Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Muslim Idial

Kuat dalam Memegang Agama Salah Satu Karakter Kaum Mukminin

Kuat dalam Memegang Agama  Salah Satu Karakter Kaum Mukminin

Kuat dalam memegang agama, kuat dalam berpegang teguh padanya, dan sabar dalam menghadapi ujian karenanya adalah salah satu karakter lelaki sejati. Yang demikian itu adalah sifat para nabi dan rasul, serta orang-orang yang setia mengikuti tuntunan mereka hingga hari Kiamat. Teguh dalam memegang agama Allah, dan tegas dalam mengucapkan kebenaran di hadapan para penguasa zalim, dan di hadapan ajaran-ajaran yang menyimpang adalah karakter mereka. Satu orang yang memiliki keteguhan dan kekuatan seperti ini jauh lebih baik daripada antrean panjang orang-orang yang tunduk, walaupun hanya dengan perkataan, pada keinginan orang-orang kafir dan para pendosa.

Keteguhan dan kekuatan yang demikian itu membuahkan kecintaan dan keridhaan Allah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah memerintahkan hal itu di dalam Al-Quran (yang artinya): "Hai Yahyâ, ambillah (pelajari dan laksanakanlah ajaran) Al-Kitab (Taurat) itu dengan sepenuh kekuatan.” [QS. Maryam: 12]. Dengan sepenuh kekuatan, artinya, bersungguh-sungguh, semangat, dan berusaha keras. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga memerintahkan hal itu kepada Nabi Mûsâ—`Alaihis salâm—dengan firman-Nya (yang artinya): "Maka (kami perintahkan), 'Berpeganglah kepadanya dengan teguh, dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya.” [QS. Al-A`râf: 145]. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga memerintahkan hal serupa kepada Bani Isrâ’îl: "Peganglah dengan sepenuh kekuatan apa yang Kami berikan kepada kalian.” [QS. Al-Baqarah: 63]. Mujâhid—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Kekuatan di sini adalah kekuatan dalam mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Ia juga berarti ketaatan, dan kesungguhan.”

Namun sangat disanyangkan, yang terjadi di dalam kehidupan kita, dan kehidupan manusia umumnya adalah sebaliknya, seakan-akan kita belum mengambil pelajaran dari hal ini. Krisis, bencana, dan berkuasanya musuh terhadap bangsa dan rakyat muslim menuntut kekuatan iman dan kedalaman keyakinan. Inilah dia jalan keluar dari bencana yang menimpa kaum muslimin. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatakan diri dari bencana dan azab Allah kecuali dengan kembali kepada-Nya. Tidak akan selamat dari azab Allah kecuali orang-orang yang Dia kasihi. Namun, kita malah suka menjadi seperti orang yang berlindung dari panas dengan api, atau seperti unta yang mati kehausan di tengah panas terik, padahal ia membawa air di atas punggungnya.

Kita semakin gemar bermaksiat, menyia-nyiakan ajaran agama Allah, mengubah makna walâ’ (loyal terhdap Islam dan kaum muslimin) dan barâ’ (berlepas diri dari kaum kafir dan kekafiran), dan mengubah ajaran Allah melalui metode pengajaran dan sarana informasi, baik dalam lingkup kehidupan pribadi maupun masyarakat umum, demi memuaskan kehendak musuh-musuh Islam dan musuh-musuh kaum Muslimin. Sehingga kelemahan kita pun semakin bertambah dan memberatkan, sementara musuh semakin zalim dan melampaui batas. Seakan-akan kita tidak punya lagi jalan keluar dari realita buruk yang kita hadapi, dan kita tidak mampu lagi mengusahakan sebab-sebab kekuatan sejati, serta tidak berdaya untuk mencegah kesewenang-wenangan dan kesesatan musuh.

Dahulu orang-orang musyrik, ketika mereka berada di atas kapal laut, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh ketundukan. Mereka melemparkan berhala-berhala mereka ke laut, dan memohon, "Wahai Rabb kami." Sementara sebagian kita, ketika menghadapi kesulitan, hatinya bergantung kepada makhluk, bahkan kepada musuh-musuhnya, bak menyuruh serigala menggembala kambing. Akankah mereka memberi kalian petunjuk, padahal Allah telah menyesatkan mereka? Akankah mereka menjadikan kalian mulia, sementara Allah telah menghinakan mereka? Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Beginilah kalian, kalian menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kalian.” [QS. Âli `Imrân: 119].

Sesungguhnya kekuatan itu tidak diminta dari makhluk, karena mereka semua adalah lemah, sekalipun mereka adalah orang-orang muslim. Lantas layakkah kita meminta kekuatan dari musuh-musuh kita, sementara terlihat kebencian menyeringai dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka jauh lebih besar.

Sungguh Bani Isrâ’îl dulunya adalah kaum yang tertindas, sementara Fir`aun mengaku sebagai tuhan yang layak disembah. Dia menyembelih anak laki-laki mereka (Bani Isrâ’îl), dan menghinakan anak perempuan mereka, serta mempekerjakan mereka untuk hal-hal yang rendah. Namun mereka tidak diperintahkan untuk tunduk, atau pasrah menerima kehinaan, atau menyerah pada kenyataan yang pahit, dan menyakitkan, atau mengubah pemahaman keimanan, atau menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal, sebagaimana yang diminta oleh sebagian orang, dan dilakukan oleh sebagian yang lain. Melainkan diperintahkan kepada mereka, "Peganglah dengan sepenuh kekuatan apa yang Kami berikan kepada kalian.” [QS. Al-Baqarah: 63].

Sesungguhnya kekuatan hakiki akan terwujud ketika kita menghubungkan bumi dengan langit, dan dunia dengan akhirat, serta hati bergantung kepada Yang Mahakuat, karena kekuatan Allah di atas segala kekuatan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

"Sesungguhnya Rabbmu Dialah Yang Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [QS. Hûd: 66];

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [QS. Al-Hajj: 40];

"Allah telah menetapkan, 'Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.’ Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [QS. Al-Mujâdalah: 21].

Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah memerintahkan kita untuk menyiapkan segala macam kekuatan dan perlengkapan, serta mengusahakan segala sebab-sebab kekuatan, baik yang berupa materi maupun non materi. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” [QS. Al-Anfâl: 60].

Dalam sebuah hadits disebutkan, "Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah.” [HR. Muslim]. Namun kekuatan yang paling besar adalah kekuatan iman. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—dia berakata, "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Namun pada keduanya terdapat kebaikan. Gigihlah melakukan hal-hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan melemah.” [HR. Muslim].

Mungkin saja orang-orang kafir dapat menguasai negeri kaum Muslimin. Maka ketika itu Anda akan menemukan sebagian mereka gemetar, tak berdaya, dan ketakutan oleh kekuatan musuh, seraya menganggap lemah kekuatan kaum muslimin. Hal itu merupakan bentuk kelemahan iman dan permainan syetan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syetan yang menakut-nakuti (kalian) dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” [QS. Âli `Imrân: 175].

Terkadang urusannya menjadi terbalik, kita seolah menjadi singa yang ganas ketika berinteraksi dengan orang-orang shalih, tetapi menjadi burung unta ketika berhadapan dengan orang-orang kafir, musuh-musuh kita. Padahal Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfriman (yang artinya): "Muhammad itu adalah rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” [QS. Al-Fath: 29]. Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Kaum Muslimin pada saat Perjanjian Hudaibiyah sangat tegas terhadap orang-orang kafir, yakni keras terhadap mereka bagaikan singa terhadap mangsanya." Itulah dia sifat orang-orang beriman, mereka bersikap tegas dan keras terhadap orang-orang kafir, dan penyayang, serta sangat baik terhadap sesama kaum mukminin. Mereka bermuka masam dan marah ketika berhadapan dengan orang-orang kafir, dan berwajah riang, serta tersenyum ketika berhadapan dengan saudaranya sesama kaum mukminin, demikian dikatakan oleh Ibnu Katsîr.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersikap sabar ketika menghadapi gangguan yang diarahkan kepada diri beliau. Namun jika hal itu berkaitan dengan pelanggaran hak-hak Allah, maka beliau bersikap tegas sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah. Sikap tegas terhadap kaum kafir dan orang-orang yang melanggar hukum-hukum Allah ini adalah sebaik-baik sikap untuk membuat mereka jera. Sikap ini juga dapat merealisasikan rasa aman dan tentram.

Kisah Para Nabi—`Alaihimuss salâm.

Orang yang menelaah sejarah dan kisah para nabi dan rasul akan mendapatkan bahwa sifat kuat dalam memegang agama Allah, kuat dalam menghadapi orang-orang kafir, dan kuat dalam berdakwah kepada Allah, Rabb semesta alam merupakan karakter yang secara jelas tergambar dalam kehidupan mereka.

Lihatlah bagaimana Nabi Allah Nûh`Alaihis salâm—berdakwah menyeru kaumnya siang dan malam, dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Dikisahkan bahwa beliau sampai memasuki rumah mereka satu-persatu guna menyampaikan dakwah kepada mereka. Kaum beliau sampai melukai beliau, bahkan sampai beliau pingsan. Ketika sadar beliau tetap berkata menyeru mereka, "Sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan yang benar selain Allah.” Beliau terus-menerus berdakwah selama 950 tahun. Meski pada akhirnya tidak ada yang beriman bersama beliau kecuali sedikit saja. Apakah beliau kemudian merasa tidak bersemangat, atau lemah, atau meninggalkan dakwah? Tidak sama sekali. Bahkan beliau diperintah untuk membuat kapal. Lalu beliau membuatnya di atas daratan, dan beliau tahu bahwa Allahlah yang akan menjalankannya. Meskipun akibatnya beliau dihina oleh kaum beliau setiap kali mereka melewati beliau. Sehingga beliau berkata, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran (yang artinya): "Jika kalian mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek (kami).” [QS. Hûd: 38].

Lihatlah bagaimana Nabi Allah Ibrâhîm—`Alaihis salâm—menghancurkan berhala-berhala, berdakwah kepada ayahnya, berjuang menghadapi kaumnya, dan berdebat dengan Raja Namrûd, sang penguasa. Lihatlah bagaimana beliau harus meninggalkan istrinya Hajar, dan putranya Ismâ`îl—`Alaihis salâm—di tempat yang gersang, bagaimana beliau hendak menyembelih putranya demi menjalankan perintah Allah, dan bagaimana beliau berpindah-pindah tempat untuk berjihad di jalan Allah. Beliau berkata, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran (yang artinya): "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” [QS. Ash-Shâffât: 99]. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad, tidak takut, dan tidak gentar menghadapi kekuatan dunia yang materialis. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah, dan hanîf, dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah). (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya, dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” [QS. An-Nahl: 120-121].

Lihatlah bagaimana Nabi Allah Mûsâ—`Alaihis salâm—menghadapi Fir`aun yang mengaku sebagai tuhan yang layak disembah. Beliau juga menantang para tukang sihir. Dikisahkan bahwa jumlah mereka tujuh puluh ribu tukang sihir. Beliau juga terpaksa keluar menuju Madyan. Di sana ada seorang wanita berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku ambillah ia (Mûsa—`Alaihis salâm) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." [QS. Al-Qashash: 26]. Kemudian tampaklah kekuatan beliau dalam dakwahnya kepada Bani Isrâ'îl, dalam kesabarannya menghadapi mereka, dan dalam seruannya untuk tetap teguh memegang agama. Beliau berkata kepada kaum beliau, "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." [QS. Al-A`râf: 128]. Pengagungan beliau terhadap syiar Allah termasuk salah satu gambaran keteguhan dan kekuatan beliau. Hal ini tampak ketika beliau melempar papan berisi firman Allah, karena sangat marah melihat kaumnya menyembah selain Allah, lalu menarik rambut kepala saudaranya.

Orang yang membaca sîrah (sejarah perjalanan hidup) Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—akan menemukan dalam diri beliau kekuatan iman dalam gambarannya yang paling sempurna. Dakwah beliau terhadap kaumnya, dan kesabaran beliau dalam menghadapi gangguan mereka terhadap diri beliau yang mulia, dan terhadap para shahabat beliau yang setia, semua itu menggambarkan keteguhan beliau, yang juga tercermin dalam sabda beliau, "Demi Allah, kalaulah mereka menaruh matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan dakwah ini, niscaya aku tidak akan pernah meninggalkannya sampai Allah memenangkannya, atau aku mati di jalannya.”

Ditawarkan kepada beliau harta berlimpah agar beliau menghentikan dahwahnya, namun beliau tidak pernah tergiur. Mereka berkonspirasi untuk membunuh beliau, namun Allah menyelamatkan beliau dari mereka. Beliau terpaksa harus berhijrah meninggalkan negeri yang paling Allah cintai, dan paling beliau cintai. Beliau tidak pernah meninggalkan jihad di jalan Allah, baik di Makkah maupun di Madinah. Berkumpul pada diri beliau kekuatan materi dan kekuatan iman, sehingga beliau tetap tegar ketika perang berkecamuk dan berkobar, bahkan di antara para shahabat pemberani ada yang berlindung di belakang beliau. Pada Perang Hunain, ketika kaum Muslimin bercerai-berai, beliau tetap tegar berdiri sembari bersabda, "Akulah Nabi, tiada dusta. Akulah putra Abdul Muththalib.” Sehingga para shahabat pun kembali mengelilingi beliau. Rukânah—salah seorang pegulat Arab yang terkenal—pernah bergulat dengan beliau, dan beliau berhasil mengalahkannya sebanyak tiga kali. Sebelum diutus menjadi rasul, beliau menyepi di Gua Hirâ' beberapa malam untuk beribadah, dengan dibekali oleh ibunda As-Sayyidah Khadîjah—Semoga Allah meridhainya. Siapakah di antara kita yang mampu melakukan semua yang dilakukan oleh beliau ini?

Lihat Juga Kisah Orang-Orang Shalih

Jika kita melihat kisah orang-orang shalih terdahulu kita akan menemukan dalam diri mereka ketulusan dalam mengikuti tuntunan agama, dan keteguhan dalam memegang ajaran agama, tanpa mengubah atau menggantinya. Dalam Surat Yâsîn, seorang laki-laki dikisahkan telah menyaksikan kematian yang dialami oleh para rasul. Walau demikian dia tetap bergegas datang dari ujung kota, berusaha untuk melanjutkan dakwah mereka dengan menyeru kaumnya, "Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta balasan dari kalian; dan mereka ituah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. Yâ Sîn: 20-21]. Tidakkah dia mengkhawatirkan keselamatan dirinya? Dan mengapa dia tidak memikirkan rumah dan keluarganya? Dia telah menyerahkan segala urusannya kepada Allah, dan menyadari bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan para wali-Nya yang istiqamah di atas syariat-Nya, dalam kesulitan, kemudahan, senang, maupun susah.

Lalu ketika mereka menangkapnya, dan membunuhnya, dia tetap menasihati mereka setelah mati, sebagaimana dia menasihati mereka ketika hidup. Dia berakta, "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Rabbku memberi ampun kepadaku, dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan." [QS. Yâ Sîn: 26-27]. Maka merekapun menjadi hina di hadapan Rabb mereka, "Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah ia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit, dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu.” [QS. Yâ Sîn: 28-30].

Sesungguhnya kuatnya iman, dan dalamnya keyakinan merupakan sebab yang mengokohkan pendirian Ashhâbul Kahfi, orang-orang yang beriman dari keluarga Fir`aun, Abdullah Al-Ghulâm, dan Ashhâbul Ukhdûd. Dengan itu pula kita menafsirkan kokohnya pendirian Sumayyah dan suaminya Yâsir, serta anaknya `Ammâr. Mereka semua disakiti di jalan Allah. Walau demikian kita tidak melihat dari diri mereka selain keteguhan dalam menaati Allah. Orang-orang musyrik menjemur Bilâl di atas panas terik padang pasir, di atas dadanya diletakkan sebongkah batu, sementara dia hanya berucap, Ahad, Ahad (Allah Maha Esa). Ummu Tamîm, membakar sebongkah besi sampai merah, lalu menempelkannya di atas kepala Bilâl sampai dia meliuk-liuk kesakitan. Sungguh antrean orang-orang yang disakiti di dunia adalah antrean yang sangat panjang. Di antara mereka ada yang dipenjara, dibunuh, diusir, sebagian ada yang diletakkan gergaji di ubun-ubun kepalanya, lalu badannya dibelah dua, ada juga yang disisir dengan sisir besi, hingga menembus daging sampai tulangnya, namun sedikitpun hal itu tidak membuat mereka meninggalkan agama mereka. Rasulullah—Shallallâhu `alaihim wasallam—juga disakiti. Hal yang demikian itu tidak membuat mereka semua merasa lemah ataupun menyerah. Melainkan mereka berkata, "Cukuplah bagi kami Allah, sebaik-baik penolong.”

Wahai kaum, penuhilah panggilan Allah, berimanlah, berhati-hatilah dari beriman kepada sebagian ajaran Al-Quran, dan mengingkari sebagian ajarannya yang lain. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat." [QS. Al-Baqarah: 85]. Dan Dia juga berfirman (yang artinya): "Dan Rabbmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." [QS. An-Naml: 93].

Berhati-hatilah dari sifat-sifat orang munafik yang menyembah Allah ketika mendapat kenikmatan saja. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman yang artinya):

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [QS. Al-Hajj: 11];

"(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan hanyalah kepunyaan Allah.” [QS. An-Nisâ': 139].

Kelak akan tersingkap tirai penutup, dan akan tampak dengan jelas orang yang bekalnya adalah kemunafikan. Sesungguhnya apa yang dia hasilkan adalah fatamorgana yang disangka air oleh orang yang dahaga. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tetapi bila didatanginya air itu ia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” [QS. An-Nûr: 39]. Kalian tidak akan bebas, dan tidak akan dimaafkan karena mengubah agama Allah, dan mengganti syariat-Nya, "Katakanlah, 'Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. [QS. Yûnus: 15].

Janganlah kalian memanfaatkan keringanan-keringanan Allah tidak pada tempatnya. Kehidupan ini adalah sesuatu yang sepele, sementara surga adalah dagangan yang sangat mahal. Kematian seseorang di dalam ketaatan adalah lebih baik daripada kehidupannya di dalam kemaksiatan. Ketahuilah bahwa hancurnya musuh-musuh kalian adalah karena kesombongan mereka atas kekuatan yang mereka miliki. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Adapun kaum `Âd, maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, 'Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?’ Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) kami.” [QS. Fushshilat: 15].

Tubuh kita bisa saja lemah, namun makna-makna keimanan dan keyakinan tidak boleh lemah di dalam hati kita. Maka tetap tegarlah wahai hamba Allah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

"Barang siapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri.” [QS. Al-Fath: 10];

"Dan jika kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan (berpaling) seperti kalian.” [QS. Muhammad: 38].

Artikel Terkait