Umar ibnu Abdul Aziz

20/09/2023| IslamWeb

Amirul Mukminin, Umar ibnul Khaththâb, suatu ketika melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia kemudian terbangun dan berulang-ulang bertanya, "Siapakah laki-laki terluka dari Bani Umayyah ini, berasal dari keturunan Umar dan bernama Umar pula? Ia hidup seperti kehidupan Umar dan memenuhi bumi dengan keadilan."

Waktu pun berlalu. Mimpi Umar kemudian menjadi kenyataan. Di daerah Hilwan, Mesir, tempat tinggal gubernur Mesir, Abdul Aziz ibnu Marwan dan istrinya, Laila binti 'Âshim ibnu Umar ibnul Khaththâb, lahirlah Umar ibnu Abdul Aziz, pada tahun 61 H. Orang tuanya mendidiknya dengan baik, serta mengajarkannya membaca dan menulis. Namun, Umar berkeinginan pergi ke Madinah untuk menimba ilmu di negeri itu. Sang ayah, Abdul Aziz ibnu Marwan pun mengabulkan keinginan sang anak, dan mengirimnya ke seorang ulama besar di Madinah, yaitu Shâlih ibnu Kaisân.

Umar ibnu Abdul Aziz pun kemudian hafal Al-Quran, dan dalam dirinya sudah terlihat tanda-tanda wara' dan ketakwaan. Bahkan gurunya, Shâlih ibnu Kaisân berkata mengenai dirinya, "Aku tidak menemukan seorang anak pun yang begitu mengagungkan Allah melebihi anak ini."

Pada suatu hari, ibunya memergokinya sedang menangis di dalam kamar. Sang ibu bertanya, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Umar?" Ia menjawab, "Tidak ada apa-apa, ibu. Aku hanya teringat kematian." Sang ibu pun ikut menangis mendengar jawaban anaknya itu.

Umar ibnu Abdul Aziz sangat menyukai sosok Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya. Ia sering mengatakan kepada ibunya, "Ibu, tahukan ibu, bahwa kelak aku pasti akan menjadi seperti pamanku, Abdullah ibnu Umar?"

Ini bukan satu-satunya tanda bahwa bocah kecil ini kelak akan menjadi salah seorang tokoh besar Islam. Banyak indikasi lain yang mengisyaratkan hal itu. Pada suatu hari, ia masuk ke dalam kandang kuda bapaknya. Tiba-tiba ia ditendang oleh kuda di dalam kandang itu, sehingga kepalanya terluka. Bapaknya kemudian menyeka darah yang mengalir dari kepalanya seraya berkata, "Jika engkau adalah laki-laki yang terluka dari Bani Umayyah, maka engkau benar-benar berbahagia."

Umar adalah seorang lelaki yang bertubuh langsing, berwajah cerah, dan berjanggut bagus. Tahun demi tahun berlalu, dan Umar pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangkas, hidup dengan penuh kesejahteraan, biasa memakai pakaian termahal dan parfum terbaik, serta biasa menunggang kuda paling bagus dan paling mahir. Umar mewarisi dari bapaknya begitu banyak harta benda dan binatang ternak. Pemasukan tahunannya lebih dari 40.000 dinar. Khalifah Abdul Malik ibnu Marwan kemudian menikahkannya dengan putrinya, Fatimah. Saat itu, ia berusia 20 tahun. Dengan perkawinan itu, ia menjadi semakin kaya dan hartawan.

Ketika Umar berusia 25 tahun, Khalifah Walid ibnu Abdul Malik menunjuknya menjadi gubernur Madinah. Kemudian ia diberi kepercayaan memerintah seluruh tanah Hijaz. Pada saat itu, ia berhasil menciptakan keamanan dan keadilan di tengah masyarakat di sana. Ia makmurkan mesjid-mesjid, termasuk Mesjid Nabawi yang mulia. Ia juga menggali sumur dan mengalirkan air ke seluruh kota Madinah. Pemerintahan Umar di tanah Hijaz benar-benar menjadi saat-saat penuh keberkahan. Semua penduduk merasa aman dan tenang.

Umar ibnu Abdul Aziz membentuk sebuah Majelis Syura yang terdiri dari 10 orang ulama besar Madinah, dikepalai oleh tabi'in yang mulia, Sa'id Ibnul Musayyab. Umar tidak memutuskan sebuah perkara tanpa meminta pertimbangan mereka. Ia senantiasa meminta nasihat dan saran mereka.

Pada suatu hari, Umar mengumpulkan ulama-ulama yang tergabung dalam Majelis Syura ini, lalu berkata kepada mereka, "Aku mengundang kalian untuk suatu perkara yang kalian sekalian akan mendapat pahala dengannya, dan di dalamnya kita akan saling menolong dalam kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan sebuah perkara tanpa persetujuan kalian semua, atau persetujuan yang hadir di antara kalian. Jika di antara kalian ada yang melihat orang yang melakukan kejahatan, atau mendengar ada pegawai kerajaan yang berbuat zalim, maka demi Allah, aku akan merasa sedih kecuali yang mendengarkan itu menyampaikannya kepadaku." Mereka pun berterima kasih kepadanya, lalu beranjak dari majelis itu.

Umar ibnu Abdul Aziz menjabat sebagai gubernur Madinah selama 6 tahun, sampai ia diberhentikan oleh Khalifah Walid ibnu Abdul Malik, karena Hajjâj ibnu Yûsuf menyampaikan kepadanya bahwa Umar menjadi ancaman bagi kerajaan Bani Umayyah.

Setelah berhenti menjadi gubernur, Umar pergi ke negeri Syam, dan tinggal di sana sampai Walid ibnu Abdul Malik wafat dan digantikan oleh saudaranya, Sulaiman ibnu Abdul Malik. Sulaiman ini adalah orang yang sangat mencintai Umar, serta sudah menganggapnya sebagai saudara kandung dan sahabat yang ia mintai nasihat.

Pada suatu hari, Sulaiman sakit parah, dan merasakan bahwa ajalnya sudah dekat. Ia pun dipusingkan oleh masalah kelanjutan khilafah. Saat itu, anak-anaknya masih kecil, belum ada yang layak menjadi khalifah. Masalah ini pun kemudian ia musyawarahkan dengan salah satu menterinya, Rajâ` ibnu Haiwah, seorang ulama besar ketika itu. Rajâ` lalu berkata kepadanya, "Sesungguhnya di antara hal yang akan menjaga Anda di dalam kubur dan menjadi syafaat bagi Anda di Akhirat adalah menunjuk seorang laki-laki shalih sebagai khalifah kaum muslimin."

Sulaiman bertanya, "Siapakah kira-kira orangnya?"

Rajâ` menjawab, "Umar ibnu Abdil Aziz."

Sulaiman berkata, "Aku ridha. Demi Allah, aku akan membuat untuk mereka sebuah wasiat yang tidak akan dirasuki oleh Syetan." Kemudian ia menulis surat wasiat, dan memerintahkan Rajâ` menjalankannya tanpa ada seorang pun yang mengetahui isi wasiat itu.

Sulaiman pun meninggal dunia, dan Rajâ` ibnu Haiwah ingin menjalankan wasiatnya. Namun, Umar ibnu Abdul Aziz tidak mau menjadi khalifah. Baginya, amanah sebagai khalifah merupakan tanggung jawab besar di hadapan Allah. Ia merasa sangat gelisah karena menyadari besarnya tanggung jawab itu. Ia pun kemudian langsung pergi ke mesjid, tempat kaum muslimin berkumpul. Lalu naik ke mimbar dan berkata, "Sesungguhnya aku diberikan amanah ini tanpa campur tangan pendapatku di dalamnya, dan tanpa dimusyawarahkan dengan kaum muslimin. Sekarang aku tanggalkan baiat orang-orang yang telah membaiatku. Maka pilihlah oleh kalian khalifah yang kalian inginkan."

Namun, kaum muslimin yang sudah mengenal keadilan, kezuhudan, dan rasa takut Umar kepada Allah bersikukuh menetapkannya sebagai khalifah mereka. Mereka berbicara dengan suara yang bulat, "Tapi, kami memilih Anda, wahai Amirul Mukminin." Mendengar kata-kata itu, Umar pun menangis.

Ia mulai memegang amanah khalifah pada hari Jumat, tanggal 10 Shafar tahun 99 H. Sepanjang hari itu, ia duduk dalam keadaan sedih. Para penyair datang menghampirinya dan mengucapkan selamat kepadanya. Namun ia tidak mengizinkan mereka membacakan syair-syair yang telah mereka gubah. Ia berkata kepada anaknya, "Katakanlah pada mereka firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): 'Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku akan mendapat siksaan hari yang besar (Kiamat)'. [QS. Yûnus: 15]."

Pada suatu hari, istrinya Fatimah mendapatinya sedang menangis. Fatimah pun bertanya kepadanya kenapa ia menangis. Umar menjawab, "Sekarang aku memikul urusan umat Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, dari yang berkulit hitam sampai yang berkulit merah. Aku jadi teringat orang fakir yang kelaparan, orang sakit yang terabaikan, orang yang telanjang tidak memiliki pakaian, orang yang kesusahan, orang lemah yang terzalimi, orang terasing yang tertawan, orang tua renta, orang yang memiliki banyak tanggungan sedangkan hartanya sedikit, dan orang-orang yang seperti mereka di seluruh penjuru negeri. Aku menyadari bahwa Tuhanku akan menanyaiku tentang mereka pada hari Kiamat. Aku takut tidak memiliki jawaban yang bisa diterima nantinya. Karena itulah aku menangis."

Sejak menjadi khalifah, Umar meninggalkan seluruh perhiasan duniawi. Ia menanggalkan seluruh aksesoris seorang raja yang biasa dimiliki oleh para khalifah sebelumnya. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana, tanpa penjaga dan pengawal. Ia mencegah dirinya menikmati hartanya sendiri, dan seluruh hartanya itu ia berikan kepada kaum muslimin yang fakir. Ia hibahkan seluruh harta yang ia warisi dari bapaknya, serta menolak mengambil upah dari Baitul Mal. Ia juga menanggalkan perhiasan dan mutiara yang dimiliki istrinya, Fatimah bintu Abdil Malik ibnu Marwan. Ia menyuruhnya menyerahkan semua itu ke Baitul Mal dengan berkata, "Pilihlah, engkau menyerahkan perhiasanmu itu ke Baitul Mal, atau engkau mengizinkanku untuk menceraikanmu. Aku tidak suka tinggal bersamamu bila engkau masih memiliki perhiasan ini. Padahal engkau tahu dari mana bapakmu mendapatkannya."

Fatimah menjawab, "Aku lebih memilih engkau, wahai Amirul Mukminin, daripada perhiasan ini dan daripada apa pun yang lebih banyak dari ini, seandainya aku punya." Umar pun menyuruhnya segera menyerahkan perhiasan itu ke Baitul Mal.

Pada suatu ketika, ia mendapat berita bahwa salah seorang anaknya membeli sebuah cincin berhias permata dengan harga 1000 dirham. Ia segera menulis surat kepada anaknya itu, dan mencelanya. Ia berkata kepada sang anak, "Juallah cincin itu, dan beri makanlah dengannya seribu orang yang kelaparan. Lalu belilah sebagai gantinya sebuah cincin besi, dan tulis di atasnya, 'Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kadar dirinya'."

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa suatu ketika, Umar—Semoga Allah meridhainya—membagi-bagikan apel kepada kaum muslimin. Ketika ia sibuk membagi-bagikan apel itu kepada orang yang berhak, tiba-tiba salah seorang anaknya yang masih kecil mengambil satu buah apel. Umar lalu mengambil kembali apel yang sudah masuk ke dalam mulut anaknya itu. Anaknya langsung lari ke tempat ibunya dalam keadaan menangis. Ketika sang ibu mengetahui kenapa anaknya menangis, ia segera membelikan untuknya sebuah apel yang lain. Ketika pulang, Umar mencium bau apel di rumahnya, dan langsung bertanya kepada istrinya, "Wahai Fatimah, apakah engkau mengambil apel kaum muslimin?" Istrinya pun lalu memberitahu apa yang terjadi.

Umar berkata, "Demi Allah, aku merenggutnya dari anakku seakan aku merenggutnya dari hatiku sendiri. Namun, aku tidak mau membinasakan diriku lantaran satu apel yang dimiliki kaum muslimin."

Inilah sosok Amirul Mukminin, Umar ibnu Abdul Aziz, yang seluruh harta dan kekayaan negara ada di bawah kendali dan perintahnya. Suatu ketika, ia berkata kepada istrinya, "Aku menginginkan madu Lebanon." Mendengar itu, Fatimah mengirim pesan kepada Ibnu Ma'dî Karib, gubernur Lebanon saat itu, bahwa Amirul Mukminin menginginkan madu Lebanon. Sang Gubernur pun kemudian mengirimkan madu Lebanon dalam jumlah besar untuk Khalifah. Namun ketika Umar melihat madu itu, ia marah dan berkata kepada istrinya, "Aku mengira sepertinya engkau mengirim pesan kepada Ibnu Ma'dî Karib, sehingga ia mengirimkan madu ini untukmu."

Umar kemudian membawa madu itu ke pasar, dan menjualnya. Hasil penjualannya ia serahkan ke Baitul Mal. Setelah itu, ia mengirim pesan kepada Ibnu Ma'dî Karib. Ia mencelanya dengan berkata, "Jika engkau mengulanginya lagi niscaya engkau tidak lagi akan bekerja denganku selamanya, dan aku tidak akan mau melihat wajahmu."

Umar ibnu Abdul Aziz adalah sosok yang sabar dan adil. Pada suatu malam, ia pergi ke mesjid bersama seorang pengawal. Ketika memasuki mesjid dalam suasana gelap, secara tidak sengaja ia menginjak seorang laki-laki yang sedang tidur. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan berkata, "Apakah engkau gila?" Umar menjawab, "Tidak." Pengawal Umar merasa tersinggung dengan ucapan laki-laki tersebut. Ia hampir saja memukulnya, namun Umar melarangnya dan berkata, "Sesungguhnya ia tidak melakukan apa-apa kecuali hanya bertanya, 'Apakah engkau gila?', dan aku pun sudah menjawab, 'Tidak'."

Umar juga adalah pribadi yang memiliki perasaan halus, mengasihi manusia dan hewan. Pada suatu ketika, ia menulis surat kepada gubernur Mesir, yang isinya: "Aku diberitahu bahwa orang-orang di Mesir membebani unta-unta mereka dengan beban yang melebihi kemampuan unta-unta itu. Bila surat aku ini sampai kepadamu segeralah larang mereka membawa barang di atas hewan mereka lebih dari 600 liter."

Umar yang zuhud, adil, dan bertakwa ini berusaha sekuat tenaga untuk tidak mendekati dan menyentuh harta kaum muslimin. Harta itu baginya adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada hari Kiamat nanti. Ia punya sebuah lampu pribadi yang ia gunakan untuk menulis hal-hal pribadinya, di samping sebuah lampu yang ia gunakan untuk menulis perkara-perkara yang berkaitan dengan kepentingan kaum muslimin. Lampu kedua ini tidak pernah ia gunakan untuk keperluan pribadinya. Pada suatu hari, pembantunya memanaskan air untuknya di dapur umum. Dan karena itu, ia membayar satu dirham untuk membayar kayu bakar yang terpakai.

Keinginan satu-satunya yang ia miliki adalah bagaimana kaum muslimin hidup berwibawa dan mulia, dapat menikmati kebaikan, keamanan, dan kenyamanan. Ia pernah menulis surat kepada salah seorang gubernurnya, "Setiap muslim harus punya rumah tempat ia berlindung, punya pembantu yang menolongnya melakukan tugas, punya kuda untuk berjihad melawan musuhnya, dan punya perabotan rumah tangga."

Ia juga menyuruh para pegawainya untuk membayarkan hutang orang-orang miskin, dan menikahkan orang-orang yang tidak mampu menikah. Bahkan ia menugaskan seorang petugas khusus untuk menyeru setiap hari, "Mana orang yang berhutang? Mana orang yang ingin menikah? Mana orang miskin? Mana anak yatim?" Sehingga dengan izin Allah, ia berhasil membuat semua masyarakatnya menjadi kaya.

Pada suatu ketika, dengan menunggang kuda, Umar berangkat memantau situasi negeri-negeri kaum muslimin. Ia bertemu dengan seorang laki-laki dari Madinah Al-Munawwarah. Umar lalu bertanya kepada laki-laki itu tentang kondisi masyarakat Madinah. Laki-laki itu menjawab, "Sesungguhnya di Madinah, orang zalim tidak berkutik, orang yang terzalimi dibantu oleh semua orang, orang kaya begitu banyak, sedangkan orang-orang miskin senantiasa mendapatkan hak mereka dari orang-orang kaya." Mendengar itu, Umar pun sangat senang dan langsung memuji Allah.

Salah seorang keturunan Zaid Ibnul Khaththâb pernah berkata, "Sesungguhnya Umar ibnu Abdul Aziz memerintah selama dua setengah tahun. Ia wafat dengan meninggalkan kaum muslimin dalam keadaan makmur. Sehingga ada seseorang datang kepada kami membawa harta dalam jumlah besar dengan berkata, 'Bagikanlah ini kepada kaum fakir yang kalian lihat di manapun berada'. Tetapi laki-laki itu harus kembali pulang membawa hartanya dengan lengkap. Karena setelah susah payah mencari, ia tidak menemukan seorang pun yang membutuhkannya. Sungguh, Allah telah menjadikan masyarakat kaya di tangan Umar."

Umar pernah diminta untuk mengganti kiswah Ka'bah seperti yang sudah menjadi tradisi para khalifah sebelumnya. Namun ia mengatakan, "Menurutku, akan lebih baik bila uangnya digunakan untuk makan orang-orang fakir. Sesungguhnya mereka lebih berhak mendapatkannya daripada Ka'bah."

Setelah menjabat selama 29 bulan, Umar ditimpa sakit keras. Ia dijenguk oleh anak pamannya, Maslamah ibnu Abdul Malik. Maslamah berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mukminin, tidakkah Anda meninggalkan wasiat harta untuk anak-anak Anda? Jumlah mereka banyak, dan Anda sudah menjadikan mereka fakir. Anda tidak meninggalkan sesuatu pun untuk mereka."

Umar menimpal, "Apakah aku memiliki sesuatu untuk diwasiatkan ke mereka? Ataukah engkau menyuruhku memberi mereka harta kaum muslimin?! Demi Allah, aku tidak akan memberikan kepada mereka hak orang lain. Mereka kelak akan mengalami salah satu dari dua kondisi saja: jika mereka shalih, Allah pasti akan mencukupi hidup mereka. Namun jika mereka tidak shalih, berarti aku tidak meninggalkan untuk mereka harta yang membantu mereka mendurhakai Allah."

Setelah itu, ia mengumpulkan anak-anaknya, dan menatap mereka, lalu meraba-raba pakaian mereka yang lusuh. Air matanya mengalir. Ia berkata, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya bapak kalian ini diberi dua pilihan: Pertama, kalian hidup sebagai orang kaya, namun bapak kalian ini masuk Neraka. Kedua, kalian hidup sebagai orang fakir, tapi bapak kalian masuk Surga. Dan bapak kalian ini lebih memililh Surga. Wahai anak-anakku, semoga Allah menjaga kalian dan memberi kalian rezeki. Aku menyerahkan urusan kalian kepada Allah, dan Dia akan menolong kehidupan orang-orang yang shalih."

Kemudian ia menyuruh keluarganya keluar dari kamarnya, dan mereka pun keluar. Sedangkan Maslamah ibnu Abdil Malik dan saudara perempuannya, Fatimah bintu Abdul Malik (istri Umar) duduk di depan pintu. Mereka mendengar Umar berkata, "Selamat datang wahai wajah-wajah yang bukan wajah manusia dan bukan pula wajah jin ini." Lalu ia membaca firman Allah (yang artinya): "Negeri Akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa." [QS. Al-Qashash: 83]

Maka Umar ibnu Abdul Aziz pun meninggal dunia setelah memberikan keteladanan tentang keadilan, serta nilai-nilai zuhud dan wara'. Selamat jalan, wahai Amirul Mukminin, Khalîfah Ar-Râsyidah yang ke lima.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

www.islamweb.net