Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Saat Aku Memakamkan Sahabatku yang Ingin Berpuasa Ramadhân bersama Kita

Saat Aku Memakamkan Sahabatku yang Ingin Berpuasa Ramadhân bersama Kita

Ia sebelumnya sehat wal afiat.

Menunggu hari yang baru.

Menanti saat yang akan dijelang, menunggu kejutan yang akan datang.

Lihatlah pagi yang tiba dengan kilau dan cahayanya yang terang.

Tapi tak lama, ia dipadamkan oleh kegelapan malam.

Lihatlah malam yang merayap seperti bayangan menakutkan.

Tapi tak lama kemudian, ia pun dibunuh oleh pancaran sinar fajar.

Beginilah kehidupan kita.

Kadang naik, kadang turun. Kadang lurus, kadang berbelok.

Kadang pergi, kadang datang. Kadang senang, kadang susah.

Sahabatku ini pun berjalan seperti orang lain berjalan dalam hidup.

menyimpan harapan seperti mereka menyimpannya.

Menggenggam obsesi bersama mereka yang menggenggamnya.

Hidup seperti kita, memiliki banyak harapan dan cita-cita.

merajut harapan masa depan gemilang di dalam angan-angannya.

Aku menjumpainya setelah masa liburan kerja.

Ia tampak penuh riang seperti biasa.

Bersemangat dan enerjik.

Bersiap kembali bekerja dengan ceria dan senang hati.

Kami berjumpa dan sambil bercengkerama.

Aku tak lupa, saat ia berkata penuh semangat:

"Ya Allah pertemukan kami dengan bulan Ramadhân."

Ketika itu, bulan penuh berkah ini memang tinggal hitungan hari.

Aku pun menimpali dengan ucapan: "Âmîn"

Kami berpisah dipenghujung kerja di hari itu.

Berharap akan berjumpa kembali esok hari.

Andai kami tahu, bahwa kami tak akan pernah bertemu lagi setelah hari itu.

Esok harinya, aku sampai di tempat kerja kami.

Aku heran, ia terlambat datang!

Aku pun langsung menghubunginya.

Putra bungsunya yang menjawab di seberang sana.

Aku pun menanyakan ayahnya.

Dengan suara yang penuh duka dan gugup, ia menjawab:

"Mohon doa semoga Allah menyembuhkan ayah, kemarin beliau terserang pendarahan di otak, sekarang di rawat di ICU"

Aku terkejut mendengar berita yang tak disangka-sangka itu.

Ia masih bersamaku kurang dari dua puluh empat jam yang lalu.

Aku pun berucap: " hawla wa lâ qûwata illâ billâh. Ya Allah, sembuhkanlah saudaraku, karuniakanlah kesehatan kepadanya."

Hari-hari sulit pun harus dilalui setelah itu.

Aku selalu ingat sahabatku setiap hari.

Aku senantiasa menanyakan keadaannya.

Jawaban yang selalu aku dapatkan: "Ia belum sadar dari komanya."

Hingga tibalah hari penuh duka itu.

Tepat sehari sebelum Ramadhân.

Aku menerima berita kematiannya.

Innâ lillâhi wainnâ ilaihi râji`ûn.

Perasaan sedih dan duka mengalir di saraf-sarafku

Aku pun hanyut dalam tangisan yang datang tanpa aba-aba.

Betapa dahsyatnya musibah ini.

Aku melantunkan doa semoga Allah mencurahkan rahmat dan ampunan untuknya.

Saat azan Ashar berkumandang sebelum pemakaman,

aku merasakan kesendirian yang luar biasa.

Rasa kehilangan mengalir di lubuk hatiku.

Aduhai, betapa dahsyatnya kalimat-kalimat ini terdengar:

"Ash-shalâtu `alal mayyiti yarhamukumullâh."

Kalimat-kalimat itu menghadirkan jeritan riuh di hatiku.

Aku ingat hubunganku dengan jasad yang kini disebut mayit ini!!

Subhânallâh, kini mereka melupakan semua namanya.

Mereka hanya menyebutnya dengan huruf-huruf ini: (M A Y I T)!!

Kami pun selesai menyalatkannya, lalu menggotong jasadnya dengan bergegas.

Aku pun bertanya pada diriku,

benarkah yang digotong itu adalah fulan putra fulan yang aku kenal?

Sampailah kami di kuburnya.

Tempat tinggal yang sering kita lupakan.

Padahal kita tidak jarang menurunkan kekasih, sahabat, dan keluarga kita ke dalamnya.

Kami menghadap ke lubang kubur yang telah disiapkan.

Aku merenung dan menatap lama ke arah lubang itu.

Aduhai sepinya kesendirian di dalam lubang ini.

Alangkah sempit ruangannya.

Hatiku nyaris terlepas saat aku dan kawan-kawanku menurunkan jasad sahabatku itu ke kuburnya,

seraya berucap: "Bismillâh wa `alâ sunnati Rasûlillâh (Dengan nama Allah, dan di atas sunnah Rasulullah)."

Aduhai hidup yang kini kita lewati.

Seolah-olah kita akan kekal bernafas dan bersenang-senang di dalamnya.

Tapi ternyata inilah tempat kembali setiap makhluk yang hidup.

Namun yang menyakitkanku,

sekaligus membuatku merasakan nikmat hidup setelahnya,

adalah waktu kematian sahabatku yang hanya sesaat sebelum Ramadhân.

Ia berangan dan berharap menjumpai bulan ini seperti kita.

Mungkin juga sudah merancang dan mempersiapkan segala bekal untuk puasa dan qiyâmullail.

Namun takdir Allah itu ternyata lebih dekat.

"Betapa banyak engkau mengenal orang yang dahulu juga berpuasa

Mulai dari keluarga, tetangga, hingga sanak saudara.

Tapi mereka telah dijemput kematian dan meninggalkanmu hidup.

Betapa yang jauh ternyata lebih dekat dari yang kita kira dekat."

Betapa besar nikmat Allah yang memanjangkan umur kita,

hingga berjumpa dengan bulan penuh kemuliaan ini.

Saat aku menghayati keinginan-keinginan sahabatku itu,

aku teringat sabda Rasulullah saat melalui sebuah kuburan:

"Siapa yang dimakamkan di kuburan ini?"

Para shahabat menjawab: "Si Fulan".

Kemudian Rasulullah bersabda:

"Dua rakaat shalat sunnah ringan yang kalian remehkan tapi bagi pemilik kubur ini dapat menambah amalannya, lebih ia sukai sekarang daripada semua dunia yang kalian miliki." [Menurut Al-Albâni: shahîh]

Ya Allah, curahkan ampunan-Mu untuk sahabatku.

Tempatkan ia dalam keluasan Surga-Mu.

Catatlah untuknya pahala puasa dan qiyamullail seperti cita-citanya.

Karuniakanlah kepada kami ridha-Mu.

Dan jadikanlah sebaik-baik hari kami adalah saat kami menjumpai-Mu.

Oleh: Shalâh Abdusysyakûr

Artikel Terkait