Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Ru'yah Hilal; Antara Perspektif Syariah dan Ilmu Falak.

Ru

Oleh: Muhammad Ismail Al-Muqaddam

Pertanyaan: Apa hukum syar`i dalam penetapan awal bulan Hijriyah dengan menggunakan sistem Ilmu Falak (Astronomi)?

Jawaban: Di antara uraian yang paling bagus dalam masalah ini terdapat dalam tulisan yang ditulis oleh Ustadz Abdul Maqshud Syaltût—Semoga Allah melindunginya. Berikut Ringkasannya:

Penggunaan hitungan ilmu falak dalam menetapkan awal bulan Hijriyah memiliki dua kesalahan yang fatal:

Pertama, menghapus faktor Syariat yang membuat wajibnya memulai dan mengakhiri puasa, yaitu ru'yah (melihat) hilal secara langsung dengan mata kepala.

Kedua, membuat metode baru yang tidak disyariatkan oleh Allah dalam menetapkan waktu berpuasa dan berbuka, yaitu menggunakan penghitungan ilmu falak (astronomi) serta memberikan argumentasi terhadap keabsahannya.

Untuk poin yang pertama, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda:

o "Berpuasalah kalian apabila telah melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah (Idul Fitri) jika telah melihat hilal (Syawwal). Jika kalian terhalang untuk melihatnya maka ukurlah bilangan bulannya 30 hari."

o "Janganlah kalian mempercepat (awal) bulan (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal atau menyempurnakan bilangan hari (bulan Sya'ban). Kemudian berpuasalah kalian hingga kalian melihat hilal (Syawwal) atau menyempurnakan bilangan hari (bulan Ramadhan)."

o "Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah puasa bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika kalian terhalang melihatnya maka genapkanlah puasa kalian 30 hari."

Hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal ini sangat banyak, dan ini menunjukan bahwa yang diakui dalam Islam untuk menentukan awal bulan Hijriyah adalah menggunakan sistem ru'yah hilal atau dengan menyempurnakan jumlah bilangan bulan.

Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap orang dapat mengaku melihat hilal sesuka hatinya. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kesaksian yang bisa dibuktikan dan dapat dipercaya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, ia berkata: "Orang-orang berusaha melihat hilal, dan aku pun memberitahukan kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa aku telah melihatnya. Setelah itu, beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk mengerjakan puasa."

Bergantung kepada sistem Astronomi dalam menentukan awal bulan berarti membuang 'illat (alasan penetapan awal bulan) yang diajarkan oleh Syariat, menggugurkan kredibilitas sistem ru'yah hilal dalam Islam, sekaligus menghapus kredibilitas argumentasi hukum mahkamah-mahkamah Agama dengan melegitimasi sistem yang ditolak oleh Syariat yaitu sistem Astronomi. Tindakan ini juga adalah sebuah penyimpangan dari kesepakatan para ulama dan ahli Fikih yang terpercaya tentang larangan mengamalkannya.

Oleh karena itu, jika hasil keputusan Ilmu Falak berlawanan dengan ru'yah syar`iyyah, maka yang harus dilakukan adalah:

1. Membatalkan puasa pada awal Ramadhan jika perbedaan itu terjadi pada penentuan awal Ramadhan.

2. Membatalkan hari raya Idul Fitri jika perbedaan itu terjadi pada penetapan akhir Ramadhan.

Mengedepankan sistem Astronomi dalam hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap kesucian nas Al-Quran (yang artinya): "Barang siapa di antara kalian melihat bulan itu hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." [QS. Al-Baqarah: 185]. Serta kesucian nas hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang mengatakan: "Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah puasa bila kalian melihatnya (hilal)."

Selain itu, ia juga merupakan pelanggaran terhadap kehormatan puasa, karena berarti menghalangi umat Islam untuk berpuasa pada awal bulan Ramadhan. Dan di sisi lain juga pelanggaran terhadap kehormatan Hari Raya, karena menghalangi umat Islam untuk berbuka pada hari itu. Hal ini, pada gilirannya, tentu menyebabkan tidak berjalannya hukum-hukum Allah, melahirkan kegoncangan dan kebingungan di tengah umat, serta menambah perpecahan internal kaum muslimin.

Adapun mengenai kesalahan kedua, yakni membuat metode baru yang tidak disyariatkan oleh Allah dalam menetapkan awal bulan Hijriyah dengan menggunakan penghitungan Astronomis sekaligus memberikan argumentasi terhadap keabsahannya, penjelasannya adalah sebagai berikut:

Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah mengikat hukum-hukum-Nya dengan 'illat (alasan) dan sebab-sebab yang syar'i. Di mana ada alasan syar'i itu, di sana ada hukum Allah. Begitu pula sebaliknya, jika tidak ditemukan alasan yang syar'i itu, maka hukum Allah pun tidak ada. Tidak seorang pun yang mampu merubah 'illat-'illat tersebut apalagi menggantinya.

Telah ditetapkan di dalam Al-Quran dan Sunnah bahwa sebab ('illat) diwajibkannya berpuasa dan berbuka adalah terlihatnya hilal dengan mata kepala secara langsung. Jadi, sebabnya tidak hanya keberadaan hilal itu secara ilmiah di langit tanpa perlu dilihat oleh mata manusia. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Barang siapa di antara kalian melihat bulan itu hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." [QS. Al-Baqarah: 185]. Dan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah puasa bila kalian melihatnya (hilal)."

Dua dalil ini mengaitkan kewajiban puasa dan perintah mengakhirinya berdasarkan ru'yah (melihat) hilal secara langsung dengan mata kepala, tidak berdasarkan Ilmu Falak yang menyatakan adanya hilal tanpa melihat langsung dengan mata manusia. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak mengatakan: "Berpuasalah kalian bila ada hilal atau bila telah ditetapkan adanya hilal", sehingga keberadaan hilal dapat ditentukan secara astronomis atau penglihatan mata. Tetapi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah puasa bila kalian melihatnya (hilal)."

'Melihat' lebih khusus daripada sekedar 'ada'. Sebab bisa jadi hilal telah ada secara hitungan astronomis, tetapi ia tidak dapat dilihat lantaran beberapa sebab, sehingga puasa belum diwajibkan.

Saya ingin menambahkan bahwa penggalan terakhir dalam hadits di atas menunjukkan dalil yang qath`i (pasti) bahwa keberadaan hilal bukanlah sebab diwajibkannya puasa, tetapi yang menjadi sebab adalah terjadinya ru'yah (penglihatan) yang dilakukan oleh panca indra. Ini berdasarkan sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang mengatakan: "Dan apabila kalian terhalang untuk melihatnya." Atau: "Apabila kalian terhalang oleh mendung" sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Ini menunjukkan bahwa keberadaan hilal di balik mendung atau sejenisnya membuat puasa belum diwajibkan, dan kita pun harus menyempurnakan bilangan bulan menjadi tiga puluh hari. Hal yang membuktikan kepada kita bahwa penetapan awal puasa dan perintah mengakhirinya bukan disebabkan oleh keberadaan hilal, tetapi lebih spesifik dari itu, yaitu terealisasinya rukyat (penglihatan) terhadapnya melalui mata kepala manusia.

Berdasarkan hal ini, syariat Islam telah membantah metode penetapan keberadaan hilal secara ilmiah sebagai tanda bermulanya puasa dan berhari raya, serta menegaskan bahwa rukyat melalui mata kepala adalah sarana 'illat yang menentukan itu. Ini tidak berarti bahwa persentase ketepatan Ilmu Falak dalam menetapkan keberadaan hilal lebih kecil daripada penglihatan mata manusia, atau kelirunya teori Ilmu Falak, tetapi rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ—kepada para hamba-Nya menginginkan untuk mengaitkan penyebab ibadah mereka dengan perkara-perkara yang dapat dirasakan oleh panca indra mereka, demi menghindari segala kesulitan dan kesempitan yang mungkin menimpa para hamba-Nya. Selain untuk membuat alasan-alasan suatu hukum menjadi permanen, dapat ditangkap oleh panca indra manusia, serta bersifat umum sehingga mudah dipahami oleh setiap mukallaf tanpa kesulitan. Allah tidak ingin menjadikan ibadah-ibadah ini terikat dengan hal-hal ilmiah yang abstrak dan tidak dapat ditangkap oleh semua manusia yang ingin membuktikannya. Demikian, terwujudlah keumuman taklîf (kewajiban) dengan keumuman 'illat (penyebab)-nya. Sebagaimana terwujud kemudahan memahaminya dengan kemudahan melaksanakannya.

Sesungguhnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—pasti mengetahui sejauh mana perkembangan yang akan dicapai oleh Ilmu Falak di kemudian hari. Tetapi Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak menjadikannya sebagai standar penetapan sebab ('illat) ibadah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasululllah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sebuah hadits shahîh, "Kita adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung. Ketahuilah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian dan sekian (beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau)." Yakni 29 hari atau 30 hari. Ini adalah dalil yang sangat jelas menolak perhitungan astronomis dalam penetapan hilal.

Jika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menugaskan kita untuk menggunakan metode rukyat ini dengan menyebut seakan kita adalah umat yang buta dengan hitungan Astronomi, tidak dapat menulis dan membaca, bukan berarti memarginalkan atau merendahkan Ilmu Falak. Tetapi maksudnya adalah bahwa para pakar Ilmu Falak memiliki ruang lain yang luas dalam urusan kehidupan, di luar masalah-masalah Agama. Artinya, mereka tidak memiliki peran apa pun dalam menetapkan sebab-sebab ('illat) ibadah yang telah Allah ikat dengan faktor-faktor indrawi yang dapat dilihat langsung oleh manusia.

Para ahli Fikih bersepakat tentang keharusan komitmen dengan 'illat (alasan) syar`i dalam berpuasa, yaitu melihat hilal dengan mata kepala. Mereka juga sepakat menolak penghitungan Astronomi dalam hal ini, baik dalam cuaca cerah maupun mendung, kecuali beberapa ulama kontemporer yang mengambil pendapat berbeda dan menciptakan metode baru yang tidak disyariatkan oleh Allah.

Penyimpangan seperti ini tidak berarti apa-apa, karena telah ada kesepakatan para ulama Fikih sebelumnya. Bahkan juga telah ada kesepakatan secara ilmiah tentang hal itu, karena sepanjang sejarah kegemilangan Islam—saat terjadi kemajuan fenomenal dunia Islam dalam Ilmu Falak dengan menciptakan banyak teropong-teropong perbintangan—mereka sama sekali tidak mencampurkannya dengan urusan-urusan keagamaan dalam menetapkan hukum-hukum syar`i. Bahkan hampir tidak pernah dikenal ada seorang hakim Islam pun—sejak Islam mengenal sistem kehakiman—yang menetapkan perhitungan Ilmu Falak sebagai metode penetapan waktu bermulanya puasa. Para hakim peradilan hukum Islam selalu secara langsung terjun mengawasi proses rukyat hilal, atau menunggu para saksi-saksi yang adil di lembaga-lembaga keagamaan mengabarkan kepada mereka tentang hasil rukyat.

Mahkamah-mahkamah tinggi Syariat di Mesir—sejak berdiri sampai dihapuskan—tidak pernah menjadikan perhitungan Ilmu Falak sebagai rujukan dalam penetapan waktu ibadah, begitu pula Darul Iftâ' (Komisi Fatwa) Mesir setelahnya. Sampai kemudian datang seorang mufti baru yang mencetuskan diberlakukannya metode baru ini. Ia mengetepikan sistem rukyat hilal dengan penglihatan mata, lalu menggantikannya dengan perhitungan astronomis sebagai rujukan untuk menentukan keberadaan hilal. Ia mengambil jalan berbeda dari kesepakatan para ulama terdahulu sejak masa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—sampai saat ini, serta menetapkan argumentasi keabsahan mutlak perhitungan Ilmu Falak, padahal ia dibangun di atas hipotesa-hipotesa, hitungan matematis, dan alat-alat astronomis yang semuanya bisa benar dan bisa salah. Tidak ada dalil yang lebih jelas menegaskan hal itu daripada perbedaan yang terjadi di kalangan ahli Astronomi sendiri dalam perhitungan mereka yang memang dibangun di atas dasar perkiraan dan tidak sampai kepada derajat yakin. [Sampai di sini berakhir makalah yang dimaksud, dengan beberapa revisi bahasa]

Ada tiga hal yang harus diperhatikan:

1. Bahwa hakikat hitungan bulan menurut ahli Ilmu Falak adalah waktu antara berkumpulnya matahari dan bulan sebanyak dua kali pada satu bujur astronomi, setelah istisrâr (tersembunyinya hilal saat bulan dan matahari berkumpul) dan sebelum munculnya hilal secara jelas. Durasi satu bulan menurut mereka adalah 29 hari, 12 jam dan 44 menit.

Sedangkat awal bulan menurut syariat Islam adalah terlihatnya hilal setelah terbenamnya matahari, yaitu awal kemunculan bulan setelah kegelapan bumi. Dan hitungan bulan Islam tidak melebihi 30 hari dan tidak kurang dari 29 hari.

Jadi, ada perbedaan antara sistem perhitungan Syariat dengan Ilmu Falak dalam beberapa perkara:

a) Menurut ahli Falak, bulan baru sudah dimulai sebelum ia bermulai dari sudut pandang Syariat. itu artinya, bulan juga berakhir sebelum berakhirnya menurut Syariat;

b) Durasi bulan ditentukan dengan satuan waktu yang tetap menurut ahli Falak, berbeda dengan konsep Syariat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya;

c) Dalam perspektif Syariat, bulan bermula melalui penglihatan indrawi, yakni dengan penglihatan mata telanjang, atau dengan menyempurnakan bilangannya dengan menunggu hilal betul-betul terlihat. Sedangkan dalam teori Ilmu Falak, bulan dimulai berdasarkan perkiraan keluarnya hilal, bukan setelah betul-betul keluar;

d) Menurut ahli Falak, tidak ada bedanya antara terjadinya iqtirân dan infishâl (bertemu dan berpisahnya matahari dengan bulan) di siang hari dengan terjadinya di malam hari. Seandainya terjadi iqtirân atau infishâl beberapa saat sebelum fajar, maka bulan baru bermula langsung selepas fajar. Dan apabila itu terjadi di tengah hari maka bulan baru pun bermula langsung setelahnya. Sementara dalam perspektif Syariat, yang diakui adalah rukyat yang dilakukan setelah terbenamnya matahari. Apabila hilal terlihat di siang hari selepas matahari tergelincir, maka bulan baru dimulai sejak malam selanjutnya. Dan puasa belum dimulai di tengah hari saat hilal itu dilihat. Ini merupakan hal yang tidak diperselisihkan oleh para ulama. [Dikutip dari kitab "Fiqhun-Nawâzil"]

2. Kita harus membedakan antara dua hal: Pertama, perbedaan pandangan fikih yang masyhur di kalangan para ulama seputar perbedaan Mathâli`(tempat terlihatnya bulan). Kedua, tidak dibolehkannya berpegang kepada penghitungan astronomis dalam menetapkan awal dan akhir bulan, karena perbedaan pendapat dalam hal ini tidak diakui, sebab ia menyelisihi kesepakatan para ulama. Dan para ulama meski berbeda pandangan mengenai keberagaman Mathâli`, tetapi mereka sepakat bahwa metode untuk menetapkan awal dan akhir bulan adalah rukyat, bukan perhitungan Ilmu Falak. Kami melihat banyak orang yang masih mencampuradukkan kedua hal di atas, lalu menggunakan dalil para ulama dalam masalah pertama untuk masalah kedua. Untuk itu, hal ini harus diingatkan kembali.

3. Nasihat untuk siapa yang tidak sejalan dengan pendapat mufti resmi di negaranya, apabila mufti menggunakan sistem Ilmu Falak sebagai rujukan. Ia tidak perlu mengumumkan ketidaksetujuannya di tengah masyarakat di negaranya, tapi cukup dengan dirahasiakan, lalu menggunakan rukyat syar`iyyah untuk dirinya sendiri, tanpa perlu menyeru orang lain untuk mengikutinya, baik dengan lisan maupun tulisan. Hal ini penting untuk mencegah perpecahan dan fitnah di tengah Umat, sekaligus untuk menghambat misi orang-orang sekuler dan munafik dari kalangan musuh-musuh Islam yang selalu berusaha menciptakan keraguan terhadap Agama dan melenyapkan kesucian puasa dari hati kaum muslimin. Semoga Allah melindungi kita semua dari kejahatan musuh-musuh Agama ini.

Artikel Terkait