Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. KELUARGA DAN MASYARAKAT
  4. Persoalan Sosial

Berlebihan dalam Berbicara

 Berlebihan dalam Berbicara

Oleh: Syaikh Ahmad Farid

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan dan mengindahkan bentuk manusia, menghiasinya cahaya keimanan, memuliakannya dengan Al-Quran, serta memberinya lidah untuk mengungkapkan isi hati dan pikirannya.

Lidah termasuk nikmat Allah yang paling agung, sekaligus salah satu ciptaan Allah yang paling unik. Bentuknya kecil, namun ketaatan dan kedurhakaan yang disebabkan olehnya sangat besar. Kekafiran dan keimanan tidak dapat ditentukan kecuali dengan kesaksian lidah, dan keduanya merupakan simbol puncak dari ketaatan dan kemaksiatan.

Barang siapa yang tidak menjaga lisannya dan membiarkannya bergerak bebas, maka Syetan akan membawanya ke mana pun yang ia suka, menggiringnya ke tepi jurang, lalu menjatuhkannya ke dalam kebinasaan. Tidaklah manusia dijungkalkan di dalam Neraka melainkan karena lidah mereka. Seseorang tidak akan selamat dari bahaya lisannya kecuali jika ia ikat dengan rambu-rambu Agama, tidak ia gunakan kecuali untuk hal yang mendatangkan manfaat di dunia dan Akhirat, serta ia tahan dari segala bentuk keburukan yang dikhawatirkan bahayanya di dunia dan Akhirat.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Mu`adz—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Adakah manusia disungkurkan di atas muka mereka (atau di atas batang hidung mereka) di dalam Neraka selain karena buah dari lidah mereka sendiri?"

Maksud dari kata buah dari lidah adalah balasan yang diterima akibat perkataan buruk yang keluar dari lidah mereka. Karena manusia itu menanam kebaikan dan keburukan melalui perkataan dan perbuatannya, kemudian mereka akan menerima hasilnya nanti di hari Kiamat. Maka barang siapa menanam bibit kebaikan, baik perkataan maupun perbuatan, niscaya kelak akan mendapatkan buah kemuliaan, dan barang siapa menanam bibit keburukan niscaya juga akan menuai buah penyesalan.

Pemahaman tekstual hadits Mu`adz di atas menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan menyebabkan manusia masuk ke dalam Neraka adalah ucapan lidah, karena di antara maksiat (dosa) yg berasal dari lidah adalah ucapan syirik, sementara syirik merupakan dosa terbesar di sisi AllahSubhânahu wa Ta`âlâ. Termasuk juga dosa lidah yang lain adalah perkataan tentang Allah tanpa disertai dengan pengetahuan, dan ini adalah teman dekat kesyirikan. Juga termasuk kesaksian palsu, sihir, serta berbgaai dosa-dosa besar dan kecil lainnya, seperti dusta, gunjing, dan fitnah. Bahkan segala bentuk aktivitas kemaksiatan biasanya tidak pernah luput dari perkataan yang menyertai dan membantu terjadinya kemaksiatan itu.

Banyak hadits yang menunjukkan keutamaan diam, di antaranya adalah sebagai berikut:

· Diriwayatkan dari Sufyan ibnu Abdullah Ats-Tsaqafiy, ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, hal apakah yang paling engkau khawatirkan menimpa diriku? Beliau bersabda, 'Ini!' (beliau menunjuk ke lidah beliau)."

· Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Seorang muslim itu adalah orang yang kaum muslimin selamat dari kejahatan lisan dan tangannya." [HR. Al-Bukhâri]

· Diriwayatkan dari `Uqbah ibnu Amir—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Jagalah olehmu lisanmu'."

· Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata yang baik atau hendaklah ia diam." Hadits ini termasuk salah satu ungkapan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang ringkas namun padat makna. Di dalamnya terdapat perintah untuk berkata dengan perkataan yang baik dan menahan lidah dari segala bentuk perkataan yang tidak mengandung kebaikan. Karena perkataan ada yang baik, dan ini diperintahkan untuk diungkapkan, dan ada pula yang buruk, dan ini diperintahkan untuk didiamkan (tidak diucapkan). Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tidak satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)".[QS. Qâf: 18]

· Diriwayatkan dari Sahal ibnu Sa`ad, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang bisa menjamin untukku (selalu menjaga) apa yang ada di antara dua tempat tumbuh rambutnya (mulut) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), niscaya aku akan menjamin untuknya Surga." Maksudnya, siapa yang menunaikan kewajiban lidahnya, yaitu mengucapkan apa yang wajib diucapkan dan diam dari hal-hal yang tidak bermanfaat, juga menunaikan kewajiban kemaluannya dengan menempatkannya pada yang halal dan menjaganya dari yang haram, maka niscaya aku jamin bahwa ia akan masuk Surga.

Ibnu Baththal berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi seorang hamba di dunia adalah lidah dan kemaluannya. Barang siapa yang mampu menjaga keburukan yang datang dari keduanya berarti ia telah selamat dari ancaman bahaya tersebut."

· Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengatakan suatu perkataan tidak ia ketahui, sehingga ia tergelincir ke dalam Neraka yang jaraknya antara timur dan barat."

Ibnu Abdil Bar berkata, "Perkataan yang menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam Neraka adalah perkataan (palsu) yang diucapkan di depan penguasa yang zalim."

Syaikh Izzuddin ibnu Abdissalam berkata, "Maksud 'perkataan yang tidak ia ketahui' adalah perkataan yang tidak ia ketahui apakah baik atau buruk. Karena itu, manusia diharamkan mengucapkan perkataan yang tidak ia ketahui baik atau buruknya."

Imam An-Nawawi berkata, "Hadits ini mengajak kita untuk menjaga lidah. Maka sudah semestinya bagi siapa yang hendak mengucapkan suatu perkataan benar-benar mempertimbangkannya sebelum diucapkan, jika dipastikan bahwa ia mengandung kebaikan maka ia boleh mengucapkannya, tapi jika tidak, ia wajib menahan lidahnya."

Beberapa Riwayat dari Para Shahabat tentang Menjaga Lidah:

· Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas`ud—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, tidak ada benda yang lebih perlu untuk dipenjarakan dengan lama daripada lidahku." Ia juga pernah berkata, "Wahai lidah, katakanlah yang baik, niscaya engkau akan mendapat kebaikan, dan diamlah untuk tidak mengucapkan kata-kata yang buruk, niscaya engkau akan selamat sebelum datang kepadamu hari penyesalan."

· Diriwayatkan dari Abu Darda'—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Berlaku adillah kepada kedua telingamu dalam menggunakan mulutmu, karena untukmu diciptakan dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara."

· Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa ia pernah berkata, "Mereka pernah mengatakan bahwa lidah orang mukmin itu ada di belakang hatinya, jika ia hendak mengatakan sesuatu, hatinya akan menimbang baik dan buruknya terlebih dahulu, baru ia ucapkan. Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, jika menginginkan sesuatu, ia langsung mengungkapkannya tanpa menimbangnya dengan hatinya."

· Al–Hasan juga pernah berkata, "Tidak sempurna agama orang yang tidak menjaga lisannya."

Jika Anda bertanya, mengapa diam memiliki keutamaan yang sedemikian besar? Ketahuilah, bahwa sebabnya adalah karena penyakit lidah begitu banyak, mulai dari dusta, gunjing, fitnah, riya, kemunafikan, kata-kata kotor, perdebatan, memuji diri sendiri, memperbincangkan kebatilan, permusuhan, berlebihan-lebihan dalam berbicara, pemalsuan kata, menambah atau mengurangi dari yang semestinya, serta menyakiti dan membuka aib orang lain. Semua ini adalah jenis penyakit lisan. Semuanya dapat terlontar dari lidah tanpa terasa berat, hati dapat terpikat oleh manisnya, dan motivasinya dihembuskan oleh tabiat manusia dan tipu daya Syetan. Orang yang terkena penyakit ini jarang sekali yang mampu menjaga lisannya. Ia akan mengatakan apa yang ia sukai dan menyimpan apa yang tidak ia sukai. Ini adalah masalah yang sulit ditebak. Terseret ke dalamnya berarti bahaya, dan diam berarti selamat. Oleh karena itu, keutamaan diam sangat besar. Ditambah lagi dengan berbagai manfaatnya dalam memunculkan sikap tenang, senantiasa berpikir, berzikir, dan beribadah, serta selamat dari berbagai akibat ucapan lidah di dunia dan di Akhirat kelak. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tidak satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)." [QS. Qâf: 18]

Ada suatu hal yang menunjukkan keutamaan diam, yaitu fakta bahwa perkataan terbagi kepada empat jenis: Pertama, perkataan yang hanya mengandung mudharat (bahaya). Kedua, perkataan yang hanya mengandung manfaat. Ketiga, perkataan yang mengandung mudharat dan juga manfaat. Keempat, perkataan yang tidak mengandung mudharat dan tidak juga mengandung manfaat.

Adapun perkataan yang murni hanya mengandung mudharat, kita wajib diam dan tidak mengucapkannya. Demikian juga halnya dengan perkataan yang mengandung mudharat dan manfaat, karena mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan manfaat. Adapun perkataan yang tidak mengandung manfaat dan mudharat, ini termasuk fudhûl (tidak berguna), sibuk di dalamnya berarti membuang-buang waktu dan merupakan awal dari kerugian. Jadi, kini tersisa jenis keempat. Tiga bagian sebelumnya telah gugur, tinggal seperempatnya. Bagian yang tersisa ini juga mengandung bahaya, karena terkadang bercampur dengan dosa riya, kepura-puraan, atau memuji diri sendiri, dan itu sangat halus dan sulit dideteksi, sehingga melakukannya pun berarti menghadang bahaya.

Artikel Terkait