di dalam tubuh umat Islam ada sekelompok orang yang begitu suka mendramatisir kemaksiatan dan menjelek-jelekkan orang-orang yang berbuat dosa sehingga hal itu membuat sang pelaku hampir tak lagi menemukan pintu yang terbuka menuju rahmat Allah karena ia telah dibuat putus asa dan hilang harapan. Padahal, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah menyampaikan firman-Nya kepada para hamba-Nya (yang artinya): "Katakanlah (wahai Rasul bahwa Aku telah berfirman), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang telah berlebihan melampaui batas dalam dirinya, janganlah kalian berputus asa dalam (mengejar) rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'” [QS. Az-Zumar: 53].

Renungkanlah bagaimana Dzat Yang Maha Penyayang, Pemilik tunggal kemuliaan dan keagungan, memanggil mereka dengan panggilan yang paling disukai-Nya, yaitu sebagai "hamba". Renungkanlah juga bagaimana Allah menegaskan keluasan rahmat-Nya di akhir ayat yang mulia ini.

Atas itu semua, demi Allah, tulisan ini bukanlah sebuah bentuk pembenaran dan pembolehan terhadap tindak kemaksiatan. Ia tidak lebih dari sebuah nasihat dari seseorang yang mencintai dan menyayangi saudaranya. Ini sebagaimana (pengakuan pelaku dosa) yang disebutkan dalam ayat Al-Quran (yang artinya): "Dan aku tidak menyatakan diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya hawa nafsu itu biasa memerintahkan perbuatan jahat, kecuali pada orang yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Yûsuf: 53].

Fikih Dosa

Yang dimaksud dengan fikih dosa adalah mengetahui beberapa kaidah penting dalam memahami dosa dan maksiat berdasarkan nas wahyu.

Pertama: Takdir Dosa dan Hikmahnya

Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menjelaskan di dalam kitab suci-Nya tentang kerasnya permusuhan Syetan—lanatullâh—terhadap hamba-hamba Allah—Subhânahu wata`âlâ, dan bahwa permusuhannya terhadap mereka akan tetap ada hingga Allah mengumumkan akhir (kehidupan) Syetan, kejahatan, serta kesyirikannya.

Renungkanlah dialog yang terdapat di dalam ayat-ayat berikut ini yang menggambarkan betapa kerasnya permusuhan Syetan terhadap hamba-hamba Allah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, 'Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku; maka tunduklah kalian dengan bersujud kepadanya’. Lalu para Malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; ia menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir. (Allah) berfirman, 'Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kekuasaan-Ku. Apakah engkau menyombongkan diri ataukah engkau (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?’ (Iblis) berkata, 'Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah’. (Allah) berfirman, 'Kalau begitu, keluarlah engkau dari Surga; sesungguhnya engkau adalah makhluk yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap berlaku atasmu sampai hari pembalasan’. (Iblis) berkata, 'Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan’. (Allah) berfirman, 'Sesungguhnya engkau termasuk golongan yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat)’. (Iblis) menjawab, 'Demi kemuliaan-Mu, aku pasti akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka’. (Allah) berfirman, 'Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Sungguh, Aku akan memenuhi Neraka Jahanam dengan engkau dan dengan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya’. Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu atasnya (dakwahku); dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada. (Al- Quran) ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sungguh kalian akan mengetahui (kebenaran) beritanya (Al-Quran) setelah beberapa waktu lagi’.” [QS. Shâd: 71-88].

Dan telah termaktub di dalam hadits-hadits shahîh, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda:

· "Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, Allah pasti akan melenyapkan kalian, lalu Dia akan mendatangkan satu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka meminta ampun kepada Allah, kemudian Allah pun mengampuni mereka.” [HR. Muslim];

· "Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas seorang anak Adam bagiannya dari zina. Dan ia pasti akan menemukan bagian tersebut.” [HR. Al-Bukhâri];

· "Sesungguhnya seorang mukmin itu diciptakan dalam kondisi selalu diuji, mau bertobat, sering lupa, dan bila diingatkan ia akan ingat.” [Menurut Al-Albâni: shahîh];

· "Setiap anak Adam itu banyak berbuat kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik mereka yang banyak melakukan kesalahan adalah orang-orang yang bertaubat.” [Menurut Al-Albâni: hasan].

Nas-nas ini dan nas-nas sejenisnya menjelaskan bahwa maksiat adalah takdir Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan itu sudah ditetapkan serta pasti berlaku.

Pertanyaannya: Apa hikmah ditakdirkannya dosa dan maksiat kepada para hamba?!

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang bijak dan penting dalam masalah ini. Orang yang merenungkan wahyu dengan sebenar-benarnya akan melihat bahwa Allah memiliki sifat " Mahabijaksana", dan kebijaksanaan Allah—Subhânahu wata`âlâ—membuat tidak mungkinnya Allah menetapkan suatu keputusan yang tidak berguna. Hal ini menunjukkan bahwa takdir tentang kepastian dosa merupakan takdir dari Dzat Yang Mahabijaksana, Mahacermat, lagi Maha Mengetahui.

Karenanya, lihatlah hikmah-hikmah ditakdirkannya dosa dan maksiat berikut ini:

1. Agar Allah dapat menegakkan hujjah terhadap sifat adil-Nya atas para hamba-Nya, sehingga ketika Allah menghukum seorang hamba karena dosa yang ia lakukan, itu dilakukan dengan hujjah;

2. Agar makna nama-nama dan sifat-sifat Allah dapat terwujud nyata. Karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—memiliki sifat pengasih dan pengampun. Sementara sifat kasih sayang dan ampunan itu mengharuskan adanya dosa yang diampuni;

3. Mengenal Allah—Subhânahu wata`âlâ—dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Di sini, perkenankan saya untuk memetik buah-buah ranum dari perkataan seorang imam rabbani, guru keimanan, Syaikhul Islâm, sekaligus dokter hati, yaitu Syamsuddin Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—saat beliau meresapi makna nas-nas wahyu dan menyingkap nilai-nilai agung di dalamnya tentang masalah ini. Beliau berkata: "(Dengan melihat takdir Allah yang telah berlaku terhadap dirinya dalam melakukan sebuah dosa), akan terwujud dalam diri seorang hamba beragam bentuk makrifatullah (pengenalan terhadap Allah), beserta nama-nama, sifat-sifat, kebijaksanaan, rahmat, ampunan, maaf, kesabaran, dan kemurahan hati-Nya. Makrifat (pengenalan) semacam ini mengharuskannya untuk berubudiyah kepada Allah dengan nama-nama itu. Dan ubudiyah semacam itu sama sekali tidak akan bisa terwujud tanpa mengenal seluk beluk nama itu. Di samping itu, seorang hamba juga akan mengetahui keterkaitan antara penciptaan, perintah, balasan, janji baik, dan ancaman Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ia menjadi tahu bahwa semua hal itu merupakan konsekuensi sekaligus dampak dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya di alam nyata. Setiap nama dan sifat Allah menuntut dan mengharuskan adanya dampak serta konsekuensi yang mesti berkaitan langsung dengannya. [Tahdzîbul Madârij, hal.132].

Selanjutnya, nikmatilah segarnya penggambaran yang begitu indah dari Imam Ibnul Qayyim terhadap hal ini. Beliau berkata, "Kondisi seperti ini mengantarkan seorang hamba kepada taman-taman indah berisi berbagai pengetahuan, keimanan, serta rahasia-rahasia takdir dan kebijaksanaan Allah, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di antaranya:

- Seorang hamba menjadi tahu kemahaperkasaan Allah dalam mewujudkan takdir-Nya.

Artinya, Allah adalah Dzat Yang Maha Perkasa, sehingga dapat menetapkan apa yang Dia kehendaki terhadap para hamba-Nya. Karena kesempurnaan keperkasaan-Nya, Allah bisa memberikan vonis dan ketetapan kepada para hamba. Dengan keperkasaan itu juga, Allah dapat membuat para hamba berkeinginan dan berkehendak sesuai dengan keinginan-Nya. Dan ini merupakan bukti sempurnanya keperkasaan Allah. Karena hanya Allah yang mampu melakukan itu. Makhluk Allah paling maksimal hanya bisa bertindak kepada tubuh dan zahir Anda. Adapun membuat Anda berkeinginan dan berkehendak sesuai kehendaknya, hanya bisa dilakukan oleh Allah, Sang Pemilik Keperkasaan yang luar biasa.

- Seorang hamba menjadi tahu bahwa dirinya diatur dan ditundukkan oleh Dzat lain. Kendali hidupnya tidak berada di tangannya sendiri. Tidak ada perlindungan baginya kecuali dengan perlindungan-Nya, dan tidak ada taufik (bimbingan) baginya kecuali dengan sepengetahuan-Nya. Ia hanyalah makhluk yang rendah lagi hina dalam genggaman Dzat Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.

- Seorang hamba menjadi tahu kebaikan Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam menutupi dirinya saat melakukan maksiat, padahal penglihatan Allah begitu sempurna terhadap dirinya. Seandainya Allah berkehendak, niscaya Dia akan mempermalukannya di hadapan para makhluk-Nya, sehingga mereka menghindarinya. Ini merupakan bagian dari bukti sempurnanya kebaikan Allah. Dan di antara nama Allah adalah "Yang Maha berbuat baik."

- Seorang hamba menjadi mampu menyaksikan kemurahan hati Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam memberi tangguh para pelaku kesalahan (dosa). Seandainya Allah berkehendak, niscaya Dia akan menyegerakan hukuman-Nya. Tetapi Allah adalah Dzat Yang Maha Penyantun yang tidak mau menyegerakan azab itu. Hal ini membuat sang hamba mengenal Tuhannya dengan nama-Nya "Al-Halîm (Yang Maha Penyantun)". Ia dapat secara langsung menyaksikan bukti sifat santun (murah hati) Allah, serta dapat beribadah kepada Allah dengan nama itu.

- Seorang hamba menjadi tahu betapa murahnya hati Allah dalam memberi maaf bila ia meminta maaf kepada-Nya. Allah menerima permohonan maafnya dengan sifat murah hati dan kedermawanan-Nya. Sehingga hal tersebut mengharuskannya untuk sibuk dengan berzikir dan bersyukur kepada Allah serta melahirkan kecintaan lain yang sebelum itu belum pernah ia rasakan.

- Dengan adanya dosa itu, Allah melengkapi bagi hamba-Nya tingkatan-tingkatan kehinaan, ketundukan, kepasrahan diri, dan kebutuhan kepada-Nya.

Sesungguhnya di dalam jiwa manusia ada kecenderungan untuk menandingi Tuhan. Andai saja mampu, niscaya ia akan mengatakan seperti perkataan Firaun. Firaun ditakdirkan mampu, sehingga ia bisa memperlihatkannya, sedangkan orang lain ditakdirkan tidak mampu, sehingga menyembunyikannya. Dan yang dapat menyelamatkan jiwa dari kecenderungan menandingi Tuhan itu adalah kerendahan diri dalam beribadah.

- Ditakdirkannya dosa itu juga menyimpan suatu rahasia agung yang tidak dapat ditampung oleh ungkapan kata, tidak bisa dijembatani oleh isyarat, dan tidak diserukan oleh penyeru keimanan di hadapan orang ramai, akan tetapi dapat disaksikan oleh hati para hamba pilihan. Rahasia itu adalah hadirnya kebahagiaan Allah disebabkan tobat hamba-Nya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahîh: "Sungguh, Allah lebih senang dengan tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya daripada senangnya seseorang yang semula ada di atas hewan tunggangannya di sebuah sahara yang sepi. Kemudian hewan tunggangannya itu terlepas darinya, padahal di atasnya ada (bekal) makanan dan minumannya. Ia pun putus asa untuk bisa mendapatkannya kembali. Lalu ia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawahnya. Ia betul-betul telah kehilangan harapan untuk mendapatkan kembali hewan tunggangannya. Namun ketika ia dalam kondisi demikian, tiba-tiba ia melihat hewan tunggangannya berdiri di sampingnya. Kemudian ia pun memegang tali kekang hewan itu, lalu berkata saking senangnya, 'Ya Allah! Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu’. Saking senangnya, ia salah (ucap).” [HR. Muslim].

Maksudnya, bahwa rasa senang Allah ini memiliki arti penting yang tidak pantas diabaikan begitu saja oleh seorang hamba. Dan itu tidak bisa diketahui kecuali oleh orang yang mempunyai pengetahuan khusus tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat, dan hal-hal yang pantas dengan kemahaagungan-Nya.

- Membuka kesempatan beribadah kepada Allah dengan memproklamirkan permusuhan antara dirinya dengan musuh Allah.

Barang siapa menyembah Allah—Subhânahu wata`âlâ—dengan menghadirkan tekad untuk menentang musuh Allah, berarti telah berjalan di atas titian kebenaran. Upaya menentang dan memproklamirkan perang dengan musuh Allah ini akan bisa terwujud sesuai dengan kadar cinta, loyalitas, atau permusuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Ini merupakan salah satu pintu penghambaan yang tidak diketahui kecuali oleh sedikit orang saja. Dan siapa yang telah mengecap rasa dan kelezatannya, niscaya akan menangisi hari-harinya yang telah lalu.

Orang yang telah sampai kepada posisi seperti ini, bila ia melihat Syetan dan merasa berada di dalam dosa, ia akan memproklamirkan perang dengan Syetan dengan cata bertobat secara tulus. Proklamasi permusuhan dengan Syetan ini dihitung sebagai satu bentuk ibadah (penghambaan) pula.

- Penghambaan diri kepada Allah dengan cara tobat merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling disukai oleh Allah.

Seorang hamba diuji dengan dosa karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—suka kepada ibadah tobat dan merasa senang dengannya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—senang karena tobat hamba-Nya melebihi senangnya seseorang yang menemukan kembali hewan tunggangannya yang membawa (bekal) makanan dan minumannya di suatu tempat terpencil, setelah ia kehilangan hewan itu dan tidak lagi memiliki harapan hidup.

Inilah sebagian dari hikmah dan rahasia tobat. Janganlah Anda mengabaikannya! Masih banyak lagi hikmah-hikmah luar biasa yang dijelaskan secara panjang lebar oleh Syaikhul Islâm Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—di dalam bukunya yang sangat berharga, "Madârijus Sâlikîn".

4. Kemudian renungkanlah, wahai manusia yang berbuat dosa dan banyak melakukan kesalahan, bahwa dosa-dosa dan maksiat tersebut ditakdirkan oleh Allah untuk para hamba-Nya agar mereka dapat melahirkan jenis penghambaan kepada Allah ini di dalam dirinya. Inilah makna yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Demi Dzaat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, Allah pasti akan melenyapkan kalian, lalu Dia akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka meminta ampun kepada Allah, kemudian Allah pun mengampuni mereka.”

Dosa dan maksiat memiliki dua aspek atau dua dampak:

Pertama, dampak negatif dan cepat menyerah. Dan ini adalah aspek negatif. Yaitu menyerah pasrah kepada maksiat, tenggelam di dalamnya, dan merasa tidak berdaya sama sekali, sehingga menghalangi pelakunya untuk bertobat, memohon ampunan Allah, dan beramal;

Kedua, dampak positif yang terpuji. Yaitu dampak yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana maksiat dan dosa membuat pelakunya menyadari hikmah dibalik kebijaksanaan Allah—Subhânahu wata`âlâ—mentakdirkan hamba-Nya melakukan semua itu.

Karenanya, wahai Anda yang semoga selalu dijaga oleh Sang Pencipta, renungkanlah semua pemaparan ini dan cermatilah indahnya hikmah di balik takdir Allah mengizinkan terjadinya dosa-dosa dan maksiat pada diri hamba-Nya.

Kedua: Dosa yang Biasa Dilakukan

Ini adalah fikih yang lebih spesifik dari yang sebelumnya. Karena mungkin saja ada dugaan bahwa bentuk-bentuk penghambaan yang disebabkan oleh perilaku maksiat dan dosa hanya terwujud ketika dosa dilakukan hanya satu kali. Karenanya, datanglah fikih kenabian ini untuk menjelaskan bahwa wujud penghambaan seperti ini bisa berulang dan terus ada setiap kali ada dosa.

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah bersabda dalam hadits-hadits berikut:

· "Sesungguhnya seorang hamba melakukan suatu dosa, kemudian ia berkata, 'Wahai Tuhanku, aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Lalu Tuhannya berfirman, 'Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dan menghapus dosanya? Aku telah mengampuni hambaku’. Beberapa waktu kemudian, sang hamba kembali melakukan suatu dosa. Lantas ia pun berkata, 'Ya Tuhanku, aku kembali berbuat dosa, maka ampunilah dosaku itu’. Allah berfirman, Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dan menghapus dosanya? Aku telah mengampuni hambaku’. Beberapa lama kemudian, ia berbuat dosa lagi. Lantas ia kembali berkata, 'Ya Tuhanku, aku melakukan dosa lagi, maka ampunilah dosaku itu’. Allah berfirman, 'Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dan menghapus dosanya? Aku telah mengampuni hambaku (tiga kali). Silakan ia berbuat apa yang ia kehendaki’.” [HR. Al-Bukhâri].

· "Tak ada seorang pun hamba yang beriman melainkan mempunyai dosa yang biasa ia lakukan dari waktu ke waktu, atau dosa yang tidak terpisahkan dari dirinya, hingga ia meninggalkan dunia. Sesungguhnya seorang mukmin itu diciptakan dalam kondisi selalu diuji, mau bertobat, sering lupa, dan bila diingatkan ia akan ingat.” [Menurut Al-Albâni: shahîh].

Renungkanlah firman Allah (dalam hadits di atas), "Silakan ia berbuat apa yang ia kehendaki.” Selama sang hamba masih merasakan besarnya dosa yang ia lakukan, dan masih merasakan kebesaran Tuhannya, lalu ia bertobat dan kembali kepada-Nya, dapat dipastikan bahwa itu akan menjadi pembersih dosanya, serta menjadi penghalang baginya agar tidak terus menerus melakukan dosa itu. Dan selama hal itu dapat mendorong terwujudnya bentuk-bentuk penghambaan seperti ini di dalam dirinya, maka itu betul-betul merupakan kondisi perilaku manusia yang realistis sekaligus ideal di muka bumi, sejalan dengan redaksi hadits: "Mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah, kemudian Allah pun mengampuni mereka.”

Ketiga: Dimaafkannya Bisikan Hati dan Lintasan Pikiran

Karena jiwa manusia memang fitrahnya melakukan kesalahan, Allah meletakkan di dalamnya lintasan-lintasan yang menyerbu pikirannya. Lintasan-lintasan pikiran itu ada kalanya berasal dari Dzat Yang Maha Penyayang, ada kalanya berasal dari Syetan, dan ada kalanya berasal dari diri sendiri.

Karena seorang hamba tidak mampu membendung lintasan-lintasan tersebut agar tidak masuk ke dalam hati dan pikirannya, maka Allah pun memaafkan hal itu.

Disebutkan di dalam sebuah hadits shahîh, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Allah—`Azza wajalla—telah memberi maaf kepada umatku atas apa yang dibisikkan oleh dirinya, selagi mereka belum melakukan atau mengucapkannya.” [HR. Muslim].

Bahkan lebih besar dari itu, sesungguhnya menghentikan dorongan hati dan lintasan pikiran yang buruk dapat melahirkan pahala dari Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Siapa yang berkeinginan melakukan suatu keburukan, namun ia tidak melakukannya, Allah catatkan di sisi-Nya satu kebaikan yang utuh untuknya.” [HR. Al-Bukhâri].

Keempat: Dosa Adalah Penyebab Kehancuran

Ini berlaku jika realitas ideal dalam menghadapi takdir Allah yang satu ini tidak bisa diwujudkan. Yaitu ketika dosa tidak melahirkan istighfâr dan penghambaan kepada Allah. Ketika maksiat menyebabkan kebutaan hati. Saat dosa tidak memunculkan rasa hina dan tunduk. Saat itulah, para pelakunya berhak mendapatkan kehancuran.

Sesungguhnya Allah—`Azza wajalla—menakdirkan adanya dosa dan maksiat ini agar menimbulkan efek positif di dalam realita kehidupan dan perilaku manusia. Efek-efek positif itu misalnya adalah mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mewujudkan penghambaan kepada-Nya.

Adapun jika dosa menimbulkan kesewenang-wenangan, keangkuhan, olok-olok, dan menentang dipercepat datangnya azab, maka ketika ia tidak lain hanyalah kotoran Syetan. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali pada orang yang dikuasai oleh Iblis, sehingga Iblis mengontrol akal, pikiran, dan hatinya. Semoga Allah melindungi kita semua dari hal itu.

Itulah empat kaedah di dalam fikih dosa dan maksiat. Jadilah Anda orang yang bisa melihatnya dengan mata hati dan ilmu.

Berlakulah Lemah-lembut

Setelah Anda mengetahui hal ini, saya ingin mengatakan kepada Anda, "Berlakulah lemah-lembut!" Berlakulah lemah-lembut terhadap jiwa Anda yang senantiasa ada bersama Anda. Jangan membuatnya merasa putus asa dari rahmat Allah. Renungilah kebesaran karunia Allah, serta kebaikan dan sayang-Nya kepada Anda. Jangan Anda disibukkan oleh Syetan dengan dosa-dosa Anda, sehingga lupa beribadah kepada Allah di belakang maksiat yang Anda lakukan.

Ini adalah sebuah nilai yang agung. Wahai manusia, berlakulah lemah-lembut terhadap orang-orang yang berdosa. Jangan hinakan mereka, atau jangan putuskan harapan mereka. Bukakanlah untuk mereka pintu harapan terhadap rahmat Allah. Tunjukkanlah jalan tobat dan arah kembali kepada-Nya.

Kenapa manusia tidak bisa menerima fakta terjerumusnya sebagian orang ke dalam maksiat (dosa)? Terutama manusia-manusia yang memiliki kedudukan. Demi Allah, apakah mereka lebih baik daripada para shahabat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam?

Kita mengetahui bahwa di antara mereka ada yang berzina, ada yang mencuri, ada yang meminum khamar, ada yang dipenjara, bahkan ada yang murtad dari agama Islam, kemudian kembali beriman. Mereka yang terjerumus ke dalam dosa dan maksiat ini adalah makhluk terbaik setelah para nabi. Apakah manusia tidak menyadari bahwa dalam hal terjerumus ke dalam maksiat dan dosa, manusia adalah sama?

Benar, dosa terhadap Dzat Yang Maha Agung adalah suatu hal yang tidak remeh. Akan tetapi, hal itu jangan sampai mendorong kita untuk membuat mereka putus asa, atau menolong Syetan dalam menjauhkan mereka dari jalan petunjuk, jalan yang bisa mengantarkan mereka kepada Allah. Astaghfirullâh!

"Sesungguhnya orang mukmin itu diciptakan dalam kondisi selalu diuji, mau bertobat, sering lupa, dan apabila diingatkan ia akan ingat.”

Adab Maksiat

Ia adalah inti yang dituju dari tulisan ini. Di sini akan dijelaskan sejumlah adab yang diajarkan oleh Agama kita yang lurus ini dalam usaha mewujudkan perilaku yang realistis dan ideal dalam berinteraksi dengan takdir dosa.

Komitmen menjaga adab-adab ini dapat menolong seorang hamba yang lalai, berdosa, dan bersalah, untuk mewujudkan perilaku terpuji itu. Semoga Allah senantiasa menolong kita.

Adab-adab ini adalah langkah antisipasi agar tidak terjerumus ke dalam dosa. Tetapi bukan berarti ia pasti bisa memproteksi diri dari dosa, karena sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa terjatuh ke dalam kesalahan dan dosa adalah sesuatu yang pasti terjadi. Tetapi ia merupakan antisipasi agar:

- Tidak bersikeras melakukan kemaksiatan;

- Tidak putus asa menghadapi kuatnya tarikan maksiat itu;

- Tidak terjadinya kehancuran akibat dosa.

Adab pertama: Anggap Besar, Jangan Anggap Remeh!

Sesungguhnya dosa artinya adalah memenuhi seruan Syetan, sekecil apapun kesalahan itu. Syetan adalah musuh Allah, memenuhi seruan Syetan dan lalai dari seruan Allah adalah perkara yang besar, sekalipun kecil dalam pandangan orang yang melakukan maksiat.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Sahal bin Sa`ad—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jauhilah oleh kalian dosa-dosa kecil. (Dosa-dosa kecil itu) seperti orang yang mampir di suatu lembah, lalu yang satu datang membawa sebuah ranting pohon dan yang lain datang membawa sebuah ranting pula, sehingga dengan itu mereka bisa memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu akan menghancurkan pelakunya ketika ia disiksa akibat melakukannya.” [Menurut Al-Albâni: Sanadnya shahîh sesuai dengan syarat Al-Bukhâri dan Muslim].

Ibnu Mas`ud—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Sesungguhnya orang mukmin itu melihat dosanya seperti ia berdiri di bawah gunung yang dikhawatirkan akan menimpanya. Sementara orang yang jahat melihat dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya, lalu ia mengusirnya seperti ini.” Abu Syihab menerangkan, "Maksudnya adalah mengusir (lalat) itu dengan tangannya.”

Bilâl bin Sa`ad juga pernah berkata, "Janganlah engkau melihat kepada kecilnya maksiat, tetapi lihatlah kepada keagungan Dzat yang engkau durhakai dengan maksiat itu.”

Dan di antara hal yang merusak adab ini adalah:

- Mempermudah dan longgar dalam masalah-masalah syubhat.

- Terlalu memperluas makna darurat dan hukum-hukumnya. Sehingga misalnya wanita dengan mudah membuka aurat di hadapan dokter laki-laki, memperluas ruang gerak para pembantu laki-laki dan pembantu perempuan, longgar dalam mengakses siaran televisi, dan lain-lain, dengan alasan darurat.

Sikap longgar dan mempermudah seperti ini dapat melemahkan usaha memandang besar semua kesalahan, sekaligus memunculkan sikap menyepelekan dosa-dosa kecil. Padahal, jiwa yang merasakan besarnya dosa dan tidak menganggap remeh dosa-dosa kecil akan sangat bergantung kepada Allah, merasa damai dekat dengan-Nya, dan selalu berusaha mengadu kepada-Nya. Sikap seperti itu merupakan tameng antisipasi dari kelalaian dan keterperosokan yang dalam. Ia merupakan benteng yang menjaga hati dari kebinasaan. Karena keputus-asaan masuk ke dalam kategori kebinasaan. Terjerumus ke dalamnya juga adalah kehancuran.

Adab Kedua: Jangan Duduk Bersama Mereka!

Di antara wasiat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—kepada para shahabat beliau yang mulia adalah semaksimal mungkin menjauhi faktor pendorong maksiat. Beliau bersabda, "Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalanan.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami harus duduk di situ untuk saling berdialog.” Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Apabila kalian tetap ingin duduk di tempat itu, maka berikanlah hak jalan itu.” Mereka berkata, "Apakah haknya itu?” Rasulullah menjawab, "Menundukkan pandangan, tidak mengganggu (orang lewat), menjawab salam, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” [HR. Muslim].

Sesungguhnya maksiat atau dosa tidak lahir secara tiba-tiba dan kebetulan. Ia memiliki pendahuluan dan sebab-sebab, yang bila itu ada maka hasilnya juga akan ada.

Sesungguhnya kebiasaan dan kelonggaran diri seseorang untuk selalu mendatangi tempat-tempat maksiat dan dosa akan melahirkan ketidakmampuan untuk wara’ (menjauhi dosa), ketidakmampuan untuk tegas, dan ketidakberdayaan untuk memiliki tekad kuat. Ia juga akan melahirkan sikap suka terhadap maksiat di dalam hati, serta jauh dari tobat dan kesadaran.

Berdasarkan hal ini pulalah muncul larangan untuk mendatangi tempat-tempat azab dan kehancuran.

Wahai saudaraku tercinta, jauhilah faktor-faktor pendorong maksiat, baik berupa teman, majalah, kaset, nomor yang ada di telepon, film, sinetron, club, tempat pertemuan, maupun alat-alat tertentu.

Buatlah semacam dinding pemisah di dalam perasaan Anda antara diri Anda dengan pelaku dosa dan maksiat, jika Anda memang tidak mungkin memisahkan diri dari mereka secara fisik. Sebagaimana yang ditetapkan oleh firman Allah—`Azza wajalla—(yang artinya): "Dan apabila engkau melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika Syetan menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), maka janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah engkau teringat (akan larangan itu).” [QS. Al-An`âm: 68].

Adab ketiga: Bertahan dan Perbaikilah Lintasan Pikiranmu!

Seperti diketahui bahwa setiap perbuatan manusia asalnya adalah lintasan pikiran dan ide sampai menjadi usaha dan perbuatan. Maksiat dan kesalahan pun bersumber dari lintasan pikiran dan ide itu.

Lintasan ide di dalam pikiran ada tiga macam, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya:

1. Rahmâniyyah (bersumber dari Allah Yang Maha Pengasih);

2. Syaithâniyyah (bersumber dari Syetan);

3. Nafsâniyyah (dari dalam diri).

Lintasan pikiran yang bersifat Rahmâniyyah adalah setiap ide perbuatan baik dan mulia, seperti jihad, menuntut ilmu, menyeru kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, bersedekah, dan lain-lain. Adapun lintasan pikiran yang bersifat Syaithâniyyah adalah semua ide tentang kejahatan dan kemungkaran. Sementara lintasan pikiran yang bersifat nafsâniyyah adalah berbentuk mimpi.

Lintasan pikiran ini adalah masalah yang tidak sepele, karena siapa pun manusia tidak bisa melepaskan diri darinya. Bahaya yang terkandung di dalamnya berasal dari dua sisi:

Sisi pertama, bahwa Allah—`Azza wajalla—mengetahui lintasan pikiran itu. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [QS. Ghâfir: 19]. Allah juga berfirman (yang artinya): "Maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi.” [QS. Thâhâ: 7].

Sisi kedua: lintasan pikiran merupakan cikal bakal pertama dari sebuah perbuatan. Hati ibarat papan, dan lintasan pikiran itu laksana ukiran yang terlukis di atasnya.

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Adapun lintasan-lintasan pikiran adalah hal yang paling sulit. Sesungguhnya ia adalah asal muasal kebaikan dan keburukan. Darinya lahir keinginan-keinginan, kehendak, dan tekad. Siapa yang menjaga lintasan pemikirannya, niscaya bisa mengendalikan diri dan menguasai hawa nafsunya. Tetapi siapa yang dikalahkan oleh lintasan pikirannya, maka hawa nafsunya akan mengalahkannya. Dan siapa yang meremehkan lintasan pikirannya niscaya akan digiring dengan paksa oleh lintasan itu kepada kehancuran.

Ia merupakan sesuatu yang paling berbahaya bagi manusia dan akan melahirkan kelemahan dan kemalasan, melahirkan kesia-siaan, kekecewaan, dan penyesalan. Orang yang berangan-angan, ketika gagal mendapatkan sesuatu dengan fisiknya, akan memindahkan gambaran benda itu ke dalam hatinya, lalu ia peluk dan dekap, sehingga dengan itu, ia membuka gambaran angan-angan dan khayalan yang digambarkan oleh pikirannya. Hal itu tidak bermanfaat sedikit pun baginya. ia hanyalah laksana orang yang lapar dan haus membayangkan dalam angan-angannya gambaran makanan dan minuman, sementara ia tidak makan dan tidak minum. Menyukai lintasan pikiran dan selalu berusaha menghadirkannya, menunjukkan kerugian dan kehinaan jiwa. Dan sesungguhnya kemuliaan, kesucian, kebersihan, dan ketinggian jiwa adalah dengan menghilangkan semua lintasan pikiran yang sebenarnya tidak ada, serta merasa tidak suka akan kehadirannya di dalam pikiran, sekaligus memandangnya sebagai sesuatu yang rendah.”

Sampai beliau (Ibnul Qayyim) mengatakan, "Ketahuilah, bahwa munculnya lintasan pikiran tidak mendatangkan mudharat, tetapi yang mendatangkan mudharat adalah memanggil dan berdialog dengannya.” [Ibnul Qayyim, “Al-Jawâbul Kâfi”, (198-199)].

Ibnul Qayyim juga menuliskan di bukunya yang lain, "Tolaklah lintasan pikiran itu, karena jika engkau tidak melakukannya, ia akan menjadi ide. Tolaklah ide itu, karena jika engkau tidak melakukannya juga, ia akan berubah menjadi keinginan. Tolaklah keinginan itu, karena jika engkau tidak melakukannya, ia akan menjadi amal dan perilaku. Tolaklah perilaku itu, karena jika engkau tidak melakukannya, ia akan menjadi kebiasaan dan tabiat.”

Dari sini, kita mengetahui bahaya lintasan pikiran, serta efek menolak atau menghadirkannya. Oleh sebab itu, kita harus memperbaiki lintasan-lintasan pikiran itu dari tiga sisi:

Sisi pertama: Mengosongkan hati dari lintasan-lintasan yang merusak dengan cara tidak menghiraukan atau menghadirkannya.

Sisi kedua: Apabila hati sudah kosong, ia harus diisi. Isi dan sibukkanlah ia dengan Allah dan dengan kecintaan kepada-Nya. Ada lima cara untuk menyibukkan hati:

1. Memikirkan ayat-ayat Allah, menggali maknanya, dan memahami maksudnya.

2. Memikirkan ayat-ayat “kauniyyah” yang terbentang di alam, mengambil pelajaran darinya, dan menjadikannya sebagai dalil atas nama-nama, sifat-sifat, kebijaksanaan, ihsân, dan kebaikan Allah. Sesungguhnya Allah mendorong untuk selalu berfikir dan mencela orang-orang yang lalai.

3. Memikirkan berbagai bentuk karunia dan ampunan Allah yang demikian luas terhadap para hamba-Nya.

Tiga hal ini akan melahirkan makrifatullah (pengenalan terhadap Allah), serta rasa cinta, takut, dan harap kepada-Nya di dalam hati seorang hamba. Manusia yang paling sempurna adalah manusia yang paling banyak memiliki lintasan pikiran dan keinginan terhadap hal-hal seperti itu.

Oleh sebab itu, Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—disesaki oleh sekian banyak lintasan pikiran yang diridhai oleh Allah. Terkadang dia gunakan itu di dalam shalatnya, sehingga pernah suatu ketika ia mengatur pasukannya, padahal ketika itu ia sedang berada di dalam shalatnya. Dengan demikian, ia mampu menggabungkan antara jihad dengan shalat!!

4. Memikirkan aib dan kesalahan-kesalahan diri, serta berbagai kekurangan dalam amal yang sudah dilakukan. Pikiran ini akan menghancurkan nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan, sekaligus menghidupkan nafsu/jiwa yang tenang.

5. Memikirkan serta memusatkan pikiran kepada kewajiban mengisi waktu dengan kemashlahatan Agama dan dunia.

Sisi ketiga: Menjaga lintasan-lintasan hati dari yang haram dan bersifat dosa. Hal itu dapat dilakukan dengan dua cara:

- Meninggalkan faktor-faktor pendorong kepada perbuatan haram dan meninggalkan tempat-tempatnya.

- Menimbang, membandingkan, dan mengenal akibat dan dampak dari semua perbuatan.

Bandingkanlah antara kenikmatan menghadap Allah dengan kenikmatan menghadapi perilaku tercela. Bandingkanlah antara kenikmatan dosa dengan kenikmatan menjaga diri. Bandingkanlah antara kenikmatan menang melawan Syetan dan godaannya dengan kemenangan meraih maksiat dan dosa.

Demikianlah, bandingkan dan ingatlah akibat dan dampak semuanya, karena hal itu akan menjaga lintasan-lintasan pikiran dari usaha menghadirkan gambaran yang haram dan tercela.

Adab keempat: Duduklah Bersama Orang-orang yang Baik

Seseorang itu kecil jika sendirian, dan ia menjadi besar jika bersama dengan saudara-saudaranya. Oleh sebab itu, dekat dan selalu bersama dengan teman-teman yang baik dapat menjaga seseorang—Insyâallâh—dari kotoran maksiat dan dosa.

Teman-teman yang baik menjadi tameng antisipasi dari perbuatan yang tidak baik, dan itu terlihat dari beberapa sisi:

Sisi pertama: Duduk bersama orang-orang yang baik adalah upaya menjaga diri dari kesendirian dan terjerumus ke dalam perangkap lintasan-lintasan pikiran, atau mendatangi tempat-tempat maksiat.

Sisi kedua: Arahan, nasihat, dan petunjuk mereka sangat berguna. Persaudaraan sejati mengharuskan kepada kedua belah pihak untuk saling menasihati dan tidak membuat seorang saudara merasa senang dengan kesalahan yang dilakukannya. Dari sisi ini, persahabatan yang baik merupakan sarana penyempurna, pembersih, dan penjaga.

Sisi ketiga: Penyesalan, sedih, dan rasa tidak senang terhadap maksiat itu timbul dari persahabatan yang baik. Ia merupakan salah satu buah dari pertemanan dengan orang-orang shalih. Ketika Anda meninggalkan mereka, suara-suara hati yang jernih itu dengan segera akan hilang dan celaan atas perilaku dosa akan semakin minim dirasakan oleh hati.

Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa meninggalkan teman yang baik dengan alasan banyak dosa, maksiat, dan kesalahan merupakan salah satu pintu masuk terbesar bagi Syetan dan lintasan-lintasan pikiran kotor.

Anggaplah Anda meninggalkan orang-orang yang baiik, apakah dengan demikian akan hilang keluhan Anda tentang penyakit maksiat itu? Ataukah Anda akan kehilangan obat, dan penyakit itu akhirnya menjadi semakin kronis?

Sesungguhnya manusia harus memiliki teman–teman yang baik. Jika ia meninggalkan orang-orang yang baik, kepada siapa lagi ia akan pergi? Tidak ada yang lain kecuali kepada orang-orang yang akan membuat perbuatan maksiat indah di matanya, serta membenamkannya ke dalam dosa-dosa.

Adab Kelima: Sibukkan Diri

Seorang tokoh bijak pernah berkata, "Jiwa (hati) itu jika tidak engkau sibukkan dengan ketaatan akan menyibukkanmu dengan maksiat.”

Itulah salah satu rahasia dari arahan Allah di dalam firman-Nya (yang artinya): "Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau berharap.” [QS. Asy-Syarh: 7-8].

Sesungguhnya menyibukkan hati dengan amal shalih (shalat, puasa, berbakti dan berbuat baik, sedekah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan, menyampaikan pelajaran, mendengar kaset, bercengkerama dengan keluarga dan saudara, dan lain-lain) termasuk salah satu langkah antisipasi terpenting bagi seorang hamba dalam masalah ini.

Meninggalkan aktivitas dakwah, atau tidak komitmen di jalan kebenaran dengan alasan masih melakukan maksiat merupakan tipu daya Syetan terhadap para hamba Allah.

Benar, bahwa perkataan yang tidak dibuktikan dengan perbuatan adalah perkara yang tercela. Sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa yang tiada kalian kerjakan.” [QS. Ash-Shaff: 2-3]. Di dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Pada hari Kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam Neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Penduduk Neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami melakukan kemungkaran?’. Ia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran, sedangkan aku sendiri justru mengerjakannya’.” [HR. Al-Bukhâri].

Akan tetapi, apakah pandangan negatif yang terdapat di dalam nas-nas ini merupakan celaan terhadap laki-laki tersebut karena ia berdakwah dan mengingkari kemungkaran? Ataukah itu merupakan celaan atas perbuatannya yang mungkar, padahal ia adalah manusia pertama yang paling pantas untuk menjauhinya?

Ibnu Katsir—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Maksudnya bukan mencela mereka karena mereka memerintahkan kebaikan namun meninggalkannya, tetapi itu adalah celaan karena mereka meninggalkannya.”

Manusia semuanya pasti bersalah dan melakukan dosa. Kalau hal ini kita pandang secara umum, apakah ada orang yang tidak jatuh kepada dosa? Jika nas-nas di atas kita pahami secara kaku, berarti kita harus mengatakan bahwa orang tidak boleh mengingatkan orang lain jika ia sendiri masih berbuat maksiat (dosa). Jika demikian halnya, siapa yang akan mengingatkan orang-orang yang berbuat maksiat setelah wafatnya Nabi Muhammad?

Sesungguhnya kewajiban seseorang terhadap kemungkaran ada dua: 1) Meninggalkannya; 2) Mencegahnya. Dan kewajiban terhadap yang makruf (kebenaran) juga ada dua: 1) Melakukannya. 2) Memerintahkan untuk melakukannya.

Ibnu Katsir berkata, "Memerintahkan yang makruf dan mengerjakan yang makruf adalah sama-sama wajib. Salah satu dari kedua kewajiban itu tidak gugur dengan meninggalkan yang lain menurut pendapat terkuat di kalangan ulama terdahulu dan ulama generasi kemudian.”

Meninggalkan amar makruf nahi mungkar dengan alasan masih melakukan maksiat sesungguhnya adalah juga sebuah kemungkaran. [Muhammad Ad-Duwaisy, “Sabîlun Najâti min Syu`mil Ma’shiyati”, dengan sedikit perubahan redaksi].

Adab Keenam: Selalu Istighfâr

Istighfâr adalah salah satu adab yang dapat menjaga diri dari dua sisi:

Pertama: Ia menghidupkan semangat memuliakan dan mengagungkan Allah di dalam jiwa.

Kedua: Ia menghapuskan kesalahan dan dosa.

Sebuah haditas diriwayatkan dari Al-Agharr Al-Muzani—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya hatiku terkadang dihinggapi oleh kelalaian, dan sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu hari.” [HR. Muslim].

Di antara doa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah: "Ya Tuhanku, ampunilah kesalahan dan kebodohanku, kelalaianku dalam setiap urusanku, dan apa-apa yang lebih Engkau ketahui daripada diriku. Ya Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku, ketidaktahuanku, candaku, dan itu semua ada di dalam diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang aku dahulukan dan apa yang aku akhirkan, apa yang aku rahasiakan dan apa yang aku perlihatkan. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengakhirkan, dan Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” [HR. Al-Bukhâri].

Di antara doa para nabi dan rasul adalah:

- Doa Nabi Nuh—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan semua orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu selain kebinasaan.” [QS. Nûh: 28].

- Doa Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Dan Dzat Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari Kiamat.” [QS. Asy-Syûrâ: 82].

- Doa Nabi Musa—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku.” [QS. Al-A`râf: 151].

Di sini, seorang muslim yang tulus akan merenung sejenak seraya bertanya, dosa-dosa apa yang telah dilakukan oleh para nabi Allah itu, sehingga mereka harus meminta ampun? Apa yang dilakukan oleh jiwa yang suci itu? Kesalahan apa yang telah ia sembunyikan, perlihatkan, dahulukan, dan akhirkan?

Jika Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang telah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang selalu ber-istighfâr seratus kali siang dan malam, bagaimana dengan kita orang-orang yang penuh dosa dan kesalahan ini? Bandingkan dengan jiwa para nabi yang suci dan sangat mengenal Allah.

Selain mampu membersihkan jiwa sehingga tidak senang melakukan yang haram, istighfâr juga akan menghapus kesalahan jika telah terjadi.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan suatu dosa, diteteskanlah di hatinya satu noda hitam. Apabila ia menyesal, beristighfâr, dan bertobat, hatinya akan kembali bersih. Jika ia kembali (melakukan dosa), noda itu akan bertambah sehingga menutupi hatinya. Itulah penutup hati yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-nya (yang artinya): "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” [QS. Al-Muthaffifîn: 14]." [Menurut Al-Albâni: hasan].

Selain itu, istighfâr merupakan hal yang mengagumkan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Sebuah hadits diriwayatkan dari Ali—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Tuhanmu—Subhânahu wata`âlâ—kagum terhadap hamba-Nya ketika mereka berkata, 'Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku’. (Dan Allah berkata), hambaku mengetahui bahwa tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Aku.” [Menurut Al-Albâni: hasan shahih].

Sesungguhnya istighfâr yang akan meninggalkan pengaruh efektif di dalam jiwa serta mewujudkan maksud yang diinginkan adalah istigfâr yang diresapi oleh hati sejalan dengan ucapan lidah.

Adab Ketujuh: Jangan Terang-terangan Melakukan Dosa

Sebagaimana amalan ketaatan berbeda-beda tingkatan dan derajatnya sesuai dengan jenis amalnya, berdasarkan pelaku, berdasarkan waktu, serta berdasarkan kerahasiaan atau keterbukaan amalan itu, demikian juga maksiat. Beberapa nas menunjukkan bahwa maksiat yang berusaha ditutupi oleh pelakunya lebih ringan dosanya daripada maksiat yang dilakukan secara terang-terangan.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya,bahwa ia mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Semua umatku berada dalam keadaan baik, kecuali orang yang berbuat dosa secara terang-terangan. Dan salah satu bentuk tindakan terang-terangan dalam berbuat dosa adalah bila seseorang berbuat dosa pada malam hari dan Allah menutupinya, tetapi pada pagi harinya, ia sendiri yang justeru menceritakannya kepada orang lain, 'Wahai fulan, tadi malam aku telah melakukan ini dan itu’. Padahal pada malam hari, dosanya telah ditutupi Allah, akan tetapi di pagi hari, ia malah menyibak tirai yang Allah tutupkan kepadanya.” [HR. Al-Bukhâri].

Dalam hadits lain, Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—pernah ditanya, "Bagaimana engkau mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda tentang peristiwa nanti ketika Allah memanggil para hamba-Nya yang beriman (di hari Kiamat)?” Ia menjawab, "Seseorang di antara kalian nanti akan mendekat kepada Tuhan-nya hingga Allah meletakkan naungan-Nya untuknya. Lalu Allah berkata, 'Engkau telah melakukan ini dan itu?’ Ia menjawab, 'Ya, benar.’ Allah berkata kembali, 'Engkau telah melakukan ini dan itu?’ Ia menjawab, 'Ya, benar.’ Kemudian Allah kembali berkata, 'Sesungguhnya Aku telah menutupi (kesalahanmu) di dunia, maka hari ini Aku ampuni engkau’.” [HR. Al-Bukhâri].

Orang mukmin yang takut kepada Tuhan-nya, selalu mengagungkan-Nya, serta takut akan hukuman-Nya akan selalu merasa dicela oleh dirinya karena maksiat yang ia perbuat. Maksiat-maksiat itu akan ia rasakan membakar hatinya. Bagaimana mungkin ia akan membeberkan kepada orang banyak bahwa telah melakukan dosa ini dan itu?

Ibnu `Aqîl—Semoga Allah merahmatinya—menyebutkan sebuah makna indah tentang menutupi perbuatan maksiat. Ia mengatakan bahwa usaha menutupi dosa adalah suatu bentuk ketaatan kepada Allah. Dan sesungguhnya maaf Allah bagi orang yang berusaha menutupi dosanya adalah semata-mata karena ia berusaha menutupinya. [Ibnu Muflih, “Al-Âdâb Asy-Syar’iyyah”, (1/255)].

Adab Kedelapan: Ikutilah Keburukan dengan Kebaikan, Niscaya Kebaikan akan Menghapus Keburukan Itu!

Suatu ketika, seorang lelaki datang kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bercumbu dengan seorang wanita di ujung Madinah. Aku telah melakukan perbuatan dosa terhadapnya, tetapi tidak sampai menyetubuhinya. Sekarang, inilah aku, jatuhilah kepadaku hukuman sesuai kehendakmu.” Umar ketika itu berkata kepadanya, "Sungguh Allah telah menutupi (kesalahan)-mu. Andai saja engkau menutupi dirimu sendiri (niscaya akan lebih baik).” Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak menjawab apa-apa. Lelaki itu pun bangkit, lalu pergi. Kemudian Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menyuruh seseorang untuk menyusul dan memanggilnya. Lalu beliau membacakan ayat ini kepadanya (yang artinya): "Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” [QS. Hûd: 114]. Lalu seseorang bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah ini khusus untuknya?” Nabi menjawab, “Tidak, ini untuk seluruh manusia”. [HR. Muslim].

Dan di antara bentuk tindakan mengikuti perbuatan buruk dengan kebaikan adalah melakukan tobat setelah berbuat maksiat (dosa) tanpa menunggu-nunggu, menunda-nunda, atau putus asa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

· "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [QS. Âli `Imrân: 135];

· "Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” [QS. Al-Isrâ': 25]. Ibnul Musayyib berkata, "Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang yang berbuat dosa lalu bertobat, kemudian berbuat dosa dan kembali bertobat, kemudian berbuat dosa (lagi) lalu bertobat.”

· "Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” [QS. Al-Baqarah: 195]. Al-Barrâ' berkata, "Maksudnya adalah orang yang berbuat suatu dosa lalu mengatakan, 'Allah tidak akan mengampuni dosaku itu’.”

Semakin sepadan antara kebaikan yang dilakukan dengan perbuatan dosa yang ingin ditebus, akan semakin besar kemungkinan untuk dapat menghapus dosa itu. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Seyogianya kebaikan-kebaikan itu sejenis dengan perbuatan-perbuatan buruk (yang ingin ditebus). Karena hal itu lebih efektif menghapus dosa tersebut.”

Renungkanlah besarnya anugerah, karunia, dan rahmat Allah. Lihatlah bagaimana Allah menciptakan kegembiraan yang luas untuk Anda dari pintu dosa yang sempit.

Adab Kesembilan: Jangan Mencela Orang Lain Karena Dosanya

Seorang muslim itu mencintai Allah dan mencintai ketaatan kepada Allah. Sebaliknya, ia membenci maksiat dan orang yang melakukannya. Seorang mukmin memiliki hati yang halus dan jiwa yang sensitif, sehingga tidak perlu malu menghadapi orang yang berani melanggar larangan-larangan Allah. Karena cinta karena Allah dan benci karena Allah merupakan salah satu ikatan keimanan yang paling kuat.

Tetapi, ada orang yang melampaui batas. Alih-alih membenci maksiat dan orang yang melakukannya, ia malah menjelek-jelekkan orang yang berbuat dosa dan meninggikan diri di hadapan orang itu.

Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Seorang lelaki pernah berkata, 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan’. Lalu Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman, 'Siapakah yang bersumpah bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan. Sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah Aku hapus (pahala) amalanmu’. Atau kira-kira seperti itulah yang Allah katakan.” [HR. Muslim].

Abud Dardâ'—Semoga Allah meridhainya—pernah lewat di depan seorang lelaki yang telah melakukan suatu dosa. Orang-orang ketika itu tengah mencaci-maki lelaki itu. Abud Dardâ' lalu berkata, "Apa pandangan kalian, seandainya kalian menemukan orang ini berada di dalam sebuah sumur, bukankah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab, "Ya.” Abud Dardâ' berkata, "Maka janganlah kalian mencaci-maki saudara kalian. Dan bersyukurlah kepada Allah yang telah menjaga kalian (dari dosa).” Mereka berkata, "Apakah engkau tidak membencinya?" Abud Dardâ' menjawab, "Sesungguhnya aku hanya membenci perbuatannya. Namun bila ia meninggalkan perbuatan itu, ia adalah saudaraku.”

Abu Ad-Dardâ' juga berkata, "Berdoalah kepada Allah di hari-hari bahagiamu. Mudah-mudahan Dia mengabulkan doamu di hari-hari sulitmu.”

Tidak semestinya seorang muslim menjelek-jelekkan atau memperolok saudaranya karena dosa yang ia lakukan. Kewajiban seorang muslim dalam menyikapi kesalahan-kesalahan orang lain adalah memberi nasihat, menutupi aibnya, mendoakannya, dan meminta perlindungan kepada Allah.

Di lain sisi, orang yang menjelek-jelekkan saudaranya karena sebuah dosa menunjukkan bahwa ia terlalu percaya diri dan menganggap suci dirinya. Padahal kebanggaan terhadap diri sendiri merupakan gerbang kehancuran dan salah satu pertanda bahwa seorang hamba merasa tidak memerlukan pertolongan Tuhannya. Bandingkan orang seperti ini dengan para hamba yang paling mengenal Allah, ketika mereka berkata (seperti tertera dalam firman Allah yang artinya):

· "Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” [QS. Hûd: 47];

· "Dan jika tidak Engkau hindarkan dari diriku tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang-orang yang bodoh.” [QS. Yûsuf: 33].

Adab Kesepuluh: Bertobatlah dan Jangan Berputus Asa

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

· "Dan bertobatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” [QS. An-Nûr: 31];

· "Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Az-Zumar: 53].

Maka, bertobatlah! Bertobatlah, wahai saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Allah. Jawablah panggilan Tuhan Anda Yang Maha Penyayang. Dia berfirman kepada Anda:

· "Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa dan memohon kepada-Ku, Aku akan mengampuni dosa yang ada pada dirimu, dan Aku tidak peduli (seberapa pun banyaknya). Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampunimu, dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau menjumpai-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan diri-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.” [Menurut Al-Albâni: hasan];

· "Wahai anak Adam, sesungguhnya kalian selalu melakukan kesalahan di malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa semuanya.” [HR. Muslim];

· "Maka, siapa di antara kalian yang mengetahui bahwa Aku memiliki kemampuan untuk mengampuni, lalu ia memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya, dan Aku tidak peduli.” [Menurut At-Tirmîdzi: hasan].

Apakah Anda mau menjawab panggilan Tuhan Anda? Apakah Anda bersedia masuk kedalam rahmat-Nya?

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Allah—`Azza wajalla—mengulurkan tangan-Nya pada malam hari, agar orang yang berbuat dosa di siang hari dapat bertobat. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada siang hari, agar orang yang berbuat dosa di malam hari dapat bertobat.” [HR. Muslim].

Diriwayatkan, bahwa Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berkata kepada Nabi Adam—`Alaihis Salâm, “Wahai Adam, dosa yang membuatmu merendahkan diri kepada Kami lebih Kami sukai daripada ketaatan yang engkau banggakan kepada Kami!! Wahai Adam, rintihan para pendosa itu lebih Kami sukai daripada tasbih orang-orang yang membanggakan diri!!”

Ketahuilah, wahai Anda yang semoga selalu dijaga oleh Allah, bahwa tobat yang tulus bukanlah sekedar kata-kata yang diucapkan oleh lidah tanpa diikuti oleh hati dan anggota badan. Tobat yang Nashûha (sejati) yang akan memberi manfaat adalah tobat yang memenuhi seluruh syarat-syaratnya. Dimulai dari meninggalkan dosa, menyesali apa yang telah terjadi, bertekad bulat untuk tidak mengulangi lagi, dan diakhiri dengan terus mengulang tobat setiap kali berbuat dosa.

Sebuah hadits disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, "Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang beriman, berbuat dosa, namun suka bertobat.” [HR. Ahmad; menurut Al-Albâni: sanadnya sangat lemah].

Di antara faktor pengundang tobat yang sejati adalah terjadinya sebuah perasaan rendah dan hina di dalam hati. Sebuah perasaan yang tidak bisa diserupai oleh rasa apapun, dan tidak terdapat kecuali pada diri orang yang berdosa. Rasa itu tidak bisa didapatkan dengan cara memaksakan rasa lapar, menjalani latihan keras, maupun dengan cinta semata. Ia ada di belakang itu semua. Rasa hina yang utuh di hadapan Tuhan meliputi diri seorang pendosa dari seluruh sisi, serta melemparkannya ke hadapan Tuhannya dalam kondisi tersungkur, terhina, dan tunduk malu. Seperti kondisi seorang budak yang melarikan diri dari tuannya. Ia lalu dibawa dan didatangkan ke hadapan sang tuan. Ia tidak memiliki siapa pun yang dapat menyelamatkannya dari kekuasaan sang tuan. Ia tidak menemukan jalan untuk menghindar darinya, tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan kepadanya, dan tidak menemukan tempat lari darinya. Ia tahu, bahwa hidupnya, kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesannya ada pada keridhaan sang tuan terhadap dirinya. Ia juga tahu bahwa tuannya sangat mengetahui detail kejahatan-kejahatannya. Perasaan ini ditambah lagi dengan rasa cintanya kepada sang tuan, rasa butuh yang sangat besar kepadanya. Dilengkapi pula dengan kesadaran akan kelemahan dan ketidakberdayaan dirinya di hadapan kekuatan tuannya, juga perasaan hina di depan kemuliaan tuannya. Semua kondisi ini melahirkan rasa kerendahan, kehinaan, dan ketundukan dalam diri sang hamba. Sebuah akumulasi perasaan yang sangat bermanfaat bagi dirinya, mendatangkan keuntungan yang begitu besar untuknya, sangat berguna menutupi berbagai kekurangannya, serta sangat efektif mendekatkan dirinya dengan Tuannya!

Tidak ada sesuatu pun yang lebih disukai oleh Sang Tuan daripada perasaan kalah, tunduk, hina, rendah, serta penyerahan diri di hadapan-Nya. Sungguh indah ungkapan yang keluar dari mulutnya dalam kondisi seperti itu: ”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu dan kehinaanku kecuali jika Engkau rahmati. Aku memohon kepada-Mu dengan kekuatan-Mu dan kelemahanku, serta dengan ketidakbutuhan-Mu kepadaku dan kebutuhanku kepada-Mu. Inilah ubun-ubunku yang berdusta dan bersalah di hadapan-Mu. Hamba-hamba-Mu selain diriku begitu banyak, sementara aku tidak mempunyai tuan selain Engkau. Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat selamat dari-Mu kecuali kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu dengan permohonan seorang yang miskin papa, bermunajat kepada-Mu dengan munajat seorang yang tunduk dan hina, dan berdoa kepada-Mu dengan doa orang yang ketakutan dan tidak berdaya. Aku sampaikan kepada-Mu permohonan seorang yang tengkuknya terkulai pasrah kepada-Mu, hidungnya tertunduk patuh kepada-Mu, air matanya mengalir karena-Mu, dan hatinya merendahkan diri kepada-Mu.”

Semua ini merupakan efek dari tobat yang diterima. Karenanya, siapa yang tidak menemukan hal tersebut di dalam hatinya, hendaklah ia mencurigai ketulusan tobatnya dan segera kembali meluruskannya. Tobat yang tulus sangat sulit diwujudkan dalam alam nyata, namun mudah bila diungkapkan oleh lidah dan pengakuan. Dan hal terberat yang ditangani oleh seorang hamba yang jujur adalah tobat yang tulus dan benar. Wa lâ haula wala quwwata illâ billâh (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin dan pertolongan Allah). [Lihat: kitab "Madârijus Sâlikîn”].

Itulah sepuluh perkara yang dapat membasmi seluruh kesalahan. Silahkan Anda kurangi atau Anda perbanyak.

Selamatlah orang yang bertobat dengan kembalinya ia kepada dekapan Tuhannya. Binasalah orang yang celaka karena kesombongan dan keangkuhannya.

Ya Allah, kurangilah ketergelinciran kami, ampunilah kesalahan kami, ilhamkanlah kepada kami bimbingan dan petunjuk, serta lindungilah kami dari kejahatan dan kebinasaan, amin.

Walhamdulillâhi Rabbil `âlamîn.

Oleh: Abu Ahmad

[Sumber: www.saaid.net]

Artikel Terkait