Umar Al-Mukhtar

11/03/2019| IslamWeb

"Biarkan ia! Jangan kalian bunuh lelaki tua yang telah berusia lebih 70 tahun itu! Apa dosanya?! Ia tidak melakukan apa-apa, selain membela tanah air dan kehormatan agamanya!"

Tapi para penjajah itu tidak mau mendengar teriakan kasihan seperti ini. Mereka pun membunuhnya di tengah keluarga dan karib kerabatnya. Para penjajah itu bahkan tidak mengizinkan keluarga lelaki tua itu untuk sekedar mengekspresikan kesedihan mereka. Mereka pun terpaksa menahan air mata yang hampir tumpah. Para penjajah itu membunuh seorang mujahid besar. Mereka membunuh simbol harga diri dan kehormatan. Alangkah buruknya apa yang mereka perbuat itu!

Lelaki tua itu telah mengorbankan hidupnya demi kemerdekaan bangsanya, sekaligus demi jihad di jalan Allah. Ia berharap Allah mengaruniakan kepadanya kehormatan syahid di jalan-Nya. Dan Allah pun mewujudkan harapan itu.

Umar Al-Mukhtar, lelaki itu, dilahirkan di desa Al-Buthnan, sebuah wilayah di Barqah (Cyrenaica), Libya, pada tahun 1275 H. / 1858 M. dari kedua orang tua yang shalih. Allah berkehendak, Umar tumbuh dalam keadaan yatim. Bapaknya meninggal dunia dalam perjalanan haji, setelah mewasiatkan pengasuhan kedua anaknya, Umar dan Muhammad, kepada seorang kerabatnya. Kedua anak itu pun tinggal di Janzur, dan belajar di negeri-negeri sekitarnya.

Umar pergi ke daerah Jaghbub untuk melanjutkan studinya. Ia menetap di sana selama 8 tahun untuk menghafal Al-Quranul Karim dan mempelajari berbagai ilmu Islam. Ketika belajar di Jaghbub ini, sifat dan akhlak yang agung telah terlihat pada pribadi Umar. Karena ia memiliki adab yang islami, para syaikh dan petinggi Tarekat As-Sanûsiyah yang memegang kendali di tanah Libya sangat menyayanginya. Ia berhasil meraih kepercayaan mereka. Karena itu, Sayyid Muhammad Al-Mahdi As-Sanûsi membawa serta Umar, ketika ia pindah ke daerah Al-Kufrah. Dan Umar pun menjadi orang kepercayaannya. Ia juga kemudian menunjuk Umar sebagai Syaikh (guru) di daerah Qushur di Jabal Akhdhar (Pegunungan Hijau).

Penjajah dari negeri Italia masuk ke Libya pada tahun 1911 M. Selama berada di sana, mereka melakukan berbagai tindakan keji dan kerusakan di atas tanah negeri itu. Perjuangan para mujahidin Libya pun mulai bangkit. Para petinggi Tarekat As-Sanûsiyah di Bani Ghâzi dan wilayah-wilayah lain menyeru para syaikh di berbagai daerah untuk berjihad. Umar Al-Mukhtar segera menyambut seruan itu. Ia memperlihatkan keberanian yang luar biasa dan kemampuan besar dalam berperang ketika menantang para penjajah. Ia meyakini betul bahwa bangsanya memiliki hak untuk hidup merdeka dan terhormat.

Umar pun kemudian tampil menjadi pemimpin para mujahid. Ia mulai merancang siasat untuk diterapkan para pengikutnya. Pada awalnya, ia memakai taktik bertahan sambil mencari kesempatan menyerang musuh. Ketika bala tentara Italia keluar dari markas mereka, para mujahid bangkit bagaikan elang dan menyergap mereka dengan ganas, lalu merampas dari mereka senjata-senjata yang dibutuhkan. Ketika Perang Dunia I berkobar pada tahun 1914 M., para mujahidin memberikan kejutan kepada para tentara Italia. Mereka mengobarkan revolusi di daerah yang berada di bawah jajahan Italia.

Pada tahun 1912 M., pangeran Idris As-Sanûsi pergi ke Mesir untuk berobat dan meminta bantuan kepada Mesir. Pada saat itu, ia menunjuk Umar Al-Mukhtar sebagai penggantinya di Libya. Umar Al-Mukhtar menggunakan kesempatan itu unttuk menyusun barisan mujahidin setelah adanya serangan bertubi-tubi dari Italia. Ia mengumpulkan beberapa orang mujahidin dan membawa mereka ke Pegunungan Hijau. Di sana, ia membangun sebuah pusat militer dan markas untuk melatih para pejuang. Kaum muslimin dari berbagai penjuru berbondong-bondong datang ke sana untuk ikut ambil bagian berjihad melawan penjajah.

Umar Al-Mukhtar kemudian menunjuk seorang pemimpin untuk setiap kabilah. Para pemimpin kabilah itu sepakat menunjuk Umar sebagai panglima tertinggi dan pemimpin seluruh mujahidin, setelah mereka bersumpah untuk berjihad sampai nafas terakhir, hingga negeri mereka tercinta bebas dari cengkeraman penjajah. Pertempuran antara mujahidin dengan penjajah Italia semakin sengit. Perang Rahîbah, perang `Aqîrah Al-Mathmûrah, dan perang Karissah, yang terambil dari nama-nama tempat di Jabal Akhdhar (Pegunungan Hijau) merupakan perang terbesar yang terjadi antara kedua belah pihak. Semua perang itu berakhir dengan dipukul mundurnya pasukan Italia. Sesuatu yang mengangkat nama Umar Al-Mukhtar di mata para mujahidin. Sehingga mereka semakin setia mengikutinya dan berjanji untuk terus membantunya.

Umar Al-Mukhtar terus berjuang dan tidak mau bersantai-santai. Betapa tidak, ia menyaksikan di depan matanya sendiri berbagai kekejian, penodaan, dan penyiksaan yang dilancarkan orang-orang Italia kepada masyarakatnya. Mereka membunuh ribuan orang, menyiksa banyak orang, serta menodai kehormatan kaum wanita. Mereka memenjarakan kaum laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang sangat besar. Mereka menghinakan orang tua dan anak-anak. Bahkan mereka juga membakar kebun dan buah-buahan masyarakatnya. Karena itu, berperang adalah sebuah kemestian sampai memperoleh syahid atau kemenangan. Setelah perang berkecamuk di seluruh tanah Libya, Umar Al-Mukhtar memutuskan pergi ke Mesir menemui Idris As-Sanûsi untuk meminta instruksi-instruksi seputar jihad.

Dalam perjalanan pulang dari Mesir menuju Barqah, melalui jalan As-Saloum, mata-mata tentara Italia memberitahu para petinggi mereka bahwa Umar Al-Mukhtar melewati perbatasan sebelah timur. Mereka pun menyiapkan pasukan penyergap untuk menangkapnya. Baru saja Umar Al-Mukhtar dan teman-temannya terlihat, pasukan musuh langsung melepaskan tembakan meriam mereka secara bertubi-tubi. Namun pasukan mujahidin berhasil melawan dan melumpuhkan pasukan Italia itu, serta membunuh mereka semua. Kejadian itu membuat nama Umar Al-Mukhtar dalam dunia jihad semakin melambung tinggi. Mulai dari anak kecil hingga orang tua mengenalnya sebagai seorang komandan yang cerdas, serta mahir dalam menggunakan siasat gerilya dalam perang. Kabilah-kabilah yang tinggal di lereng gunung bergabung bersamanya. Masyarakat pun mencintainya dan membantunya sesuai dengan kemampuan mereka, dengan uang atau pun persenjataan.

Mujahid agung ini tidak pernah mengenal kata istirahat. Beberapa tokoh senior di kabilahnya suatu ketika mencoba melarangnya berjihad mengingat usianya yang sudah sangat tua. Namun ia berkata kepada mereka, "Sesungguhnya jalan yang aku tempuh adalah jalan kebaikan. Orang yang menghalangiku dari jalan ini adalah musuhku. Tidak sepatutnya ada orang yang mencegahku."

Meriam pasukan Italia tidak juga mampu menghentikan serangan Umar Al-Mukhtar dan teman-temannya. Mereka pun mencoba menarik hatinya dan membelinya dengan godaan harta, serta menjanjikan kehidupan yang nikmat dan menyenangkan untuknya. Namun semua itu ditolaknya, dan ia terus membela tanah airnya dengan segenap kekuatan. Ia berhasil menimpakan kerugian besar kepada pasukan Italia, baik dari segi korban jiwa maupun persenjataan. Fakta itu mendorong Mussolini untuk menunjuk Marsekal Badoglio sebagai kepala wilayah Tripoli dan Barqah. Dengan kehadirannya di Libya, fase perjuangan baru pun dimulai di Barqah dan Pegunungan Hijau.

Pemimpin Italia yang baru ini mencoba menghubungi Umar Al-Mukhtar untuk menghentikan pertikaian. Umar menerima tawaran itu dengan sekumpulan syarat yang mengangkat kehormatan negerinya. Namun orang-orang Italia berusaha menipunya. Pengkhianatan itu terlihat jelas tatkala pesawat-pesawat tempur Italia menembaki Umar Al-Mukhtar dan teman-temannya. Maka perjuangan pun kembali dimulai.

Para mujahidin dan tentara Italia kembali terlibat dalam perang besar pada bulan Oktober 1930. Seusai perang, orang-orang Italia menemukan kaca mata Umar Al-Mukhtar dan kudanya yang terkenal mati terbunuh di medan tempur. Graziani, wakil Marsekal Badoglio, ketika itu berkata, "Hari ini, kita mendapatkan kaca mata Umar Al-Mukhtar. Besok kita akan mendapatkan kepalanya."

Umar Al-Mukhtar terus berjuang dengan bersenjatakan keimanan sampai akhirnya ia tertawan. Peristiwa penawanannya membuat orang-orang Italia sangat senang.

Ia kemudian dihadapkan ke pengadilan; dan tiang gantungan pun dipancangkan untuknya. Orang-orang Italia membawa sang pahlawan besar, Umar Al-Mukhtar, dalam keadaan tangan diikat dengan rantai dan tali. Mereka menjatuhkan hukuman mati untuknya dalam sebuah persidangan palsu yang tidak lebih dari satu seperempat jam. Saat itu, Umar Al-Mukhtar berusia 70 tahun. Ia berjalan menuju tiang gantungan dengan tegap dan keberanian luar biasa. Lidahnya tidak berhenti mengucapkan dua kalimat syahadat, sampai hukuman mati terhadapnya dilaksanakan. Dan ketika mereka mengetahui bahwa ia ternyata belum mati, mereka kembali menggantungnya untuk kedua kali.

Pahlawan ini pun memperoleh syahid setelah menanamkan rasa kemerdekaan dan kehormatan di dalam jiwa rakyatnya. Cita-citanya itu akhirnya terwujud. Cahaya kebebasan bersinar lagi di Libya. Italia hengkang dari negeri itu, dan Libya pun memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1951 M. Dunia Islam secara umum, dan masyarakat Libya secara khusus tidak pernah melupakan Umar Al-Mukhtar, salah satu mujahid terbaik mereka, setelah ia mengorbankan segala yang ia miliki demi Islam dan kemerdekaan negaranya.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

 

 

www.islamweb.net