Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Akhlak Tercela

Safâhah (Kebodohan)

Safâhah (Kebodohan)

Definisi Safâhah (Kebodohan)

Safâhah (kebodohan) adalah lawan dari kata hilm (berakal). Ia adalah sifat cepat marah dan murka karena perkara kecil, dan cepat melakukan kekerasan dan mencela dengan keji ketika menghukum. Tidak diragukan lagi bahwa perilaku cepat emosi seperti itu penyebabnya adalah kurangnya akal.

Kebodohan bisa terjadi dalam perkara agama, dan juga dalam perkara duniawi. Kebodohan dalam perkara agama atau ukhrawi sebagaimana disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):

"Dan bahwasanya orang yang bodoh dari kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah." [QS. Al-Jinn: 4];

• "Orang-orang yang bodoh di antara manusia akan berkata, 'Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari Kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat ke sana?' Katakanlah, 'Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." [QS. Al-Baqarah: 142]

Maksud orang yang bodoh dalam ayat ini—seperti yang dikatakan As-Suddi—adalah orang-orang kafir, munafik, dan Yahudi. Orang-orang kafir mengatakan ketika peristiwa pemindahan arah Kiblat, "Muhammad kembali ke Kiblat kita dan suatu saat nanti akan kembali ke dalam agama kita. Dia mengetahui bahwa kita berada dalam kebenaran."

Sedangkan orang-orang munafik mengatakan, "Jika kiblat yang pertama benar, maka kiblat penggantinya batil. Demikian juga sebaliknya."

Sedangkan orang-orang Yahudi mengatakan, "Dia menyalahi kiblat para nabi. Seandainya ia dalam kebenaran, niscaya ia tidak akan menyalahi kiblat mereka."

Tidak diragukan lagi bahwa ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan kebodohan mereka dan kurangnya akal mereka. Mereka lupa bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengendalikan seluruh urusan hamba-hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Dan milik-Nyalah semua yang ada di timur dan di barat. Dia menunjukkan siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.

Orang yang bodoh dalam segi ini adalah orang yang memiliki pemahaman yang buruk, cepat melakukan dosa, dan terpedaya oleh syetan, sehingga menjadi tawanan kedurhakaan, dan kemaksiatan. Semoga Allah menjaga kita dari kondisi demikian.

Oleh sebab itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjelaskan kebodohan mereka, ketika mereka diseru untuk beriman, namun mereka mengatakan: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Allah—Subhânahu wata`âlâ—lalu berfirman (yang artinya): "Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengtahui." [QS. Al-Baqarah: 13]

Seandainya mereka itu adalah orang-orang yang berakal, dan memiliki pandangan yang lurus, tentu mereka akan mengetahui bahwa apa yang diserukan kepada mereka itu adalah kebenaran.

Adapun kebodohan dalam perakara duniawi tercermin dalam pengelolaan urusan yang buruk, pendapat yang buruk, dan tindakan yang menyalahi akal sehat. Seorang yang bodoh, ia membelanjakan hartanya secara boros pada sesuatu yang tidak sepatutnya. Dan ia tidak mampu memperbaiki dan mengendalikannya dengan baik.

Oleh sebab itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—melarang memberikan harta kepada orang-orang yang kondisinya seperti itu. Karena mereka akan menghambur-hamburkannya sesuka hati mereka, dan membelanjakannya pada sesuatu yang tidak baik menurut syariat dan akal. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah kalian menyerahkan kepada orang-orang yang bodoh, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan." [QS. An-Nisâ': 5]

Ketika orang-orang bodoh muncul dan berbicara atas nama umat, berarti telah datang zaman yang diperingatkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Beliau bersabda, "Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan. Di dalamnya pendusta dibenarkan, dan orang yang jujur didustakan, pengkhianat dipercaya, dan orang yang terpercaya dituduh berkhianat. Di dalamnya Ruwaibidhah berbicara." Dikatakan kepada beliau, "Apakah Ruwaibidhah itu, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Yaitu orang yang bodoh berbicara tentang urusan khalayak umum." [HR. Ibnu Mâjah, dan Ahmad. Redaksi: Ahmad. Menurut Ahmad Syâkir: Sanadnya shahîh]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga memperingatkan tentang kepemimpinan orang-orang yang bodoh. Diriwayatkan dari Jâbir bin Abdullah—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepada Ka`b bin `Ujrah, 'Semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh.' Ka`b berkata, 'Apa maksud kepemimpinan orang-orang yang bodoh itu?' Beliau bersabda, 'Para pemimpin setelahku. Mereka tidak meneladani petunjukku, dan tidak mengikuti sunnahku. Orang-orang yang membenarkan mereka terhadap kebohongan mereka, dan membantu mereka terhadap kezaliman mereka, mereka itu bukanlah golonganku, dan aku bukanlah golongan mereka, dan mereka tidak akan datang ke telagaku. Sedangkan orang-orang yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, dan tidak menolong mereka atas kezaliman mereka, mereka itu adalah golonganku, dan aku adalah golongan mereka, dan mereka akan datang ke telagaku." [HR. An-Nasâ'i, dan At-Tirmidzi. Menurut At-Tirmidzi: Hasan Gharîb]

Hindari Orang yang Bodoh

Sikap terbaik terhadap orang-orang yang bodoh adalah menghindari dan tidak bergaul dengan mereka. Barang siapa yang diuji, bertemu dengan salah seorang dari mereka, hendaklah bersikap sabar. Suatu ketika `Umair bin Khamâsyah berwasiat kepada anak-anaknya. Dia berkata, "Wahai anak-anakku, janganlah kalian bergaul dengan orang-orang yang bodoh. Sesungguhnya bergaul dengan mereka adalah penyakit. Barang siapa menghindari mereka dengan cara yang baik, niscaya ia akan bahagia. Dan barang siapa menanggapi mereka, maka ia akan menyesal. Barang siapa yang tidak ridha dengan sedikit yang dibawa oleh orang yang bodoh, niscaya akan ridha dengan yang banyak."

Semoga Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjaga kita dari penyakit bodoh dan orang-orang yang mengidapnya.

Artikel Terkait