Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Ringkasan Ajaran Islam

Malu Adalah Akhlak Islam

Malu Adalah Akhlak Islam

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Ketahuilah, bahwa rasa malu seseorang berbanding lurus dengan kehidupan hatinya. Semakin hidup hatinya, semakin sempurna pula rasa malunya.

Hakikat Malu

Malu adalah akhlak yang mendorong untuk melakukan semua perbuatan baik dan meninggalkan seluruh perilaku buruk. Malu merupakan sifat pribadi yang terpuji. Ia adalah kepala seluruh akhlak mulia. Ia juga adalah hiasan iman dan syiar Islam, sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits, "Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu." Jadi, rasa malu merupakan bukti adanya kebaikan, penunjuk keselamatan, dan pelindung dari celaan.

Wahab ibnu Munabbih berkata, "Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa, dan hiasannya adalah rasa malu."

Dalam ungkapan lain, juga dikatakan, "Barang siapa yang berpakaian malu niscaya orang lain tidak akan melihat aibnya."

Karena sifat malu yang memiliki banyak keistimewaan dan keutamaan, Islam memerintahkan dan memotivasi kita untuk memiliki akhlak ini. Islam bahkan menjadikannya sebagai salah satu cabang iman. Dalam sebuah hadits shahîh, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Iman itu memiliki lebih dari tujuhpuluh cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan 'Lâ Ilâha illallâh', dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan."

Dalam hadits lain disebutkan: "Rasa malu dan iman selalu bersama, apabila salah satunya dihilangkan maka yang lain akan ikut hilang."

Rahasia mengapa rasa malu menjadi bagian dari iman adalah karena keduanya merupakan faktor pendorong dan pendekat kepada kebaikan, sekaligus penghalau dan penjauh dari keburukan. Benarlah ungkapan yang mengatakan, "Betapa banyak perbuatan buruk, tidak ada yang mencegahku melakukannya selain rasa malu."

Jika Anda melihat ada manusia yang berani melakukan dosa, mudah berkata keji dan kotor, maka ketahuilah bahwa di antara sebab utamanya adalah hilangnya rasa malu dari dirinya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya di antara yang didapatkan oleh manusia dari sabda kenabian yang pertama adalah: 'Apabila engkau tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu'."

Bukan Merupakan Sifat Malu

Sebagian orang tidak mau melakukan kebaikan, tidak mau berkata benar, atau tidak mau melakukan amar ma'rûf nahi munkar dengan alasan malu. Ini tentu merupakan pemahaman yang salah terhadap makna malu. Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah manusia yang paling pemalu, bahkan lebih pemalu dari gadis perawan di dalam pingitannya. Tetapi hal itu tidak mencegah beliau untuk mengatakan kebenaran, menjalankan kewajiban amar ma'rûf nahi munkar, bahkan marah ketika larangan Allah—Subhânahu wata`âlâ—dilanggar.

Rasa malu juga tidak akan mencegah seseorang menuntut ilmu dan bertanya tentang masalah Agama. Sebagaimana Ummu Sulaim Al-Anshâriyyah—Semoga Allah meridhainya—bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada kebenaran. Apakah wanita wajib mandi apabila ia mimpi basah?" Rasa malu tidak mencegahnya untuk bertanya. Begitu pula, rasa malu tidak menghalangi Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk menjelaskan. Beliau menjawab, "Ya, jika ia melihat air (mani)."

Macam-macam Malu

Sebagian ulama membagi malu menjadi beberapa macam, di antaranya:

1. Malu kepada Allah

2. Malu kepada Malaikat

3. Malu kepada manusia

4. Malu kepada diri sendiri

Pertama: Malu kepada Allah

Ketika terpatri di dalam jiwa seorang hamba bahwa Allah selalu melihatnya dan bersamanya dalam setiap waktu, maka ia akan malu jika dilihat oleh Allah tidak maksimal menjalankan kewajiban atau sebaliknya berbuat maksiat (dosa). Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah selalu melihat?" [QS. Al-'Alaq: 14]. Allah juga berfirman (yang artinya): "Dan kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh nafsunya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." [QS. Qâf: 16]. Serta ayat-ayat lain yang menunjukkan betapa Allah mengetahui dan senantiasa mengawasi segala yang dilakukan oleh para hamba-Nya.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah bersabda kepada para shahabat beliau, "Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar rasa malu." Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sudah memiliki rasa malu." Rasulullah bersabda, "Bukan itu yang dimaksud, akan tetapi barang siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya hendaklah menjaga kepalanya berikut apa yang dipikirkannya, menjaga perutnya berikut apa yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan kehancuran. Siapa yang menginginkan Akhirat niscaya akan meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa yang melakukan hal itu berarti telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar rasa malu."

Dikisahkan, ada seorang laki-laki sedang berduaan dengan seorang perempuan, lalu ia mengajak si perempuan untuk melakukan zina. Ia berkata kepada si perempuan, "Tidak ada yang melihat kita selain bintang." Tapi perempuan itu menjawab, "Lantas di mana penciptanya?"

Kedua: Malu kepada Malaikat

Sebagian shahabat Rasulullah pernah berkata, "Sesungguhnya bersama kalian ada makhluk-makhluk yang tidak pernah berpisah dengan kalian. Maka malulah kalian kepada mereka dan hormatilah mereka."

Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengingatkan akan hal ini dengan firman-Nya (yang artinya): "Dan sesungguhnya bagi kalian ada (Malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaan kalian), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatan kalian). Mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan." [QS. Al-Infithâr: 10-12]

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Artinya, malulah kalian kepada para Malaikat penjaga yang mulia itu. Hormati dan muliakanlah mereka, jangan sampai mereka melihat kalian melakukan perbuatan yang kalian malu dilihat oleh sesama kalian. Karena Malaikat juga merasa tersakiti oleh hal-hal yang membuat anak Adam tersakiti. Jika anak Adam merasa terganggu oleh orang yang melakukan maksiat di hadapannya, walaupun ia juga pernah berbuat hal yang sama, maka bagaimana dengan para Malaikat mulia yang mencatat (amal perbuatan) itu?"

Di antara shahabat, ada yang berkata dalam kesendiriannya, "Selamat datang para Malaikat Tuhanku. Aku tidak akan mengosongkan kebaikan untuk kalian hari ini. Ambillah dengan berkat Allah." Kemudian ia mulai berzikir menyebut nama Allah.

Ketiga: Malu kepada Manusia

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hudzaifah ibnul Yamân berkata, "Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mempunyai rasa malu pada manusia."

Mujâhid juga berkata, "Kalaulah seorang muslim tidak mendapatkan apa-apa dari saudaranya selain bahwa rasa malunya kepada sang saudara mencegah ia melakukan maksiat, maka itu telah cukup baginya."

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahkan menjadikan rasa malu ini sebagai penentu hukum dan standar perbuatan seseorang. Beliau bersabda, "Apa yang engkau tidak suka dilihat oleh orang lain, janganlah engkau melakukannya ketika sendirian."

Keempat: Malu kepada Diri Sendiri

Barang siapa yang malu kepada orang lain tetapi tidak malu kepada dirinya sendiri, berarti dirinya lebih rendah dalam pandangannya sendiri daripada pandangan orang lain. Karena ketika ingin melakukan perbuatan buruk, mestinya seseorang membayangkan bahwa dirinya adalah sosok manusia yang sedang melihat perbuatannya. Rasa malu ini mestinya diaplikasikan dalam sikap 'iffah (pandai menjaga kehormatan diri), piawai menjaga perilaku dalam kesendirian, dan batin yang bersih.

Jika seseorang memandang dirinya mulia, ia pasti akan jauh lebih malu kepada dirinya daripada kepada orang lain. Seorang ulama Salaf berkata, "Barang siapa yang di tempat sepi melakukan perbuatan yang malu ia lakukan di tempat ramai, berarti dirinya tidak memiliki harga apa-apa dalam pandangannya."

Sesungguhnya rasa malu adalah penyempurna kemuliaan, tempat tumbuh keridhaan, perambah jalan pujian, pemberi kematangan akal, dan pembesar kehormatan.

Semoga Allah memberi kita kesempurnaan rasa malu dan rasa takut kepada-Nya, serta menutup semua amal kita dengan husnul khâtimah. Amin.

Artikel Terkait