Hati yang Keras

13/03/2019| IslamWeb

Keras berarti mati. Keras merupakan ungkapan untuk sikap kasar dan kejam. Ia juga berarti kosongnya hati dari sikap tunduk kepada ayat-ayat Allah—Subhânahu wata`âlâ. Keras merupakan sanksi hati yang paling berat secara mutlak. Karenanya, hati orang-orang kafir dan orang-orang munafik dikesankan demikian.

Mâlik ibnu Dînâr berkata, "Sesungguhnya Allah memberlakukan hukuman untuk hati dan tubuh manusia: Kehidupan yang sempit dan lemah dalam ibadah. Dan tidaklah seorang hamba diberikan hukuman yang lebih berat daripada kekerasan hati." [Hilyatul Auliyâ', (6/287)]

Hal yang sama ditegaskan oleh Hudzaifah Al-Mar'asyî ketika ia berkata, "Tidaklah seseorang diuji dengan musibah yang lebih besar daripada kekerasan hatinya." [Hilyatul Auliyâ', (8/269)]

Renungkanlah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal sesungguhnya di antara batu-batu itu, ada yang mengalir sungai-sungai darinya, dan sesungguhnya di antaranya ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, dan sesungguhnya di antaranya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan." [QS. Al-Baqarah: 74]

Ayat ini bermaksud mengingatkan kepada tanda kebesaran Allah tentang dihidupkannya kembali orang yang telah mati, atau berbagai pelajaran dan nasihat yang telah diberikan kepada Bani Israil. Gunung-gunung pun bisa lebur menyaksikan berbagai pelajaran itu, dan batu-batu raksasa pun akan meleleh karenanya. Sepatutnya, hati-hati mereka menjadi lembut menerima semua pelajaran dan nasihat-nasihat itu. Tetapi bila hati mereka tidak juga tersentuh, maka ia pantas disebut dengan hati yang keras, karena enggan menerima keimanan setelah melihat dengan jelas berbagai  faktor pendorong keimanan itu. Hati-hati semacam ini adalah laksana batu, atau bahkan lebih keras lagi. Kerasnya batu lebih populer bagi semua orang untuk dijadikan perumpamaan sifat keras, karena batu sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, Allah memaklumi kekerasan batu, tetapi tidak memaafkan hati-hati mereka yang keras. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Padahal sesungguhnya di antara batu-batu itu, ada yang mengalir sungai-sungai darinya, dan sesungguhnya di antaranya ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, dan sesungguhnya di antaranya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah."

Renungkanlah juga firman Allah yang luar biasa saat menggambarkan pemilik hati yang keras (yang artinya): "…dan ia telah diliputi oleh dosanya." [QS. Al-Baqarah: 81]. Artinya, dosanya telah menguasainya dan meliputi seluruh gerak hidupnya, sehingga ia dikurung oleh dosa itu, tidak ada yang dapat menembusnya. Karena orang yang melakukan suatu dosa dan tidak segera melepaskan diri darinya, niscaya dosa itu akan menyeretnya untuk kembali kepada dosa serupa, lalu tenggelam di dalamnya, dan kemudian melakukan dosa yang lebih besar, sehingga dosa-dosa pun menguasainya dan mengambil seluruh hatinya. Lalu karakter dirinya pun berubah cenderung kepada maksiat (dosa), memandang baik perilaku dosa, meyakini bahwa tiada kenikmatan selain dalam maksiat, membenci orang yang menghalang-halanginya melakukan maksiat, serta membantah orang yang menasihatinya agar menjauhi maksiat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Kemudian, kesudahan orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." [QS. Ar-Rûm: 10]

Dosa-dosa pun menjadi laksana kemah tertutup yang menghalangi masuknya segala sesuatu. Ia tidak lagi merasakan pengawasan Allah kepadanya, kenikmatan Surga yang dinanti, siksa Neraka yang mengintai, tipu daya Iblis yang selalu gencar, dan kekesalan para Malaikat yang penuh kasih sayang. Semua itu hilang darinya ketika ia terperosok ke dalam dosa. Ia tidak dapat melihat itu semua. Inilah makna sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Tidaklah seorang pezina (jadi) berzina saat ia (ingin) berzina, sementara ia dalam keadaan beriman. Tidaklah seseorang (jadi) meminum khamar saat ia (ingin) meminumnya, sementara ia dalam keadaan beriman. Tidaklah seseorang (jadi) mencuri saat ia (ingin) mencuri, sementara ia dalam keadaan beriman. Dan tidaklah seseorang (jadi) merampas sesuatu yang membuat para pemiliknya melihat ke arahnya tanpa daya ketika ia (ingin) merampasnya, sementara ia dalam keadaan beriman." [HR. Al-Bukhâri]

[Disadur dari buku "Bi Ayyi Qalbin Nalqâhu" (Dengan Hati yang Mana Kita akan Menjumpai-Nya?), karya Dr. Khâlid Abû Syâdî]

 

 

www.islamweb.net