Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Ramadhan Madrasah Ketakwaan

Ramadhan Madrasah Ketakwaan

Oleh: Dr. Muhammad Ar-Rukbân

Bismillâhirrahmânirrahîm. Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah, penghulu seluruh manusia, beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Kita umat Islam adalah umat yang datang paling terakhir dan pembawa risalah langit yang paling baru. Namun Allah—Subhânahu wata`âlâ—dengan karunia dan kepemurahan-Nya menjadikan Nabi kita—Shallallâhu `alaihi wasallam—sebagai penghulu para Nabi, serta menjadikan kita sebagai umat terbanyak yang akan masuk Surga, sekaligus yang paling tinggi derajatnya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Kita adalah (umat) yang terakhir (di dunia) dan yang paling dahulu pada hari Kiamat. Meskipun mereka diberi Kitab sebelum kita." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, aku sungguh berharap kalian menjadi separuh penghuni Surga. Karena Surga tidak dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim. Kalian di antara kaum musyrikin tidak lain bagaikan sehelai rambut putih di kulit lembu hitam atau seperti rambut hitam di kulit lembu merah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Allah telah memuliakan kita melebihi seluruh umat, sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya (yang artinya): "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…" [QS. Âli `Imrân: 110]

Allah jadikan kita sebagai saksi atas sekalian umat, seperti yang terdapat dalam firman-Nya (yang arti,nya): "Dan demikian (pula) Kami menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian." [QS. Al-Baqarah: 143]

Maksud 'memuliakan' umat Islam melebihi umat lain bukan karena mereka berasal dari ras tertentu, bukan pula karena menggunakan bahasa tertentu, atau karena memiliki bentuk dan penampilan yang berbeda dari yang lain, akan tetapi karena pilihan dari Allah—Subhânahu wata`âlâ—untuk Agama ini, supaya ia menjadi Agama satu-satunya di sisi-Nya, dan Allah tidak menerima dari siapa pun Agama selainnya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." [QS. Âli `Imrân: 19]

Barang siapa yang berpegang teguh kepada Islam, mengamalkan perintah Al-Quran, serta mengikuti ajaran penghulu seluruh manusia, maka ia berhasil mendapatkan keutamaan yang dimaksud dan meraih kebaikan yang dijanjikan itu. Sedangkan siapa yang meragukan jalan Agama ini, serta dikalahkan oleh hawa nafsunya, atau mengikuti syahwatnya, lalu berpaling dari jalan yang benar, maka ia pun sangat jauh dari kemuliaan itu.

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Mereka, umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah umat yang paling lurus akal dan fitrahnya, paling agung ilmunya, dan paling dekat kepada kebenaran dalam segala hal, karena mereka pilihan Allah di antara umat-umat yang ada. Sebagaimana Rasul mereka adalah rasul pilihan di antara sekalian rasul. Ilmu, kesantunan, dan hikmah yang Dia karuniakan kepada mereka tidak ada yang bisa menandinginya."

Sebuah hadits diriwayatkan dari Bahaz ibnu Hakîm, dari bapaknya, dari kakeknya—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ketahuilah, kalian melengkapi tujuh puluh umat. Kalian yang paling baik dan paling mulia di sisi Allah`Azza wajalla." [HR. Ahmad]

Bekas kemuliaan umat ini di sisi Allah terlihat dalam ilmu dan akal mereka. Mereka adalah umat yang disuguhkan ilmu-ilmu, akal, perbuatan, dan derajat umat-umat terdahulu, sehingga dengan itu, ilmu, kesantunan, dan akal mereka bertambah gemilang, di samping ilmu dan kesantunan yang telah Allah karuniakan kepada mereka.

Karena umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah umat yang paling pendek umurnya dan paling terbatas masanya, maka Allah pun mengaruniakan kepada mereka musim-musim yang di sana pahala dilipatgandakan, derajat ditinggikan, dan kesalahan dihapuskan. Bulan Ramadhan yang saat ini disambut kedatangannya oleh Umat adalah salah satu yang terbesar dari sekian kesempatan dan musim-musim itu. Di sana, banyak orang yang diputuskan bebas dari siksa Neraka. Di sana pula, orang-orang shalih ditinggikan derajat mereka, dan orang-orang jahat dijauhkan dari rahmat Allah. Sungguh, demikian banyak jiwa yang dibebaskan dari siksa di dalamnya! Betapa banyak manusia yang dilepaskan dari hukuman karenanya!

Imam Mâlik berkata, "Telah sampai kepadaku sebuah hadits bahwa pernah diperlihatkan kepada RasulullahShallallâhu `alaihi wasallamusia manusia terdahulu, atau sesuatu yang dikehendaki Allah untuk diperlihatkan-Nya dari yang demikian. Beliau pun seakan menganggap terlalu pendek usia umat beliau, sehingga (khawatir) mereka tidak bisa beramal seperti umat lain yang berusia panjang. Karena itu, Allah memberikan kepada beliau Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan." [Al-Muwaththa'].

Ya Allah, segala puji untuk-Mu atas segala nikmat-Mu. Dan kepada-Mu-lah kami bersyukur atas keluasan pemberian dan karunia-Mu.

Menyambut Ramadhan

Sebuah hadits diriwayatkan dari Jâbir ibnu Samurah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—suatu ketika naik ke atas mimbar seraya berucap, "Âmîn, âmîn, âmîn." Lalu beliau bersabda, "Jibril menemuiku seraya berkata, 'Wahai Muhammad, barang siapa yang bertemu dengan salah satu orang tuanya yang berada dalam kondisi tua, lalu ia mati dan tidak masuk Surga, maka ia akan masuk Neraka dan Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Katakanlah: Âmîn'. Lalu aku pun mengucapkan: 'Âmîn'."

Maksudnya, barang siapa yang masih bertemu dengan salah satu orang tuanya di masa tua mereka, tapi ia tidak berbakti kepada mereka sehingga Allah mengampuninya, maka ia pantas dijauhkan Allah dari rahmat-Nya, karena doa Jibril dan peng-amin-an Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—itu.

"Kemudian Jibril berkata, 'Wahai Muhammad, barang siapa yang bertemu dengan bulan Ramadhan, kemudian ia mati dan dosanya tidak diampuni, maka ia akan masuk Neraka dan Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Katakanlah: Âmîn'. Lalu aku pun mengucapkan: 'Âmîn'. Kemudian ia (Jibril) berkata, 'Wahai Muhammad, barang siapa yang disebutkan namamu di dekatnya tapi ia tidak bershalawat kepadamu, lalu ia mati, maka ia akan masuk Neraka dan Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya)'. Ia mengucapkan: 'Âmîn'. Lalu aku pun mengatakan: 'Âmîn'." [HR. Ath-Thabrâni].

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Terhinalah orang yang apabila disebut namaku di sisinya, ia tidak bershalawat kepadaku. Terhinalah orang yang bertemu dengan Ramadhan lalu pergi darinya, sementara ia tidak diampuni. Dan terhinalah orang yang bertemu dengan kedua orang tuanya dalam keadaan tua, namun ia tidak masuk ke dalam Surga (dengan berbakti kepada mereka)." [HR. At-Tirmidzi dan Al-Hâkim]

Allâhu akbar! Seakan ampunan pada bulan Ramadhan bisa didapatkan oleh setiap orang. Tidak ada yang dihalangi darinya kecuali orang yang memang telah dijauhkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ. Demi Allah, benar demikianlah halnya. Sa`id meriwayatkan bahwa Qatâdah berkata, "Barang siapa yang tidak diampuni pada bulan Ramadhan tidak akan diampuni pada bulan lainnya, sebagai bentuk teguran keras bagi orang yang lalai, bukan untuk membuat putus asa dari rahmat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Adil."

Iya. Bagaimana Ramadhan tidak akan menjadi bulan rahmat dan ampunan, sementara Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah bersabda, "Jika telah datang bulan Ramadhan, pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup, dan Syetan-syetan dibelenggu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "(Ketika itu) sang penyeru menyeru: 'Wahai orang yang mencari kebaikan, menghadaplah. Wahai orang yang mencari keburukan, berhentilah'. Allah memiliki banyak orang yang dibebaskannya dari Neraka; dan itu terjadi setiap malam." [HR. At-Tirmidzi dan An-Nasâ'i]

Dalam hadits lain, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya Surga dihiasi dan dipercantik dari tahun ke tahun karena kedatangan Ramadhan. Bidadari pun berkata, 'Wahai Tuhan kami, berilah kami pada bulan ini suami-suami dari kalangan hamba-hamba-Mu yang hati kami senang kepada mereka, dan hati mereka juga senang kepada kami." [HR. Ath-Thabrâni]

Bagaimana Ramadhan yang agung ini tidak menjadi bulan penghapus dosa, sedangkan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah bersabda, "Antara Ramadhan dengan Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa yang diperbuat di sela-sela keduanya, selama dosa-dosa besar ditinggalkan." [HR. Muslim]

Bagaimana Ramadhan tidak akan menjadi bulan rahmat dan ampunan, sedangkan Nabi terkasih—Shallallâhu `alaihi wasallam—sendiri pernah bersabda:

· "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim];

· "Barang siapa yang menghidupkan malam Ramadhan (dengan qiyâm) dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim];

· "Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

· Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (Hadits Qudsi): "Setiap amal anak Adam adalah untuknya; setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan langsung membalasnya. Ia (hamba-Ku) meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena-Ku'. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: satu kebahagiaan ketika ia berbuka dan satu kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Tuhannya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma kesturi." [HR. Ahmad. Asal hadits ini terdapat dalam kitab Shahîh]

Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Puasa adalah untuk Allah. Tidak ada yang mengetahui ganjaran melakukannya selain Allah—`Azza wajalla." [HR. Ath-Thabrâni]

Sufyân ibnu `Uyainah berkata, "Sesungguhnya pahala puasa tidak bisa diambil oleh orang yang mempunyai piutang dalam kezaliman (di Akhirat), akan tetapi Allah menyimpannya di sisi-Nya untuk orang yang berpuasa, sehingga Allah memasukkannya ke dalam Surga dengan itu."

Sebagian ulama salaf mengatakan, "Beruntunglah orang yang meninggalkan syahwatnya sekarang untuk waktu gaib yang belum ia lihat."

Orang yang berpuasa, kelak di Surga akan diberikan makanan, minuman, dan pasangan yang Allah kehendaki. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "(Kepada mereka dikatakan): 'Makan dan minumlah dengan nyaman disebabkan amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu." [QS. Al-Hâqqah: 24]

Mujâhid dan ulama lainnya berkata, "Ayat ini diturunkan untuk orang-orang yang berpuasa."

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah bersabda kepada seorang laki-laki, "Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah—Tabâraka wata`âlâ, melainkan Allah akan memberimu yang lebih baik dari itu." [HR. Ahmad]

Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya di dalam Surga terdapat pintu yang dinamakan Ar-Rayyân, tempat masuk orang-orang yang berpuasa pada hari Kiamat. Tidak ada yang masuk melalui pintu itu selain mereka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam riwayat lain disebutkan: "Barang siapa yang memasukinya, akan minum di dalamnya. Dan barang siapa yang minum di dalamnya niscaya tidak akan dahaga selamanya." [HR. Ahmad]

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Di bulan Ramadhan, umatku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada umat sebelum mereka, yaitu: Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma kesturi; Malaikat beristigfar (memintakan ampun) untuk mereka sampai mereka berbuka; Allah menghiasi Surga-Nya setiap hari, kemudian berfirman (yang artinya): 'Sudah dekat saatnya dilepaskan dari pundak hamba-hamba-Ku yang shalih beban dan kesulitan mereka, dan mereka akan datang kepadamu'; Di dalamnya Syetan-syetan pembangkang dibelenggu, sehingga mereka tidak bisa melakukan apa yang bisa mereka lakukan pada bulan lain; Mereka di ampuni di akhir malam (dari Ramadhan itu)." Ditanyakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah itu malam Lailatul Qadar?" Beliau menjawab, "Bukan, tetapi seorang pekerja mendapatkan upah pekerjaannya setelah menyelesaikan pekerjaannya." [HR. Ahmad]

Ramadhan adalah bulan Al-Quran yang telah Allah karuniakan kepada manusia. Dan Allah mengangkat derajat manusia dengannya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian bertemu dengan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di dalamnya. Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." [QS. Al-Baqarah: 185]

Abdullah ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Al-Quran diturunkan sekaligus secara utuh pada bulan Ramadhan, di malam Lailatul Qadar, dan malam yang diberkati. Kemudian diturunkan secara bertahap sesuai dengan perjalanan waktu di bulan-bulan dan hari yang beragam."

Tidakkah pantas orang yang gagal meraih semua kemuliaan ini disebut benar-benar malang? Tidakkah pantas orang yang melewati bulan ini tanpa mendapat ampunan dan rahmat disebut sebagai orang yang tertipu?

Berbahagialah Anda, wahai sekalian umat Islam, pintu Surga yang delapan telah dibukan untuk Anda pada bulan ini. Hembusan aromanya telah menyentuh hati orang-orang beriman. Pintu-pintu Neraka pun telah ditutup untuk Anda. Kaki-kaki Iblis dan keturunannya telah dibelenggu juga demi Anda. Lalu, manakah orang yang bersungguh-sungguh?

Ramadhan Madrasah Ketakwaan

Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan Al-Quran, bulan tobat dan penyerahan diri kepada Tuhan. Mari kita jadikan ia sebagai batu loncatan untuk melakukan taubat nashûha dengan ikhlas karena Allah. Mudah-mudahan Allah menghapus dosa-dosa kita serta mengampuni kesalahan-kesalahan dan keburukan kita.

Ketika Syetan-syetan dirantai pada bulan Ramadhan, dan gejolak syahwat padam dengan ibadah puasa, kekuatan hawa nafsu pun tiarap. Sehingga kekuasaan diri berada di bawah kendali akal secara adil. Dengan demikian, orang yang melakukan maksiat pada saat ini tidak lagi memiliki alasan.

Wahai awan kelalaian, berhamburanlah dari hati. Wahai matahari ketakwaan dan iman, terbitlah. Wahai catatan amal orang-orang shalih, meninggilah. Wahai hati orang-orang yang berpuasa, khusuklah. Wahai kaki-kaki para mujahid, sujud rukuklah kepada Tuhan kalian. Wahai mata para hamba pejuang, janganlah mengantuk. Wahai langit nafsu, berguguranlah. Wahai kilauan kerinduan para hamba Allah, bersinarlah. Wahai getaran hati para pengenal kebesaran-Nya, hiduplah. Wahai obsesi para pencinta, jangan pernah puas dengan cinta selain Allah.

Seandainya para pendosa berdiri di saat-saat menjelang fajar ini dengan penuh kepasrahan, mengangkat kisah-kisah permohonan ampun berisi kalimat: "Wahai tuan, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka sempurnakanlah timbangan untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami." [QS. Yûsuf: 88], niscaya mereka akan mendapatkan jawaban: "Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kalian. Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah yang paling penyayang di antara para penyayang." [QS. Yûsuf: 92]

Orang yang tidak bertobat pada bulan Ramadhan, kapankah lagi ia akan bertobat? Orang yang tidak kembali kepada Allah pada bulan Ramadhan, kapankah lagi ia akan kembali kepada-Nya? Orang yang tidak menjaga shalat dan kewajibannya pada bulan Ramadhan, kapankah lagi ia akan menjaganya? Orang yang tidak meninggalkan maksiat dan dosa pada bulan Ramadhan, kapankah lagi ia akan meninggalkannya?

Usia terus berjalan, hari-hari pun terus berlalu. Dalam sekejap, manusia pun berpindah dari atas bumi ke alam kubur di bawah sana. Bertobat dan ber-istigfarlah. Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan tobat dan istigfar.

Seorang ulama salaf mengatakan, "Istighfar yang paling bermanfaat adalah yang disertai dengan tobat, yaitu melepaskan belenggu keinginan melakukan dosa. Barang siapa yang beristigfar dengan lidahnya tapi hatinya masih terikat dengan maksiat, dan ia bertekad untuk mengulanginya setelah itu, maka puasanya ditolak dan pintu penerimaan tertutup untuknya."

Ka`ab berkata, "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, sedangkan ia berbisik dengan hatinya bahwa jika ia telah selesai berpuasa setelah Ramadhan, ia akan melakukan maksiat mendurhakai Tuhannya, maka puasanya ditolak."

Mutharrif ibnu Abdillah berkata dalam doanya, "Ya Allah, ridhailah kami. Jika Engkau tidak meridhai kami, maka maafkanlah kami."

Demi Allah, ia benar. Seorang yang memiliki dosa yang begitu besar tidak mungkin berambisi mendapatkan keridhaan Allah. Sasarannya yang tertinggi adalah mendapatkan maaf. Orang yang memiliki makrifat yang sempurna pasti melihat dirinya berada dalam derajat ini.

Ramadhan adalah bulan bagi orang-orang yang berdosa. Ia adalah bulan bagi orang-orang yang telah melampaui batas.

Di manakah Anda, wahai kaum muslimin? Tidakkah Anda sekalian menyadari bahwa penempatan ayat (yang artinya): "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." [QS. Al-Baqarah: 186] di tengah ayat-ayat puasa sungguh mengandung pelajaran yang mendalam bagi orang-orang yang mau merenunginya. Ini sebenarnya adalah tanda keutamaan amal shalih dan doa di bulan yang mulia ini? Ini adalah harapan untuk terkabulnya doa. Isyarat akan turunnya maaf dan ampunan Allah.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tiga golongan manusia yang doanya tidak ditolak: imam yang adil; orang yang berpuasa sampai ia berbuka; dan doa orang yang terzalimi." [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasâ'i, dan Ibnu Mâjah.]

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu 'Amru—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Orang yang berpuasa memiliki doa yang mustajab ketika ia berbuka." [HR. Abû Dâwûd]

Ubaidillah ibnu Abi Malikah mengatakan, "Aku mendengar Abdullah ibnu 'Amru berdoa ketika berbuka, 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampuniku'."

Generasi awal Umat ini memahami seruan Tuhan mereka, serta mengetahui nilai waktu dan kesucian hari. Karena itu, mereka mengukir dalam sejarah berbagai keteladanan yang membuat lidah kelu saat menyebutnya, mempesona setiap orang yang membacanya. Misalnya, Imam Asy-Syâfi`i—Semoga Allah merahmatinya—yang mengkhatamkan Al-Quran sebanyak enam puluh kali selama Ramadhan. Sementara itu, Imam Az-Zuhri, ketika Ramadhan datang, biasa mengatakan, "Sesungguhnya ini adalah waktu untuk semata-mata membaca Al-Quran dan memberi makan." Lain lagi Imam Mâlik, ketika Ramadhan datang, ia meninggalkan rutinitas membacakan hadits dan pertemuan dengan para ulama, lalu berkonsentrasi sepenuhnya untuk membaca Al-Quran dengan mushaf.

Apakah belum datang saatnya kita memahami hikmah seperti mereka? Belumkah tiba masanya kita melakukan amal shalih seperti mereka, sehingga kita memperoleh kedudukan yang mereka peroleh?

Saudaraku, mari kita jadikan Ramadhan sebagai madrasah untuk belajar kesabaran. Ramadhan pada hakikatnya adalah bulan kesabaran sebagaimana disebutkan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Puasa adalah separuh dari kesabaran." [HR. Abû Dâwûd]. Sebagaimana juga terdapat hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi tentang hal itu.

Mari kita belajar nilai kesabaran dalam melakukan ketaatan kepada Allah dengan berpuasa, shalat, qiyâmullail, membaca Al-Quran, bersedekah, dan sebagainya di bulan ini. Hal itu telah diterjemahkan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam realita kehidupan beliau. Beliau melaksanakan tahajud di malam-malam Ramadhan, serta membaca Al-Quran dengan tartîl (tidak tergesa-gesa), setiap kali melewati ayat tentang rahmat beliau berdoa untuk mendapatkannya, dan setiap melewati ayat azab beliau berlindung kepada Allah darinya. Beliau memadukan antara shalat dengan membaca Al-Quran, doa, dan tafakur. Inilah amal yang paling mulia dan paling sempurna.

Sedekah di bulan Ramadhan juga memiliki posisi yang istimewa dalam kehidupan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits shahîh diriwayatkan bahwa Abdullah ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—menuturkan, "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah manusia yang paling dermawan memberi orang lain. Dan kedermawanan beliau semakin besar pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui oleh Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan sampai bulan ini berlalu. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memperdengarkan bacaan Al-Quran kepadanya. Apabila Jibril—Shallallâhu `alaihi wasallam—menemui beliau, beliau menjadi lebih dermawan daripada angin yang berhembus." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Suatu ketika, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ditanya, "Sedekah apakah yang paling mulia?" Beliau menjawab, "Sedekah pada bulan Ramadhan." [HR. At-Tirmidzi]

Imam Asy-Syâfi`i berkata, "Aku suka bila seseorang menambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, juga karena manusia pada saat itu memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain juga karena kesibukan sebagian besar umat Islam dengan puasa dan shalat, sehingga mengenyampingkan urusan mencari rezeki."

Abu Bakar ibnu Abi Maryam menyampaikan bahwa guru-gurunya mengatakan, "Jika datang bulan Ramadhan, perluaslah pintu infak di dalamnya, karena pahala infak di dalamnya dilipatgandakan, seperti infak di jalan Allah. Dan satu tasbih di dalamnya lebih baik daripada seribu tasbih pada bulan lain."

Zaid ibnu Khâlid meriwayatkan bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang memberi makan berbuka untuk orang yang berpuasa niscaya ditulis baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu." [HR. Ahmad, dll.]

Seorang ulama salaf pernah ditanya tentang tujuan puasa disyariatkan. Ia menjawab, "Agar orang kaya merasakan rasa lapar, sehingga tidak melupakan orang yang kelaparan."

Ibnu Rajab berkata, "Siapa yang belum mampu menggapai derajat itsâr (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri), maka janganlah ia lemah untuk menggapai derajat muwâsah (berbagi/menyenangkan hati orang lain)."

Abdullah ibnu Umar berpuasa dan tidak mau berbuka kecuali bersama orang-orang miskin. Jika keluarganya menghalanginya untuk berbuka bersama mereka, ia tidak akan makan pada malam itu.

Dikisahkan bahwa ada seorang tokoh shalih yang menginginkan suatu makanan saat ia berpuasa. Ketika datang waktu berbuka, makanan itu ia hidangkan di hadapannya. Namun kemudian ia mendengar seorang pengemis berkata, "Siapa yang mau meminjamkan miliknya kepada Tuhan Yang Maha Membalas jasa lagi Mahakaya?" Mendengar itu, ia pun berkata, "Hambanya yang tidak memiliki sesuatu." Kemudian ia segera berdiri membawa piring makanan itu, lalu membawanya keluar dan memberikannya kepada si pengemis. Sehingga malam itu, ia harus tidur dalam keadaan lapar.

Seorang pengemis, suatu ketika, datang kepada Imam Ahmad. Sang Imam memberikan dua roti yang telah beliau siapkan untuk berbuka. Kemudian beliau sendiri berpuasa menahan lapar.

Umrah pada bulan Ramadhan juga memiliki kedudukan yang istimewa. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepada seorang wanita Anshar, "Kenapa engkau tidak pergi haji bersama kami?" Wanita itu menjawab, "Kami mempunyai unta yang dikendarai oleh suamiku dan anakku (pergi haji), dan ia meninggalkan seekor unta yang kami gunakan untuk mengairi kebun." Mendengar itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika Ramadhan datang, tunaikanlah umrah di dalamnya. Karena sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan (pahalanya) seperti haji." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Di samping itu, mari kita belajar bersabar menahan diri dari maksiat dan dosa, seperti bergunjing, mengadu domba, berkata kotor, serta melakukan, mendengar, dan melihat kemungkaran. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang kotor, maka Allah tidak membutuhkan (puasanya) saat ia meninggalkan makan dan minumnya." [HR. Al-Bukhâri]

Puasa sejati tidak hanya meninggalkan makan dan minum. Akan tetapi ia adalah madrasah, tempat mendidik nafsu untuk menjauhi hal-hal yang mubah sampai ia terlatih dan terbiasa. Sehingga kemudian menjadi lebih gampang menjauhi kejahatan dan maksiat. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Puasa bukanlah meninggalkan makan dan minum, akan tetapi puasa adalah menahan diri dari perkara yang sia-sia dan perbuatan yang kotor." [Menurut Al-Hâfizh Abû Mûsâ Al-Madîni: hadits ini sesuai dengan syarat Muslim]

Seorang ulama salaf berkata, "Puasa yang paling mudah adalah meninggalkan minum dan makan."

Jabir berkata, "Jika engkau berpuasa, hendaklah pendengaran, pandangan, dan lidahmu juga berpuasa dari berbohong dan hal-hal yang haram."

Ibnu Rajab berkata, "Rahasia di balik ini adalah bahwa mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan perkara yang mubah tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan perkara yang haram. Karena itu—wallâhu a'lam, di dalam Al-Quran, setelah disebutkan pengharaman makan dan minum bagi orang yang berpuasa di siang hari, disebutkan pengharaman memakan harta orang lain secara batil."

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya dengan kesabaran Anda meninggalkan sesuatu yang menjadi bagian penting dalam hidup Anda, seperti makan, minum, dan syahwat biologis sepanjang siang, dalam sebulah penuh, menunjukkan bahwa Anda lebih mampu dan sabar untuk meninggalkan maksiat di sisa usia Anda.

Jika pada bulan ini kita telah sukses belajar kesabaran melaksanakan ketaatan kepada Allah, serta kesabaran untuk meninggalkan apa yang diharamkan-Nya, itu berarti kita telah berhasil mencapai ketakwaan yang diinginkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dari kewajiban puasa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 183]

Jadi, puasa bukan sekedar untuk membuat kita dahaga dan lapar, akan tetapi ia merupakan sarana pendidikan dalam bersegera melakukan ketaatan dan memenuhi perintah Allah. Perintah menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, bahkan keutamaan melakukan itu, merupakan bukti yang jelas bagi orang yang memiliki nurani, mau mendengar dan mengakui.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzarr—Semoga Allah meridhainya, Rasulullalh—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Umatku akan senantiasa beradaa dalam keadaan baik selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka." [HR. Ahmad]

Kita berdoa semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang berpuasa dengan sempurna pada bulan Ramadhan ini, serta menghidupkan malam-malamnya dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari-Nya. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang Dia bebaskan dari Neraka pada bulan yang mulia ini.

Artikel Terkait