Beberapa Catatan Tentang At-Targhîb dan At-Tarhîb

13/03/2019| IslamWeb

Oleh: Sulthan Al-Umari

Dengan hanya membaca secara sekilas kitab Al-Quran, kita pasti dapat menemukan ayat-ayat yang berisi motivasi untuk meraih Surga, serta mengungkapkan berbagai nikmat dan kelezatan yang ada di dalamnya. Setelah ayat-ayat itu, biasanya kita akan melihat ayat-ayat yang berbicara tentang Neraka, berikut berbagai kengerian dan azab yang pedih di dalamnya.

Inilah bentuk keseimbangan Al-Quran dalam mengarahkan jiwa manusia untuk meniti jalan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Itulah yang disebut dengan metode At-Targhîb wat At-Tarhîb (motivasi dan ancaman). Yaitu motivasi untuk meraih Surga serta ganjaran yang Allah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang benar, dan ancaman berupa siksa yang Allah sediakan bagi orang-orang yang berpaling dan mendurhakai-Nya.

Begitu juga Sunnah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, dengan membacanya secara sekilas saja, kita akan menemukan hal yang sama, yaitu At-targhîb yang diiringi dengan At-tarhîb. Berangkat dari situ, selayaknya kita menggariskan sebuah konsep dalam dunia dakwah, yaitu konsep At-targhîb dan At-tarhîb. Dengan begitu, kita insyâallah akan diberi taufiq (bimbingan) oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ, karena kita berjalan sesuai dengan motodologi Al-Quran dan Sunnah.

Terkait masalah ini, kami memiliki beberapa catatan yang akan kami paparkan dalam poin-poin berikut:

1.    Dalam berdakwah, sebagian dai hanya berbicara mengenai Surga dan kenikmatannya. Ia tidak pernah berbicara tentang Neraka dan kengeriannya. Ia seakan menganggap bahwa berbicara tentang Neraka akan menjauhkan orang dari jalan kebaikan, atau menghalangi orang dari kebenaran. Tidak diragukan lagi, bahwa ini adalah sebuah pandangan yang keliru dan tidak sempurna dalam memahami dakwah. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa menerapkan konsep Al-Quran dan Sunnah membuat orang menjauhi Islam?!

2.    Para dai mesti bijaksana memilih kata yang akan disampaikan kepada para objek dakwah, sekaligus mempertimbangkan realita hidup yang mereka geluti. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya siapa yang diberi hikmah (kebijaksanaan), maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak." [QS. Al-Baqarah: 269]

Bukanlah sesuatu yang pas bila kita berbicara tentang Neraka di tengah orang-orang yang antusias bertobat dan beramal shalih. Tindakan yang tepat di depan orang seperti ini adalah membangkitkan semangat mereka dengan berbicara tentang Surga dan kenikmatannya. Adapun terhadap orang yang lalai, jauh dari Allah, serta bersikap sombong terhadap Agama, barulah sesuai menakutinya dengan Neraka dan azab di dalamnya. Dengan itu, diharapkan ia akan tunduk dan menyadari hakikat dirinya, sehingga tidak lagi merasa pantas untuk berlaku sombong.

3.    Ada sebagian dai yang gemar berdalil dengan hadits-hadits palsu dan lemah (dha'îf) dalam masalah At-targhîb wat tarhîb. Mereka berargumen dengan mengatakan bahwa sebagian ulama membolehkan berdalil dengan hadits dha'îf untuk amal-amal kebaikan.

Meskipun kebolehan berhujah dengan hadits dha'îf dalam amal-amal kebaikan adalah pendapat yang masyhur menurut sebagian ulama, akan tetapi pada saat yang sama mereka telah menetapkan syarat yang ketat dalam masalah ini. Setelah diteliti dan dicermati, kita hampir bisa memastikan bahwa syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi oleh kebanyakan hadits yang disebutkan oleh sebagian dai tersebut.

Namun demikian, alangkah baiknya jika kita hanya beramal dengan hadits-hadits shahîh saja dan menghindari hadits-hadits yang dha'îf. Hal itu senada dengan yang dikatakan oleh Ibnul Mubârak, "Hadits shahîh semestinya membuat kita tersibukkan, sehingga tidak lagi mengamalkan hadits yang dha'if."

4.  Sebagian penceramah ada juga yang berlebih-lebihan dalam berdalil dengan perilaku para ulama salaf. Bahkan ada di antara mereka yang sampai menyebutkan kisah-kisah generasi salaf yang lebih mirip dengan dongeng. Seandainya kisah-kisah itu didengar oleh orang-orang awam, niscaya mereka akan membantahnya dan tidak akan menerima nasihat yang disampaikan oleh sang penceramah. Kita dituntut untuk berbicara kepada orang lain dengan sesuatu yang terjangkau oleh akalnya. Jika hal itu tidak kita patuhi, maka apa yang kita sampaikan akan menjadi bencana bagi orang tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Mas`ûd.

5.  Ada juga dai yang mengenyampingkan metode dakwah dengan "nasihat" (ceramah ringan). Ia hanya memfokuskan dakwah pada permasalahan pendidikan dan arahan-arahan umum. Tidak dikeragui, bahwa ini adalah sebuah metode dakwah yang keliru. Karena, teladan kita, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menyampaikan pesan nasihat, ilmu pengetahuan, dan juga pengarahan umum.

6.    Kita membutuhkan ulama berilmu luas yang menyampaikan nasihat (ceramah ringan), namun pada saat yang sama juga mengajar, mendidik, mengarahkan, menjelaskan matan-matan ilmiah, berfatwa, dan sebagainya. Seperti itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.

7.  Kadang kita menemukan sebagian pemuda cendekia mengkritik metode dakwah dengan nasihat (ceramah ringan). Menurut mereka, kita harus menyampaikan argumentasi-argumentasi keilmuan dan menampilkan kajian-kajian ilmiah. Menurut mereka, metode dakwah dengan nasihat adalah cara kuno yang tidak memiliki banyak manfaat.

Pemahaman seperti ini menunjukkan ketidakpahaman mereka. Karena Kitab Allah yang ada bersama kita penuh dengan nasihat, kisah, hukum, dan juga adab. Begitu juga Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, beliau mempraktikkan semua metode pengajaran, nasihat, dan pengarahan. Walaupun ini bukan berarti bahwa kita menyepelekan kegiatan-kegiatan ilmiah, pelatihan, seminar, dan sebagainya.

8.  Ada juga orang yang mencela dan meremehkan pekerjaan para dai penceramah, dengan alasan misalnya sang penceramah tidak memiliki halaqah (forum-forum) yang berisi pembahasan matan-matan ilmiah atau menjelaskan wacana-wacana ilmu pengetahuan.

Jawaban untuk sikap seperti itu adalah bahwa Islam membutuhkan usaha kita dari semua dimensi. Ada yang menyumbang peran dengan ceramahnya, ada yang dengan halaqah tahfîzh (penghapalan) Al-Qurannya, ada yang dengan khutbah-khutbah Jumatnya, dan ada pula yang dengan halaqah kajian matan-matan ilmiahnya. Semua bekerja untuk Agama. Tidak selayaknya seorang muslim meremehkan peran muslim yang lain. Justru sebaliknya, ia semestinya menghargai saudaranya, menyebut kebaikannya, dan mendoakannya dari kejauhan.

[Sumber: www.denana.com]

www.islamweb.net