Kisah Sukses

12/03/2019| IslamWeb

Sesungguhnya hanya Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—yang berhak dipuji dan disyukuri atas setiap nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba. Dialah pemilik segala karunia dan nikmat. Dialah pula pemilik segenap sanjungan dan pujian. Betapa banyak Allah telah mencurahkan nikmat, mencurahkan pemberian, serta menyempurnakan karunia-Nya. Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada kita dan tidak terhitung nilainya adalah nikmat bulan Ramadan. Bulan yang tidak ubahnya laksana rumah sakit tempat pengobatan orang yang terjangkit maksiat, sarana bimbingan bagi orang yang bertobat, dan madrasah bagi orang-orang yang taat. Allah telah mengaruniakan kepada kita kesempatan untuk memasukinya dan mengeruk kebaikan yang ada di dalamnya.

Sekarang kita telah meninggalkannya dengan perasaan sedih dan isak tangis. Raut kesedihan terukir jelas di wajah hamba-hamba Allah yang shalih. Kenapa tidak? Bukankah bulan yang kita tinggalkan ini adalah bulan rahmat dan saat-saat turunnya keberkatan? Ia adalah bulan yang catatan amal seseorang di dalamnya kembali menjadi putih bersih, belenggu-belenggu Neraka dilepaskan dari para hamba, dan kebaikan dilipatgandakan. Penulis tidak yakin, ada seorang muslim yang mengetahui keutamaan bulan Ramadan lalu ia tidak sedih dan berduka saat berpisah dengannya.

Setiap orang yang mentaati Allah di bulan ini telah menerima sertifikat kemenangan yang mengukir kisah suksesnya dalam berinteraksi dengan Allah selama sebulan penuh. Sertifikat itu juga sekaligus mengabadikan kemenangannya dalam arena perlombaan dalam amal kebaikan. Coba perhatikan perkataan Al-Hasan Al-Bashri berikut ini, mengenai bulan Ramadan dan perlombaan di dalamnya. Ia berkata, "Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadan sebagai arena perlombaan bagi hamba-hamba-Nya dalam melakukan ketaatan untuk menggapai keridhaan-Nya. Sebagian dari mereka menjadi yang terdepan dan menang. Sebagian lagi tertinggal dan kalah. Maka adalah aneh jika ada pemain yang tertawa pada hari di mana para pelaku kebaikan meraih kemenangan dan pelaku keburukan menderita kekalahan." [Ibnu Rajab Al-Hambali, "Lathâ`iful Ma'ârif"]

Selain itu, berbagai adegan yang menjadi saksi kemenangan hamba dalam berhubungan dengan Allah di bulan mulia ini telah naik ke langit. Adegan-adegan mulai dari dahaga dan lapar di siang hari, isak tangis pada malam harinya, hingga tahajud panjang yang mengiringinya. Di tambah lagi dengan lidah yang mewangi karena bacaan ayat-ayat Al-Quran. Ada yang mengkhatamkannya satu kali, bahkan ada yang sampai sepuluh kali. Itu belum termasuk amal-amal kebajikan, derma, dan infak. Berita-berita mengenai orang-orang yang bertobat pun bertebaran di mana-mana. Bulan Ramadan menarik tangan mereka dari perbuatan maksiat dan dosa, untuk hidup dalam keindahan tobat dan keimanan.

Mengurai Tenunan

Coba Anda bayangkan, seorang wanita menenun sehelai kain selama satu bulan penuh. Ia bekerja sangat teliti. Demi mendapatkan tenunan yang baik, ia berkorban tenaga dan harta. Ia tidak mempedulikan badannya yang lelah, matanya yang mengantuk, demi mendapatkan upah yang besar. Namun anehnya, setelah menuntaskan tenunan dengan hasil yang sangat baik dan memuaskan, ia urai kembali benangnya satu persatu dengan sangat cepat dan menakjubkan. Apa komentar Anda tentang hal itu?

Banyak pemuda yang keadaan mereka seperti kisah di atas. Selama sebulan penuh mereka menunaikan shalat, puasa, shalat malam, menangis dalam ibadah, serta menjauhi maksiat dan dosa. Selama itu mereka ibarat menenun keimanan dan semangat mendekatkan diri kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—di dalam hati mereka. Akan tetapi, ketika bulan Ramadan berakhir, Anda melihat fenomena aneh, ketika mereka langsung mengurai kembali tenunan iman tersebut.

Ayat-ayat Al-Quran memperingatkan agar kita tidak menjadi seperti wanita yang mengurai tenunan yang telah ia kerjakan dengan hasil yang sempurna. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan janganlah kalian menjadi seperti seorang perempuan yang menguraikan (kain) tenunannya yang sudah ia tenun dengan kokoh, sehingga menjadi bercerai berai kembali." [QS. An-Nahl: 92]

Mana pemuda yang selama ini kita temukan di mesjid setiap waktu shalat? Mana pemuda yang selama bulan ini selalu ditemani Al-Quran? Mana pemuda yang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan beri'tikaf dan telah berjanji untuk senantiasa mentaati Allah?

Jadilah Insan Rabbâni, Bukan Insan Ramadhâni

Adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa kita perlu mengetahui dengan jelas poin-poin penting mengenai kiat agar tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah di luar Ramadan, sehingga keimanan yang sudah kita tenun tetap terjaga. Namun sebelum itu, ada sebuah pandangan keliru pada sebagian pemuda yang mesti kita luruskan. Mereka meyakini bahwa ketaatan cukup berlaku pada bulan Ramadan yang terdiri dari sekitar tiga puluh hari itu saja. Setelah itu, seakan kewajiban taat mereka kepada Allah menjadi gugur. Pemahaman seperti ini harus dibetulkan, agar kita memiliki pola hidup yang benar. Dengan demikian, kita akan mampu meniti jalan yang dirindukan oleh semua orang, yaitu jalan yang mengarahkan kita menuju keridhaan dan Surga Allah.

Saudaraku, kita tidak menyembah bulan Ramadan dan juga bulan-bulan lainnya. Yang kita sembah adalah Tuhan pemilik semua bulan dan tahun. Karena Allah menyayangi hamba-hamba-Nya, Dia mengaruniakan kepada kita bulan Ramadan untuk membantu kita meniti jalan menuju-Nya, sekaligus melatih kita melakukan ketaatan, memperbanyak istighfar, dan tobat, seraya mengangkat semboyan "Kami kembali kepada-Mu."

Tahun, bulan, dan hari-hari hanyalah hitungan waktu dan ukuran masa dalam beramal. Semuanya akan berlalu dan menjauh dengan sangat cepat. Sedangkan Tuhan yang telah menciptakan dan menetapkan keutamaan waktu itu tetap kekal abadi. Dia tidak pernah berubah. Dia tetap dalam keesaan-Nya, serta selalu menyaksikan dan melihat apa yang dikerjakan oleh setiap hamba. [Ibnu Rajab Al-Hambali, "Lathâ`iful Ma'ârif"]

Seseorang pernah berkata kepada Bisyr Al-Hâfi—Semoga Allah merahmatinya, "Ada sebagian orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh di bulan Ramadan." Bisyr menjawab, "Seburuk-buruk kaum adalah kaum yang tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadan. Sesungguhnya orang yang shalih adalah orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun." [Ali ibnu Nâyif Asy-Syahwad, "Ensiklopedia Ad-Dînun Nashîhah", (1/219)]

Suatu ketika, Asy-Syibli—Semoga Allah merahmatinya—ditanya, "Bulan apakah yang lebih mulia, bulan Rajab atau bulan Sya'bân?" Ia menjawab, "Jadilah engkau insan yang rabbâni, jangan menjadi insan sya'bâni!" [Ibnu Rajab Al-Hambali, "Lathâ`iful Ma'ârif"].

Istiqamah Setelah Ramadan

Ini adalah sasaran yang kita cari dan inginkan, yaitu istiqamah setelah Ramadan. Istiqamah dalam melaksanakan ketaatan, meninggalkan maksiat, serta mengamalkan bacaan Al-Quran dan zikir. Sebagaimana kita ketahui, segala sesuatu memiliki tanda. Dan tanda diterimanya sebuah amal kebaikan, seperti dituturkan oleh para ulama, adalah diikutinya kebaikan itu dengan kebaikan yang lain. Jadi, di antara tanda diterimanya amal seseorang di bulan Ramadan adalah ia tetap istiqamah melaksanakan amal tersebut di bulan berikutnya.

Tiada anugerah yang lebih besar diberikan Allah kepada seorang hamba daripada nikmat yang mulia ini, yaitu taufik (bimbingan) untuk tetap istiqamah menjalankan Syariat-Nya, dan meniti jalan yang sesuai dengan Syariat itu, sehingga ia mati dalam keadaan mentaati Allah. Jika Anda memperhatikan orang-orang yang memperoleh husnul khatimah saat meninggal, Anda pasti akan melihat betapa mereka memiliki semangat yang besar dalam mentaati Allah, sekaligus menjauhi maksiat dan larangan-Nya.

Betapa indahnya hidup di bawah naungan dan pemeliharaan Allah. Alangkah bagusnya akhir hidup orang yang istiqamah meniti jalan Allah sampai ajal datang menjemputnya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah', kemudian mereka istiqamah, maka para Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, 'Janganlah kalian takut dan jangan pula merasa sedih. Bergembiralah dengan Surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian." [QS. Fushshilat: 30]

Istiqamah Memenuhi Obsesi Masa Pubertas

Adalah sesuatu yang tidak diperdebatkan bahwa manusia yang berada dalam masa pubertas, senantiasa berusaha mencari jati diri dan penghargaan orang lain terhadap dirinya. Perasaan sukses memberikan pengaruh sangat besar baginya dalam menanamkan rasa percaya diri, sekaligus memberinya rasa nikmat yang akan memotivasinya meraih kesuksesan berikutnya. Begitu juga, perasaan sukses yang ia rasakan dalam berinteraksi dengan Allah, serta keyakinan bahwa ia mampu tetap istiqamah di luar Ramadan, akan menumbuhkan dalam dirinya perasaan menang dan kemampuan untuk tetap istiqamah. Terutama dalam menghadapi ujian yang paling sulit, yaitu ujian memilih antara ketaatan dan maksiat, dan antara tetap istiqamah atau kembali melakukan keburukan.

Sesungguhnya efek rasa nikmat mereguk kemenangan dan kesuksesan dalam meniti jalan menuju Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—tidak hanya terbatas pada dimensi ibadah saja. Pengaruhnya akan menjangkau seluruh dimensi kehidupan seorang remaja. Perasaan itu akan mendorongnya untuk selalu berusaha meraih berbagai kesuksesan.

Waspadailah Musuh Anda!

Seandainya Anda ingin tetap istiqamah melakukan ketaatan di luar Ramadan, Anda harus menyadari perbedaan suasana yang ada. Di bulan Ramadan, Syetan-syetan dibelenggu dan dirantai, sedangkan saat ini, belenggu itu telah dilepaskan. Selama Ramadan, pintu-pintu Neraka ditutup, dan pintu-pintu Surga dibuka lebar. Namun saat ini, pintu-pintu Neraka itu dibuka, dan pintu-pintu Surga itu telah ditutup kembali.

Di samping itu, ada empat jenis musuh yang mesti Anda waspadai. Seandainya Anda tidak waspada, tidak berhati-hati, dan lengah, niscaya Anda akan kalah. Jika Anda ingin tetap istiqamah dalam melakukan ketaatan, maka Anda harus berhasil melewati dan menaklukkan keempat musuh ini. Dengan itu, insyâallah kaki Anda akan teguh dalam kebenaran.

Keempat rintangan berbahaya yang menjadi penghalang kebanyakan manusia meraih cahaya hidayah ini pada dasarnya berasal dari tiga perkara yang diciptakan oleh Allah—Tabâraka wata`âlâ—untuk menguji manusia. Ujian ini diberikan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling baik amalnya, siapa yang layak mendapatkan pertolongan Allah dalam menundukkan musuh-musuh itu sehingga berhak ikut dalam barisan cahaya, dan siapa yang kalah serta ditawan oleh musuhnya sehingga rugi di dunia dan Akhirat. Dan itulah sebesar-besar kerugian. [Farîd Mannâ', "Hayâtun Nûr", hal. 219]

Musuh-musuh tersebut adalah: Pertama, Syetan. Kedua, Hawa nafsu. Ketiga, Dunia. Keempat, Nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada keburukan (An-Nafsul Ammârah bis-Sû`).

Program Praktis yang Instan

Program ini terdiri dari beberapa ibadah yang mesti kita tunaikan dengan konsisten setelah Ramadan, agar kita bisa menjaga keistiqamahan dan kelanjutan dari ketaatan yang telah kita perbuat. Ibadah-ibadah yang dimaksud adalah:

·         Selalu menunaikan shalat lima waktu di mesjid. Tidak ada satu perkara pun yang layak melalaikan atau menghalangi kita dari ibadah yang satu ini. Ketika Anda mendengar azan, gerakkanlah hati dan tubuh Anda untuk menunaikan shalat di mesjid.

·         Menunaikan shalat sunnah sebanyak 12 rakaat dalam sehari semalam. Shalat ini dinamakan dengan shalat sunnah rawâtib yang ditunaikan sebelum atau setelah shalat fardhu. Sebagai balasan dari amal yang satu ini, Allah akan membangun sebuah rumah untuk Anda di dalam Surga, insyâallah.

·         Allah telah mengaruniakan kepada kita kemudahan dalam melaksanakan qiyâmullail (shalat malam) pada bulan suci ini. Sesungguhnya qiyaâmullail merupakan lencana kemuliaan seorang mukmin, sekaligus sarana pencetak orang-orang besar. Dengan karunia Allah, kita telah terbiasa melaksanakannya di bulan Ramadan. Lalu kenapa sekarang kita harus melalaikannya, padahal kita telah terlatih dan terbiasa melaksanakannya selama sebulan penuh? Mari kita berusaha melanjutkan amal shalih ini, minimal dua rakaat setiap malam. Alangkah bagusnya, jika kedua rakaat tersebut kita tunaikan pada sepertiga malam terakhir, saat-saat di mana Allah turun ke langit dunia.

·         Melaksanakan puasa setiap hari Senin dan Kamis, sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Puasa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam meningkatkan keimanan seseorang dan menjaganya agar tidak terjerumus ke lembah dosa. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Dan puasa adalah perisai. Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka, dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dalam pandangan Allah daripada aroma kesturi." [HR. Al-Bukhâri]

·         Membaca Al-Quran setiap hari membuat jiwa tenteram, sekaligus memompa iman di dalam hati. Namun bacaan Al-Quran yang memiliki efek seperti ini hanyalah bacaan yang dibarengi dengan tadabur dan penghayatan yang mendalam terhadap ayat-ayat Allah. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan Kami turunkan dari Al-Quran itu sesuatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." [QS. Al-Isrâ`: 82]

·         Karena selama bulan Ramadan lidah Anda sudah terbiasa berzikir, maka adalah wajar jika pada bulan berikutnya Anda tetap membiasakannya seperti itu. Dengan kata lain, lidah Anda selalu basah dengan zikir menyebut nama Allah.

·         Saudaraku, pada bulan Ramadan, dengan karunia Allah, Anda sudah terlatih melakukan berbagai amal kebaikan dengan mudah. Sehingga dalam diri Anda tumbuh kecintaan dan kebahagiaan dalam melakukannya. Maka lanjutkanlah berbagai perbuatan baik itu, mulai dari menjaga hubungan silaturahim, memperhatikan anak-anak yatim dan fakir miskin, serta menyokong berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga sosial.

[Sumber: www.islammemo.cc]

www.islamweb.net