Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Muslim Idial

Komitmen Beragama yang Benar

Komitmen Beragama yang Benar

Oleh: Ahmad Ibnu Abdurrahman Al-Qâdhi

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Sesungguhnya komitmen beragama dengan menaati Allah—Subhânahu wata`âlâ, serta ikhlas menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun merupakan fitrah alami manusia, sekaligus tanda kesempurnaan ciri kemanusiaan. Dalam mewujudkan komitmen beragama ini, antara satu orang dengan yang lain kadang memiliki perbedaan yang sangat besar. Barang siapa yang terbebas dari segala hawa nafsu, tulus menyembah Tuhannya, serta menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, berarti berada pada kedudukan yang sangat mulia dan terhormat. Adapun orang yang menyimpang dari fitrahnya, ingkar kepada Tuhannya, enggan memberikan totalitas ketaatannya kepada Allah, sesungguhnya ia berada pada kedudukan yang paling buruk dan hina. Dan di antara dua derajat ini ada medan yang sangat luas dan kedudukan yang beragam. Semua makhluk beredar di dalamnya, dan kelak mereka akan kembali kepada Allah, lalu di hisab di hadapan-Nya.

Sebuah model ideal dan standar komitmen beragama yang sangat cermat adalah apa yang disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan siapakah yang lebih baik Agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya." [QS. An-Nisâ': 125]

Ayat ini mengandung dua karakter agung yang mendasari ibadah yang hakiki dan komitmen keberagamaan yang benar, yaitu:

1. Totalitas keikhlasan yang diungkapkan dengan kalimat menyerahkan diri kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, dan tidak sedikit pun berpaling kepada yang lain.

2. Totalitas ihsân yang dihasilkan dari kesetiaan mematuhi petunjuk Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan mengikuti agama kakeknya, Ibrahim, sang kekasih Allah.

Ketika hati benar-benar tulus kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, dan anggota badan pun tulus mengikuti tuntunan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, maka terwujudlah ibadah yang ikhlas dan keberagamaan yang baik. Keikhlasan membuahkan kebaikan batin, sedangkan mengikuti tuntunan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menghasilkan kebaikan lahir. Dengan kebaikan dua sisi ini, semua urusan seorang hamba menjadi baik. Inilah dua rukun ibadah yang karenanya Allah menciptakan makhluk, mengutus para rasul, dan menurunkan kitab-kitab.

Tatkala dua spirit ini telah tertanam kokoh di dalam diri seorang hamba, ia akan mendapatkan kekhusyukan dalam ibadahnya, adil dan ihsân di dalam muamalahnya, serta lembut dan santun dalam akhlaknya. Ia akan dicintai oleh Allah dan seluruh penduduk langit, serta diberikan rasa cinta dari penduduk bumi. Orang yang menemuinya akan merasakan kejujuran pada ucapannya, kelapangan di hatinya, serta kesantunan dalam pergaulannya. Ia sendiri pun merasakan ketenangan yang merupakan buah dari keseimbangan lahir dan batinnya. Ia akan menikmati kekuatan hati yang berasal dari ketulusan imannya kepada Tuhannya. Ia akan mereguk keyakinan diri dalam ucapan dan akhlaknya, yang sejatinya lahir dari kebanggaannya terhadap Agama dan Akidahnya. Komiten beragama yang tulus ini direkam secara jelas dalam rangkaian ayat yang berbicara tentang karakteristik para hamba Allah ('ibâdur rahmân) di penghujung surat Al-Furqân (yang artinya):

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.

Dan orang-orang yang berkata, 'Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal'.

Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan itu, niscaya mendapat (pembalasan) atas dosa-(nya).

(Yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.

Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya ia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan diri.

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.

Dan orang-orang yang berkata, "Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa'." [QS. Al-Furqân: 63 - 74]

Berdasarkan itu, maka bentuk keberagaman yang tidak sempurna disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Penyakit-penyakit hati, berupa berbagai obsesi nafsu, keinginan mencari popularitas, atau syirik yang tersembunyi.

2. Syubhat logika yang dibisikkan oleh Syetan dari kalangan Jin dan manusia, sehingga melekat di hati.

3. Nafsu syahwat yang mendahulukan hasrat diri daripada kecintaan kepada Allah. Nafsu tidak lagi tunduk kepada wahyu.

4. Bid'ah kotor yang merusak keteladanan mengikuti Sunnah, dan melanggar aturan-aturan Syariat.

5. Akhlak yang buruk, keganasan, dan kebengisan yang merusak ibadah seseorang.

Oleh karena itu, sudah semestinya ada tazkiyah (penyucian hati) dan tarbiyah (pembinaan diri) bagi siapa saja yang menginginkan kejayaan dalam meraih apa yang dicita-citakan, serta keselamatan dari perkara yang menakutkan. Yaitu dengan cara melepaskan diri dari segala bentuk penyakit hati, serta meninggikan kedudukan diri menuju tangga kesempurnaan manusia, sebagaimana yang Allah—Subhânahu wata`âlâ—jelaskan dalam Al-Quran (yang artinya): "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." [QS. Asy-Syams: 7-10]

Artikel Terkait