Anjuran untuk Bertobat dan Kembali kepada Allah

14/03/2019| IslamWeb

Dalam berinteraksi dengan jiwa manusia, Islam memiliki metode yang sangat agung. Metode itu bertolak dari ilmu (pengetahuan) Allah—Subhânahu wata`âlâ, kerena Dialah yang telah mencipta dan menyempurnakan jiwa manusia, serta mengilhamkan kepadanya potensi kejahatan dan potensi ketakwaan. Allah-lah yang mengetahui persis kelemahan dan kehinaannya, serta dominasi syahwat dan syubhat terhadapnya. Merupakan tabiat jiwa manusia, bahwa ia telah diberikan fitrah melakukan kesalahan, akan tetapi Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan pintu yang luas untuknya, yaitu pintu tobat dan pintu kembali kepada Allah, serta tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

Kepada manusia yang telah melampaui batas dalam melakukan dosa dan tenggelam dalam kesalahan, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menyeru agar tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Bahkan Allah menyeru mereka dengan menyebut mereka sebagai hamba-hamba-Nya, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya (yang artinya): "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Kembalilah kepada Tuhan kalian dan berserahdirilah kepada-Nya…" [QS. Az-Zumar: 53-54]

Metode Islam dalam berinteraksi dengan jiwa manusia adalah metode yang sangat agung. Metode yang bertolak dari kemahatahuan Allah—Subhânahu wata`âlâ—terhadap jiwa itu sendiri.,Karena Allah-lah yang telah menciptakan dan menyempurnakannya, serta mengilhamkan potensi kejahatan dan ketakwaan kepadanya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." [QS. Asy-Syams: 7-8]

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian perlihatkan atau rahasiakan); sementara Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?" [QS. Al-Mulk: 14]

Allah mengetahui kelemahan dan kehinaan jiwa manusia, serta adanya dominasi musuh (Syetan) terhadapnya. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berinteraksi dengan jiwa manusia berdasarkan pengetahuan-Nya itu. Allah menetapkan kewajiban atasnya, sekaligus mendidiknya berdasarkan pada pemahaman tentang hakikatnya serta pengetahuan tentang rahasia-rahasianya.

Pada dasarnya, jiwa manusia bersandar pada pengetahuan tentang kebenaran. Inilah yang merupakan tujuan dasar. Yaitu bagaimana setiap menusia mengetahui hakikat kebenaran yang menjadi tujuan ia diciptakan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran." [QS. Ar-Semoga Allah meridhainya`d: 19]

Manusia ada dua model: Pertama, orang yang mengetahui serta menyadari kebenaran dan Agama. Makna kata menyadari di sini adalah sampainya hakikat kebenaran itu ke dalam jiwa manusia. Inilah yang disebut dengan kesadaran, bukan sekedar memahami atau mengetahui. Ia adalah kesadaran yang bermakna keyakinan. Orang seperti ini diberi taufik oleh Allah sehingga ia mampu menyadari. Adapun model yang kedua adalah orang yang tidak menyadari dan tidak pula mengetahui kebenaran. Artinya, ia buta terhadap jalan kebenaran. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di Akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." [Al-Isrâ': 72]

Manusia model pertama mengetahui dan menyadari kebenaran. Pengetahuan dan kesadarannya terhadap kebenaran itu membuatnya berjalan di atas jalan kebenaran. Lalu ia menjalankan kewajiban-kewajibannya, menjauhi segala larangan, serta meninggalkan segala bentuk maksiat dan kemungkaran. Perbuatan seperti ini cukup untuk menjamin dirinya sampai kepada derajat kesempurnaan yang tinggi, ketika ia menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia bukan lagi sekedar manusia sederhana dan biasa, tetapi telah naik dari kedudukannya semula, karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu." [QS. Asy-Syams: 7-9]. Yakni,mengangkat jiwanya menuju kedudukan yang tinggi. Kata "tazkiyyah" (menyucikan) di sini berarti meninggikan dan mengangkat jiwa itu. Lalu Allah lanjutkan dengan firman-Nya (yang artinya): "Dan merugilah orang yang mengotori (jiwa)-nya." [QS. Asy-Syams: 10]. Yakni menenggelamkan serta melumurinya dengan dosa dan maksiat.

Apabila manusia menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat, jiwanya akan naik menuju puncak ketinggian. Di sinilah ia pantas menyandang gelar hamba Allah dan menjadi khalifah di muka dunia. Hanya saja, manusia dengan status kemanusiaannya dan tabiat penciptaannya tidak mampu selamanya berada pada kedudukan yang tinggi. Ia mungkin saja terpeleset dan terjatuh, baik karena kebodohannya, dorongan syahwatnya, tekanan berbagai syubhat, maupun karena pengaruh teman-temannya. Semua batu sandungan ini selalu berusaha menarik manusia ketika ia meniti jalan kemuliaan dan ketinggian. Syahwat, syubhat, kawan, kelalaian, dan kebodohan, semua itu adalah faktor-faktor penggoda. Lantaran semua faktor itu, terjadilah penyelewengan pada diri manusia dari jalan yang benar.

Efek Penyelewengan Keagamaan Terhadap Manusia

Penyelewengan semacam ini akan menjatuhkan manusia dari derajat kemanusiaannya, sekaligus akan menghalangi dirinya dari usaha pembersihan diri, peningkatan martabat, dan ketinggian status di hadapan Allah. Sehingga manusia pun menjadi sangat rendah dan tidak berharga dalam pandangan Allah. Manusia terjatuh ke dalam jurang yang akan menyulitkan dirinya untuk bangkit mengikuti Agama ini, sehingga ia pun menjadi terbiasa bermaksiat dan menjadi berat melakukan ketaatan (ibadah). Ketika sampai pada tingkatan seperti ini, manusia tidak lagi akan memiliki visi hidup yang jelas di atas dunia, tidak memiliki tujuan dan idealisme. Segala kemampuannya dikerahkan hanya untuk memuaskan hawa nafsu belaka. Ia akan mendahulukan segala hal yang menjadi kepentingan dirinya dengan mengingkari kepentingan-kepentingan lain, sehingga ia menjadi makhluk yang sangat egois. Ambisinya hanya tertuju kepada bagaimana membuat segala sesuatu berputar untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ketika kehidupan ini telah kehilangan hati manusia yang hidup dan tidak lagi dihiasi oleh individu-individu yang shalih, maka ia akan berubah menjadi kancah pertarungan, tak ubahnya pertarungan hewan-hewan liar. Inilah makna firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal shalih ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahanam adalah tempat tinggal mereka." [QS. Muhammad: 12]

Dalam ayat lain, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Atau apakah kalian mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." [QS. Al-Furqân: 44]. Mengapa demikian? Karena mereka turun dari tangga keimanan. Mereka turun dari ketinggian Agama menuju kerendahan hewani. Mereka hidup seperti hidupnya binatang. Sungguh, mereka tidak akan memiliki nilai apa-apa kecuali dengan kembali berpegang teguh kepada tali Agama Allah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka berpegang teguhlah kepada Agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya engkau berada di atas jalan yang lurus. Dan Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar merupakan kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu, dan kelak kalian akan diminta pertanggungjawaban." [QS. Az-Zukhruf: 43-44]

Kebesaran nama Anda, ketinggian kedudukan Anda, kehormatan Anda, eksistensi Anda, di mana semua itu terletak? Semuanya terletak dalam Kitab Allah.

"Dan Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar merupakan kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu…" Tanpa Al-Quran, nama Anda tidak akan pernah dikenang. Tanpa Agama ini, tidak ada artinya hidup Anda. Tanpa iman, tidak ada nilainya diri Anda. Karena pada hakikatnya, siapa diri Anda? Anda hanya sebutir atom di tengah kumpulan atom alam semesta ini. Anda tak ubahnya laksana seekor serangga tersesat di tengah kumpulan serangga yang ada di alam raya ini. Akan tetapi dengan iman, Anda menjadi makhluk paling besar dan paling mulia di antara makhluk-makhluk yang ada di alam ini.

Tetapi kapan kemuliaan itu bisa terwujud? Ia baru terwujud ketika Anda berpegang teguh. Namun bagaimana caranya? Harus ada perasaan. Seorang manusia yang tengah mengalami penurunan derajat harus merasakan hal itu terjadi pada dirinya. Ia harus merasakan bahwa ada suara yang berteriak memanggil, "Janganlah engkau memenuhi panggilan hina itu! Kembalilah, dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah." Karena Syetan selalu berkata, "Semuanya telah usai, engkau tidak beramal shalih, engkau telah terjatuh, dan tidak usah kembali naik. Untuk apa engkau bersusah payah, karena Allah tidak akan mengampunimu!" Syetan kemudian memperbesar gambaran kesalahan dan dosa Anda dengan berkata, "Engkau adalah penjahat yang selalu berbuat dosa". Ia bisikkan itu guna memalingkan Anda dari usaha untuk bangkit kembali. Inilah bisikan jahat Iblis. Adapun bisikan iman, akan selalu memanggil Anda dan senantiasa berkata kepada Anda, "Engkau adalah manusia."

Manusia Memiliki Fitrah Melakukan Kesalahan

Anda bukanlah Malaikat yang suci, bukan pula manusia yang maksum (terpelihara dari dosa). Anda hanyalah manusia yang selalu digempur oleh berbagai kekuatan, ditarik oleh hawa nafsu, dan dikalahkan oleh tabiat penciptaan Anda, sehingga terkadang Anda naik tinggi, tapi terkadang jatuh tersungkur. Benar, Anda harus menolak panggilan untuk turun dan tersungkur itu. Perbaikilah kesalahan Anda, obatilah penyakit Anda, cucilah dosa Anda, dan mulailah menapaki kembali perjalan Anda bersama Tuhan Anda. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda menjelaskan tabiat manusia, "Seluruh anak Adam itu bersalah—berbuat salah adalah ciri khas anak Adam, akan tetapi—sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang selalu bertobat." [HR. Ibnu Mâjah, Al-Hâkim, dan At-Tirmidzi; Menurut At-Tirmidzi: hasan-shahîh]

Nabi mengatakan, "Seluruh anak adam…", dan Anda adalah anak Adam. Apakah Anda ingin menjadi Malaikat yang tidak pernah bersalah walaupun sekali? Tentu tidak mungkin! Tidak ada di dunia ini seorang manusia yang tidak bersalah. Semua manusia pernah melakukan kesalahan. Akan tetapi kesalahan dalam hidup seorang muslim adalah sesuatu yang datang dan tidak tetap, sementara dalam kehidupan para penjahat ia merupakan sesuatu yang konstan dan senantiasa melekat. Adapun seorang muslim tidaklah demikian. Dosa dan kesalahan hanya sekedar datang kepadanya, kemudian ia segera bertobat. "Dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah yang selalu beratubat." Demikianlah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda.

Beliau juga pernah menjelaskan, "Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberi tobat kepada pelaku dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk memberi tobat kepada pelaku dosa di malam hari, (demikian seterusnya) hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya (barat)." [HR. Muslim]. Allah membentangkan tangannya adalah untuk segera memberi ampunan. Hari ini Anda telah berbuat dosa di siang hari, dan pada malam hari itu juga Allah membentangkan tangan-Nya bagi seluruh orang yang berbuat kesalahan dan dosa. Maka kembalilah segera, kembalilah dan jangan terus-menerus berada dalam maksiat. Allah membentangkan tangan berarti memanggil para hamba-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, "Allah membentangkan tangannya pada malam hari.", untuk siapa? Bukan orang orang-orang yang shalih, akan tetapi untuk para pendosa: "…untuk memberi tobat kepada pelaku dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk memberi tobat kepada pelaku dosa di malam hari." Sampai kapan? "…Hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya (barat)."

Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang Maha mengetahui tabiat dan kelemahan manusia telah berfirman dalam Kitab Suci-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya Allah tidak akan membebankan seseorang di luar batas kemampuannya." [QS. Al-Baqarah: 286]

Tentang Nabi Adam—`Alaihissalâm—Allah berfirman (yang artinya):

·         "Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) Surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia (karena mengikuti bisikan Syetan). Kemudian Tuhannya memilihnya (sebagai hamba-Nya yang dekat kepada-Nya), maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." [QS. Thâhâ: 121-122]

·         "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 37]

Kalimat yang diterima oleh Nabi Adam dari Tuhannya, dan kemudian ia ucapkan itu adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Keduanya berkata, 'Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi'." [QS. Al-A`râf: 23]. Ketika ia berdoa dengan kalimat di atas, Allah—Subhânahu wata`âlâ—memberi tobat dan menganugerahkan hidayah kepadanya.

Tetapi lain halnya dengan Iblis. Ia tidak mengucapkan kalimat itu, padahal ia dengan Adam sama-sama berdosa. Dosa Iblis adalah tidak mau bersujud kepada Adam, dan dosa Adam adalah memakan buah pohon yang terlarang. Kedua dosa ini—yaitu "meninggalkan perintah" yang dilakukan oleh Iblis ketika diperintah untuk bersujud, dan "mengerjakan larangan" yang dilakukan oleh Adam ketika dilarang memakan buah itu—merupakan asas seluruh dosa di dunia ini. Karena seluruh maksiat atau dosa berbentuk "mengerjakan larangan" atau "meninggalkan perintah". Akibat kedua dosa itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman kepada Adam dan Iblis (yang artinya): "Allah berfirman (yang artinya): 'Turunlah kalian berdua dari Surga bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka'." [QS. Thâhâ: 123]

Iblis tidak mau bertobat, tetapi malah meminta diberi tenggang waktu agar bisa menyesatkan anak Adam, sebagaimana tercantum dalam firman Allah (yang artinya): "Iblis berkata: 'Wahai Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan'." [QS. Shâd: 79]. Allah—Subhânahu wata`âlâ—pun mengabulkan permintaannya itu. "Allah berfirman (yang artinya): 'Sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang diberi tangguh." [QS. Shâd: 80]

Sementara Adam, ia bersimpuh memohon ampun bersama istrinya, sebagaimana tercantum dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Keduanya berkata: 'Wahai Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi'." [QS. Al-A`râf: 23]. Ketika ia dan istrinya mengucapkan kalimat yang ia terima dari Allah itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—pun mengampuninya. Allah berfirman (yang artinya): "Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia (karena mengikuti bisikan Syetan). Kemudian Tuhannya memilihnya (sebagai hamba-Nya yang dekat kepada-Nya), maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk." [QS. Thâhâ: 121-122]

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman kepada Adam dan seluruh manusia (yang artinya): "Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Kembalilah kepada Tuhan kalian dan berserahdirilah kepada-Nya…" [QS. Az-Zumar: 53-54]

Luasnya Ampunan Allah

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. An-Nisâ': 110]. Ini adalah firman Allah, wahai saudaraku. Tidak ada alasan untuk berputus asa. Tidak ada alasan untuk menyerah kepada tipu daya Syetan.

Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas semua dosamu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, walaupun dosa-dosamu telah mencapai awan di langit, kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mgnampunimu atas segala dosa-dosamu, dan aku tidak peduli." [HR. At-Tirmidzi]. Allâhu Akbar!

Ibnu Abi Hâtim meriwayatkan semuah kisah, bahwa suatu hari, seorang lelaki datang menghadap Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Karena demikian tua dan berumurnya, alis lelaki itu telah turun ke matanya. Ia lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang lelaki yang telah banyak berbuat khianat dan kejahatan. Tidak satu pun dosa kecil maupun dosa besar yang tidak pernah aku lakukan. Dosaku sangat banyak, sehingga kalau dibagikan kepada seluruh penduduk bumi ini niscaya akan mampu menghancurkan mereka." Mendengar itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepadanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah rasul-Nya?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabipun kembali bersabda, "Pergilah, sesungguhnya Allah telah memberimu kebaikan untuk setiap keburukan yang telah engkau lakukan." Laki-laki itu sangat heran. Bagaimana mungkin seluruh keburukannya berganti menjadi kebaikan. Ia berkata, "Bagaimana dengan berbagai pengkhianatan dan kejahatanku? Maksudnya adalah dosa-dosa besar yang ia bayangkan tidak mungkin akan diampuni. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjawab, "Termasuk berbagai pengkhianatan dan kejahatanmu (berganti menjadi kebaikan)!" Lelaki itu pun berlalu sambil berucap, "Tidak ada Tuhan selain Allah, segala puji hanya bagi Allah." [Tafsir Ibnu Katsîr]

Hadits shahîh ini disebutkan oleh Ibnu Katsîr ketika menafsirkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Mereka itulah yang Allah ganti keburukan-keburukan mereka dengan kebaikan-kebaikan." [QS. Al-Furqân: 70]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan." Nafas sampai di tenggorokan berarti ketika ruh telah sampai pada saat-saat berpisahnya dengan jasad, di mana tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup. Tobat pada saat seperti ini sama seperti dengan tobat orang yang terpaksa. Apabila ruh telah sampai ditenggorokan dan nafas sudah mulai tersengal-sengal, ketika itu tobat tidak ada gunanya lagi, karena manusia telah melihat kematian. Akan tetapi sebelum itu terjadi, Allah—Subhânahu wata`âlâ—tetap menerima tobat dan mengampuni perbuatan maksiat para hambanya.

Cara Bertobat Dalam Islam

Saudaraku, tobat dalam Islam adalah perkara yang sangat mudah, tidak perlu harus ke pendeta sebagaimana dalam agama Kristen, tidak perlu harus menghadap syaikh tarekat sebagaimana dalam aliran sufi, tidak perlu juga pergi menemui seorang yang alim atau mendatangi tempat tertentu, tidak. Tobat dalam Islam hanyalah kesadaran hati dengan merasakan bahwa diri telah melenceng dari jalan yang lurus dan harus kembali kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dan itu bisa dilakukan oleh setiap orang, menyadarkan hatinya sambil berkata: Demi Allah, aku telah berdosa, aku memohon ampun dan bertobat kepada Allah yang Maha Agung.

Setelah itu, kita hanya diperintahkan untuk menghadap kepada Allah melalui jalan yang begitu singkat, dengan tiga cara:

1) Untuk perkara yang telah berlalu kita diperintahkan memperbaikinya dengan istighfâr (meminta ampun). Hal ini tidaklah sulit dilakukan. Apakah sulit bagi seseorang untuk sekedar beristigfar, sehingga kemudian Allah menggantikan keburukannya dengan kebaikan? Sama sekali tidak ada kesulitan dalam melakukannya.

2) Untuk perkara yang akan datang, kita diperintahkan memperbaikinya dengan memasang niat yang baik, yaitu berniat untuk hanya melakukan amal–amal yang baik di waktu mendatang. Apakah sekedar berniat seperti ini terasa sulit? Ironisnya, ada sebagian orang yang bahkan tidak ingin untuk sekedar berniat baik di dalam hati. Kalau Anda berkata kepadanya, "Apakah nanti mau berbuat baik?" Ia menjawab, "Tidak." Ia tidak ingin berbuat baik walaupun sekedar dalam niat.

3) Setelah memperbaiki perbuatan masa lalu dan masa yang akan datang, kini tersisa perkara yang ada sekarang. Masa sekarang adalah detik yang sedang Anda lalui saat ini. beberapa waktu lalu, ia adalah masa depan, tetapi beberapa saat setelah ini, ia akan berubah menjadi masa lalu. Dalam sebuah ungkapan disebutkan: "Masa lalu telah pergi, masa mendatang masih mistri, dan yang ada di tangan Anda hanyalah waktu yang Anda miliki saat ini."

Waktu yang sedang Anda jalani ini, manfaatkanlah ia dengan baik. Berusahalah mengisinya dengan melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, Anda telah tergolong orang-orang bertobat yang Allah terima tobat mereka, sehingga mereka berbahagia di dunia dan Akhirat.

Allah Gembira karena Tobat Hamba-Nya

Allah—Subhânahu wata`âlâ—sangat gembira melihat tobat hamba-Nya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda dalam sebuah hadits shahîh: "Sungguh Allah lebih gembira melihat tobat hamba-Nya daripada kegembiraan seorang laki-laki di tengah padang pasir bersama hewan tunggangannya yang membawa semua perbekalan dan makanannya. Tiba-tiba hewan itu menghilang. Laki-laki itu berusaha mencarinya kesana kemari, namun  tidak menemukannya, sehingga ia pun sadar bahwa ia akan mati. Ia pun menyerah pada kematian dan berbaring di bawah naungan sebuah pohon dengan rasa putus asa. Lalu Allah mengembalikan hewan tunggangan itu kepadanya. Ketika terbangun, ia melihat hewan miliknya berdiri di dekat kepalanya lengkap dengan semua makanan dan perbekalannya. Karena demikian gembiranya, ia pun salah berucap, 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu!'"

Ia sebenarnya ingin mengatakan: Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu! Namun ia salah ucap karena demikian gembiranya ketika itu. Bagaimana menurut Anda dahsyatnya kegembiraan yang dialami oleh laki-laki ini?! Apakah ada di dunia ini kegembiraan yang melebihi apa yang dirasakannya? Ibarat seseorang yang telah dihukum mati, lalu ia dibebaskan, seperti apakah kebahagiaan yang ia rasakan? Sudah pasti, bahwa kebahagiaan yang ia rasakan sangatlah dahsyat. Tetapi kegembiraan Allah—Subhânahu wata`âlâ—karena tobat hambanya jauh lebih besar daripada kegembiraan si laki-laki tadi karena kembalinya unta tunggangannya. Walaupun sebenarnya Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak membutuhkan ketaatan siapa pun, serta tidak akan pernah rugi oleh maksiat orang-orang yang mendurhakai-Nya. Karena Dia-lah yang justeru memenuhi kebutuhan para makhluk dan menjaga mereka dari bahaya.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman menggambarkan orang-orang beriman (yang artinya): "Dan orang-orang yang telah mengerjakan dosa besar atau menzalimi diri mereka kemudian mengingat Allah." Yakni mengingat keagungan Allah, serta apa yang Allah persiapkan untuk para pelaku dosa besar dan kezaliman itu. ".kemudian mereka memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa mereka—dan siapakah yang dapat memberi ampunan selain Allah—dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa yang mereka perbuat, sementara mereka mengetahui." [QS. Âli `Imrân: 135]

Apakah balasan bagi mereka yang telah melakukan dosa besar tapi kemudian memohon ampun kepada Allah? Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Balasan bagi mereka itu adalah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan sungguh baik balasan bagi orang-orang yang beramal." [QS. Âli `Imrân: 136]

Para ulama Tafsir mengatakan: Betapa besar rahmat Allah! Mereka ini, apa yang telah mereka perbuat? Mereka melakukan maksiat dan dosa-dosa. Akan tetapi ketika mereka menggantinya dengan istighfâr dan tobat, Allah—Subhânahu wata`âlâ—menganugerahkan Surga untuk mereka, lalu menegaskan (yang artinya): "Dan sungguh baik balasan bagi orang-orang yang beramal." Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjadikan perbuatan buruk mereka bagian dari nikmat, yaitu bagian dari amal yang membuat Allah ridha. Mengapa? Karena mereka menutup semua maksiat itu dengan tobat dan istighfâr.

Akan tetapi saudaraku, malapetaka dahsyat yang tidak ada jalan selamat darinya adalah sikap terus-menerus melakukan dosa, menenggelamkan diri di dalam maksiat, dan tidak mau berhenti. Perilaku seperti ini merupakan bukti tidak adanya pengetahuan sekaligus pengagungan terhadap Allah—Subhânahu wata`âlâ. Itu adalah tanda kosongnya diri dari iman, tanda keringnya hati dari ajaran Agama. Begitulah kondisi orang yang melakukan dosa-dosa besar dan terus-menerus tenggelam di dalamnya tanpa merasa bahwa ia berada di tengah dosa, dan tidak berupaya untuk ber-istighfâr. Oleh karena itu, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman kepada penghuni Neraka (yang artinya): "Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar." [QS. Al-Wâqi`ah: 45-46]. Mereka tidak henti-hentinya melakukan dosa dan maksiat. Itulah sebabnya Allah membalas mereka dengan Neraka. Na'ûdzubillâhi min dzâlik.

Segera Bertobat

Tobat adalah sesuatu yang harus segera dilakukan. Harus dilakukan dari sekarang, tanpa ditunda dengan mengatakan, "Nanti kalau saya sudah tua". Padahal Anda tidak tahu apakah akan sampai berumur tua atau tidak. Jangan berkata, "Besok", atau bahkan, "Nanti setelah Isya." Sekarang juga, katakanlah: Aku memohon ampun dan bertobat kepada Allah yang Maha Agung.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Al-Agharr Al-Muzani, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Wahai hamba-hamba Allah, bertobatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertobat kepada Allah seratus kali dalam sehari." [HR. Muslim]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—ber-istighfar meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam sehari, padahal beliau adalah penghulu para ahli ibadah, memohon ampun tanpa ada dosa. Kalau beliau saja demikian, kenapa kita semua tidak ber-istighfâr dan bertobat kepada Allah?! Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran ketidaktahuan lalu mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana." [QS. An-Nisâ': 17]

Apabila manusia segera bertobat setelah melakukan dosa tanpa menunda-nunda, juga tidak terus-menerus tenggelam di dalamnya, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman tentang mereka (yang artinya): "…Maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana" [QS. An-Nisâ': 17]

Apabila seorang hamba menyertakan permohonan ampun dengan keikhlasan dan keyakinan, itulah yang mengundang datangnya rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tuhan kalian telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran ketidaktahuan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-An`âm: 54]

Rukun Tobat

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap di jalan yang benar." [QS. Thâhâ: 82]. Inilah empat perkara yang menjadi rukun tobat: 1) Bertobat. 2) beriman. 3) Melakukan amal Shalih. 4) Isitqamah di atas jalan yang lurus.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan semua perbuatan itu niscaya ia mendapat (pembalasan) dosa-(nya). Akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka itu diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Furqân: 68-70]

Sebuah hadits diriwayatkan dari Ibnu Mas'ûd—Semoga Allah meridhainya, bahwa seorang laki-laki pernah datang mengadu kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahwa ia telah mencium seorang perempuan yang tidak halal baginya. Ketika lelaki itu mendatangi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—seraya menceritakan hal itu, turunlah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." [QS. Hûd: 114]. Kemudian laki-laki itu berkata, "Apakah ayat ini hanya untuk aku, wahai Rasulullah?" Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjawab, "Untuk seluruh umatku." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Tapi perhatikanlah, betapa lelaki itu memiliki perasaan yang sangat peka. Sebuah ciuman membuatnya datang mengadu kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan berkata, "Wahai Rasulullah, celakalah diriku." Nabi ketika itu bertanya, "Apa yang engkau inginkan?" Ia menjawab, "Laksanakanlah hukum had atasku!" Ia mengira bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—akan mengikatnya lalu merajamnya dengan batu karena satu ciuman yang ia lakukan itu.

Lihatlah sikap lelaki itu, ia tak mau diam karena melakukan maksiat itu. Ia tidak mau tenggelam dengan terus mengulangi dosa itu. Sebaliknya, ia ingin segera menyucikan dirinya, karena merasa telah berbuat dosa dan meyakini adanya bencana yang mengancam. Akhirnya, Allah—Subhânahu wata`âlâ—pun menurunkan ayat di atas untuk lelaki itu.

Ketika ayat itu turun, ia mengira bahwa itu adalah kemuliaan yang khusus untuk dirinya sendiri. Ia bertanya, "Apakah ayat ini hanya untuk aku, wahai Rasulullah?" Tapi ternyata Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menjawab, "Untuk seluruh umatku." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang berwuduk dan menyempurnakan wuduknya, lalu ia shalat dua atau empat rakaat dengan menyempurnakan rukuk dan sujudnya, kemudian ia meminta ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mengampuninya." [HR. Ath-Thabrâni; hasan]. Shalat ini dinamakan dengan shalat Tobat.

 

 

www.islamweb.net