Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Al-Qur’an
  5. Petunjuk Sempurna

Al-Quran; Sumber Kemuliaan dan Kebahagiaan Umat

Al-Quran; Sumber Kemuliaan dan Kebahagiaan Umat

Oleh: Ibrahim ibnu Abdullah Ad-Duwaisy

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Dunia masa kini dengan segala kemajuan teknologinya, dengan segenap perkembangan industri dan penemuan barunya, serta dengan seluruh organisasi-organisasi internasionalnya yang terbaru telah gagal mewujudkan kebahagiaan bagi manusia, atau menciptakan rasa aman dan tenteram bagi makhluk hidup. Buktinya, persentase penyakit modern, seperti kecemasan dan ketertekanan batin selalu bertambah dari hari ke hari. Di mana-mana tersebar kemiskinan, kebodohan, kelaparan, pembunuhan, dan aksi-kasi bunuh diri. Belum lagi fenomena kebobrokan akhlak, moral, dan budi pekerti. Semuanya terus bertambah dari tahun ke tahun.

Seorang ilmuwan asal Spanyol, Villa Spaza, pernah berkata, "Semua penemuan Barat yang mengagumkan itu tidak mampu menghapus satu tetesan air mata pun, dan tidak bisa menciptakan satu senyuman pun bagi manusia."

Alexis Carrel juga pernah berkata, "Sesungguhnya peradaban modern tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Walaupun peradaban ini dihasilkan dari jerih payah kita, namun ia tidak cocok untuk kita. Kita adalah kaum yang malang, karena akhlak dan cara pikir kita telah bobrok."

Hal yang sama bisa juga terjadi pada sebagian pemeluk Islam. Mereka memiliki harta, kedudukan, dan berbagai mimpi, tapi masih selalu berada dalam kegundahan, kesedihan, dan kepedihan. Lalu, di manakah jalan keluarnya? Apakah solusinya? Jawabannya adalah: Al-Quran.

Al-Quran merupakan sumber kemuliaan dan kebahagiaan umat Islam. Ia merupakan dasar ilmu dan amal, sekaligus pembawa ketenangan. Ia juga merupakan kunci keistiqamahan dalam mengarungi zaman yang dihiasi dengan perbenturan pemikiran dan perubahan nilai seperti sekarang. Al-Quran juga merupakan benteng kokoh dalam menghadapi fitnah, syubhat, dan gejolak syahwat.

Pada zaman seperti sekarang ini, semua kita butuh kepada Al-Quran untuk menguatkan keimanan dan keyakinan, sekaligus memupuk istiqamah (keteguhan) di hadapan rayuan syahwat dan berbagai tantangan.

Setiap muslim membutuhkan Al-Quran untuk menemaninya dikala kesepian, menghiburnya dikala ditimpa musibah, memberikannya rasa optimis saat kesulitan atau diselimuti rasa putus asa menggapai rahmat Allah, serta memperingatkannya dikala ia dikuasi oleh hawa nafsu.

Wahai umat Al-Quran, tidak keteguhan hati, tidak ada kebahagiaan dan kesejahteraan, tidak akan terwujud janji Allah, tidak ada keselamatan dari azab, tidak ada kekuatan dalam memegang keyakinan, dan tidak ada keabadian nama baik selain dengan cara menghadapkan diri dengan segala perasaan, jiwa, dan raga kepada kitab Allah, Al-Quran yang mulia, mulai dari dengan membaca, mentadaburi, mengajarkan, hingga mengamalkannya.

Sesungguhnya kunci ini akan membuka hati-hati yang tertutup, sebab Al-Quran memang adalah kunci hati manusia. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka apakah mereka tidak mentadaburi (memperhatikan) Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?" [QS. Muhammad: 24]

Wahai semua umat Islam, bacalah Al-Quran dengan hati kalian, sebelum membacanya dengan lidah kalian, agar kalian mendapatkan:

"Kesejukan makna yang melepaskan dahaga bahasa

Kehalusan yang menghembuskan angin Surga

Di saat kata-katanya tegas, ia ibarat ombak samudera yang garang

Di saat ia lembut, ia ibarat nafas kehidupan Akhirat"

Cahaya hati tidak akan bersinar kecuali dengan Al-Quran. Ia adalah sumber kehidupan dan obat bagi ruh manusia. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) di dalam dada, serta petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan'." [QS. Yûnus: 57-58]

Al-Quranlah yang dapat mewujudkan kebahagiaan manusia, sekaligus menebar rasa aman, ketenangan, kemuliaan, kebanggaan, dan kemakmuran. Semua ini dapat diwujudkan dengan Al-Quran dan sunnah Nabi. Sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam, "Sungguh aku telah meninggalkan dua pusaka yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat, yaitu Kitab Allah dan sunnahku." [Menurut Al-Albâni: sanadnya hasan]

Wahai saudaraku, kita tidak perlu menjelaskan kebenaran yang telah disampaikan secara terbuka oleh kawan dan dibenarkan oleh lawan.

Kita tidak perlu menyebutkan kebenaran yang dipercayai oleh orang-orang beriman dan diakui oleh mereka yang menentang.

Kita tidak perlu menegaskan bahwa Al-Quran mempunyai keindahan bahasa yang sangat tinggi dan sastra yang luar biasa, bahkan mengalahkan para pakar bahasa dan para ahli sastra!

Kita tidak perlu mengulang-ulang semua fakta itu setiap kita ingin bercerita tentang Al-Quran. Cukuplah sebagai kemuliaan dan kebanggaan bagi kita bahwa Al-Quran merupakaan perkataan Tuhan kita.

Banyak kita dengar orang-orang yang berusaha menjelaskan kepada para musuh kita tentang kekuatan gaya bahasa dan pengaruh Al-Quran. Padahal, kalau kita mau jujur, kita akan berkata, "Mana pengaruh Al-Quran terhadap diri kita? Mana sentuhan Al-Quran terhadap hati kita?" Bukankah fakta menyedihkan ini akan menjadi argumen bagi musuh-musuh kita tentang lemahnya kita? Sampai di manakah interaksi kita dengan Al-Quran yang merupakan cahaya hati kita, aturan hidup kita, serta karunia dan nikmat Allah untuk kita?

Dari waktu ke waktu, sebenarnya kita sangat butuh kepada orang yang mengingatkan kita, menasihati kita, melembutkan hati kita, dan selalu menolong kita menuju jalan kebenaran, dengan tidak berlebihan dan tidak pula mengurang-ngurangi.

Ada segolongan orang yang berhati bersih sehingga mau menerima, bahkan berbahagia dan mengharapkan nasihat seperti ini. Namun ada juga segolongan orang dari kalangan umat Islam yang telah sangat jauh dari adab dan akhlak Islam. Mereka bahkan sudah jauh dari nilai-nilai tauhid dalam beribadah. Jauh dari segala hal yang sepantasnya dipersembahkan untuk Allah, seperti rasa cinta, pengagungan, ketundukan, dan kepatuhan. Orang-orang seperti ini harus diberikan teguran yang keras untuk mengingatkan mereka dari kelalaian, serta mengeluarkan mereka dari kesesatan. Dan tidak ada peringatan yang lebih kuat daripada peringatan Al-Quran yang telah terbukti memberikan pengaruh luar biasa terhadap orang Arab. Bukan hanya dengan kehebatan gaya bahasanya, tapi juga dengan segala peringatan, larangan, dan metode penyampaian kisah-kisahnya di setiap surat.

Apakah mereka mendengar firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian pemimpin-pemimpin kalian jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpinnya, maka mereka itulah orang-orang yang lalim." [QS. At-Taubah: 23]

Apakah mereka pernah membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Katakanlah: 'Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan akan mengalami kerugian, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." [QS. At-Taubah: 24]

Bahkan ketika salah seorang pembesar Quraisy mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—membacakan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Jika mereka berpaling, katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kalian dengan petir seperti petir yang menimpa kaum 'Âd dan kaum Tsamûd'." [QS. Fushshilat: 13], ia langsung meminta Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—untuk menghentikan bacaan beliau.

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—sangat tegas memperingatkan orang-orang yang kembali kepada perilaku Jahiliah. Beliau bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang menolong kaumnya dalam melakukan hal yang tidak benar adalah seperti seekor unta yang jatuh terperosok lalu ditarik dari ekornya." [Menurut Al-Albâni: shahîh]. Beliau juga bersabda, "Aku telah mencegah kalian semua agar tidak jatuh ke api Neraka, tetapi kalian berusaha melepaskan diri dari tanganku." [HR. Muslim]

Kenapa orang-orang yang diperbudak oleh budaya dan penampilan kosong sehingga perkataan dan perbuatan mereka begitu jauh dari nilai-nilai Islam itu tidak berterus terang, bahwa yang membuat mereka seperti itu adalah lemahnya iman dan jauhnya mereka dari perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran? Padahal, dalam kisah-kisah Al-Quran, perumpamaan-perumpamaan yang diukirnya, dan juga hadits-hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—tersimpan pengaruh yang dahsyat dalam memperbaiki dan memandu diri ke jalan yang lurus.

Wahai umat Islam, kapan kita akan menyadari bahwa kemajuan dan peradaban tidak pernah bertentangan dengan usaha untuk komitmen memegang Agama kita? Kapan kita sadar bahwa Al-Quran ini merupakan cahaya dan petunjuk bagi kaum muslimin?!

Aneh, kenapa kita sangat mudah menerima konsep yang digambarkan oleh para musuh kita bahwa kemajuan hanya bisa dicapai dengan meninggalkan ajaran Islam? Tidak mungkinkah kita untuk maju dan berperadaban dengan tetap melaksanakan shalat dan puasa?! Tidak mungkinkah kita maju dengan tetap istiqamah beragama?!

Kita bertanya-tanya dengan penuh keheranan, "Apakah syarat kemajuan itu harus dengan mendurhakai Allah dan melanggar perintah-Nya?!" Jika demikian adanya, maka itulah sebenarnya kemunduran hakiki, karena itu berarti kita kembali ke masa jahiliah, kesyirikan, kegelapan, serta penyembahan syahwat dan hawa nafsu. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar." [QS. Al-Isrâ`: 9].

Lalu, apakah semua fakta ini memang disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap Al-Quran, ataukah karena malu untuk mengambil kebenaran Islam, atau malah karena mengikuti syahwat, kenikmatan dunia, dan kepasrahan?!

Sesungguhnya Al-Quran mengajak kita menuju kemajuan di semua bidang, serta di seluruh perkara dunia dan Agama. Akan tetapi kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan yang diikat dengan adab-adab yang mulia dan panduan-panduan rabbani. Para pemikir dan ilmuwan non Islam merasa takjub dengan Al-Quran yang telah mendahului mereka beratus-ratus tahun yang lalu untuk mengajak berpikir dan menggapai kemajuan, sementara kebanyakan kaum muslimin saat ini malah meninggalkan Al-Quran.

Bentuk-bentuk Sikap Meninggalkan Al-Quran:

1. Tidak mau mendengar, mengimani, dan menyimak Al-Quran. Terkadang kita melihat sebagian umat Islam mendengarkan siaran-siaran radio (televisi) yang berisi acara duniawi, bahkan ketagihan mendengarkan lagu-lagu, namun ketika ada siaran bacaan Al-Quran, mereka malah mematikannya, na'ûdzubillâh min dzâlik.

2. Tidak menjadikannya sebagai sumber hukum di dalam permasalahan-permasalahan pokok dan cabang dalam Agama. Sebagian orang lebih memilih hukum-hukum konvensional atau menjadikan adat suku sebagai rujukan hukum ketika terjadi perselisihan dan percekcokan.

3. Tidak mentadaburi, memahami, dan berusaha mengetahui maksud Allah dari firman-Nya. Betapa banyak orang yang membaca Al-Quran, sementara Al-Quran melaknatnya.

4. Tidak menjadikan Al-Quran sebagai obat dan sarana terapi berbagai macam penyakit. Boleh jadi berusaha untuk berobat dengan segala sarana tanpa menghiraukan Al-Quran merupakan bentuk kelalaian dan kejauhan diri dari Al-Quran.

5. Tidak mengamalkannya, tidak mempraktikkan hukum halal dan haramnya, serta tidak memperhatikan perintah dan larangan yang tertera di dalamnya, walaupun tetap membaca dan mengimaninya.

Wahai para pembaca, dengan Al-Quran inilah kita telah dikeluarkan dari kegelapan hingga sampai kepada cahaya yang terang benderang, dan dengan meninggalkannya berarti kita kembali ke dalam kegelapan.

Dengan Al-Quran inilah kita menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia, dan dengan meninggalkannya berarti kita telah kembali menuju kehidupan yang rendah dan hina.

Dengan Al-Quran inilah umat ini mencapai puncak keagungan dan kemuliaan, dan dengan meninggalkannya berarti kita telah terjerembab ke dalam sumur kehinaan dan kesesatan.

Kita tidak perlu heran. Dunia telah menyaksikan kelahiran baru yang luar biasa dengan turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wa sallam, ketika cahayanya bersinar di seluruh pelosok, dedaunan hijaunya menyemarakkan dahan-dahan kehidupan dunia, sehingga kedamaian mengalir di seluruh nadi bumi. Al-Quran diturunkan kepada orang-orang Arab yang fasih berbahasa, namun mereka tidak mampu menandingi kesempurnaan yang luar biasa ini, sehingga mereka menyerah kepada keindahan gaya bahasanya, hati mereka menjadi terpaut dengan nilai-nilainya, dan jiwa mereka terikat dengan mukjizatnya.

Lalu, sebesar apakah pengaruh Al-Quran terhadap kepribadian manusia zaman sekarang?! Sebagian kaum muslimin malah membatasi diri mereka dari suara Al-Quran. Bahkan mereka membentengi diri mereka dari segala suara kebaikan. Jadilah mereka laksana orang-orang yang memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka. Ada yang beralasan bahwa jika ia mendengar Al-Quran maka itu akan menjadi hujjah terhadap keburukannya, dan akan merusak syahwat dan kenikmatannya. Padahal bisa jadi dengan mendengarkan ayat Al-Quran atau hadits, ia akan terlepas dari belenggu yang memenjaranya. Iya, belenggu hati dan akalnya. Karena belenggu hati lebih berat daripada belenggu badan. Betapa banyak orang yang dipenjara oleh nafsu dan syahwat tidak pernah merasakan kenikmatan iman dan keindahan bacaan Al-Quran.

Barangkali mendengarkan kebaikan akan menjadi jalan keselamatan bagi Anda, sekaligus menjadi sumber kebahagiaan yang kekal bagi hati Anda. Oleh karena itu, bukalah hati Anda. Allah telah menciptakan telinga untuk mendengar, maka janganlah Anda mengabaikannya. Allah juga telah menjadikan akal untuk berpikir, maka jangan Anda perbodoh dengan hawa nafsu.

Bacalah kisah Ath-Thufail ibnu 'Âmir Ad-Dausi—Semoga Allah meridhainya—ketika ia datang ke kota Mekah. Orang-orang Quraisy berkata kepadanya, "Sesungguhnya Muhammad telah memecah belah kami dan menghancurkan urusan kami. Perkataannya seperti sihir. Kami amat khawatir bila engkau dan kaummu akan tertimpa apa yang kami alami ini. Karena itu, janganlah engkau pernah berbicara dengannya. Janganlah engkau dengarkan perkataannya." Ath-Thufail menceritakan, "Demi Allah, mereka selalu menakut-nakutiku sehingga aku pun terpengaruh untuk tidak akan mendengarkan ucapan Muhammad sedikit pun, dan tidak akan berbicara dengannya. Aku bahkan sampai menutup telingaku dengan kapas, karena khawatir akan mendengarkan ucapan Muhammad yang tidak ingin aku dengarkan itu. Ketika aku pergi ke mesjid, ternyata ada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—sedang shalat di samping Ka'bah. Lalu aku berdiri di dekatnya, dan kemudian Allah menginginkan agar aku mendengarkan sebagian perkataannya. Ternyata aku malah mendengar perkataan yang baik. Aku berkata di dalam hati, 'Celaka aku ini. Demi Allah, aku adalah seorang penyair yang handal. Aku sangat paham mana perkataan yang baik dan mana yang buruk. Lalu apa yang menghalangiku untuk mendengarkan perkataan orang ini? Jika yang dikatakannya adalah kebaikan akan aku terima. Namun jika jelek, aku juga bisa meninggalkannya'."

Tatkala mendengarkan ayat Al-Quran yang demikian indah dari Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam, Ath-Thufail berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah mendengar perkataan yang lebih indah dari ini, dan aku tidak pernah menjumpai perkara yang lebih baik dari ini."

Al-Quran pun kemudian menjadi penyebab kebahagiaannya di dunia dan Akhirat, ketika ia memutuskan untuk membuka telinga dan akal untuk mendengarkannya. Al-Quran pun berbekas di hatinya, dan lantunan ayat-ayat yang lembut itu merasuk ke dalam hati dan akalnya dengan membawa cahaya hidayah. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." [QS. Shâd: 29]

Bahkan coba dengarkan kisah seorang lelaki yang di zaman jahiliah sangat lalim dan sangat keras terhadap orang-orang muslim yang lemah. Ia kemudian mendengar firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Thâhâ. Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar engkau menjadi susah." [QS. Thâhâ: 1], sampai ke firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." [QS. Thâhâ: 14]. Ayat-ayat ini sukses menghancurkan tiang-tiang kesyirikan di hatinya, serta melelehkan benteng kejahiliahannya. Ia pun lalu berkata, "Tidak pantas bagi Dzat yang mengatakan ini untuk disembah bersama-Nya tuhan yang selain-Nya." Lelaki tersebut akhirnya menjadi sosok yang jika ia berjalan di suatu jalan maka Syetan akan mengambil jalan lain. Ia adalah Al-Fârûq, Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya, khalifah kedua umat Islam, dan salah satu tokoh yang dijadikan Allah sebagai amunisi untuk memuliakan Agama ini.

Al-Quran ini telah menelurkan generasi istimewa dari kalangan shahabat dalam sejarah Islam, dan dalam sejarah manusia secara umum. Bukan karena keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka saja, sebagaimana persangkaan sebagian orang. Karena kalau benar itulah sebabnya, tentu dakwah dan risalah Islam telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah. Sebenarnya ada sebab lain, yaitu karena para shahabat—Semoga Allah meridhainya—telah menyerap cahaya Al-Quran, hidup dengannya, dan berpegang teguh dengannya, walaupun ada berbagai budaya pada masa itu.

Penyebab lain yang membuat para shahabat mencapai derajat dan kemuliaan seperti itu adalah karena mereka membaca Al-Quran untuk diaplikasikan di dalam diri mereka dan di tengah komunitas tempat mereka hidup. Laksana seorang prajurit yang menerima perintah di medan perang.

Karena itu, dengarlah, wahai umat Al-Quran, sesungguhnya Al-Quran ini tidak akan memberikan isinya kecuali kepada orang yang menghadap kepadanya dengan spirit penerimaan dan pengamalan. Lihatlah misalnya, ketika turun ayat pengharaman khamar (minuman keras), seorang lelaki berjalan di jalan-jalan kota Madinah untuk mengumumkan: "Ketahuilah, sesungguhnya khamar telah diharamkan!" Apa yang terjadi? Setiap orang yang memegang gelas khamar langsung melemparkannya. Bahkan semua orang yang telah memasukkan khamar ke mulutnya langsung memuntahkannya. Dan setiap orang yang menyimpan khamar di bejana-bejana langsung menumpahkannya sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan mereka kepada perintah Allah.

Kita berdoa kepada Allah, semoga kita dianugerahkan ketaatan kepada-Nya, serta mampu dengan cepat menerima perintah-Nya. Semoga kita diberikan pemahaman terhadap Al-Quran, serta kemampuan mentadaburi dan mengamalkannya. Amin.

Artikel Terkait