Kata-kata Kotor; Pangkal Keburukan dan Maksiat

14/03/2019| IslamWeb

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang berjiwa mulia tidak akan mudah mengucapkan kata-kata kotor, agar ia tidak mendapatkan murka Allah dan pandangan remeh dari orang lain. Tidak diragukan pula bahwa bermulut kotor merupakan sifat yang tercela dan terlarang. Kata-kata kotor juga memiliki ragam yang banyak.

Motif Berkata Kotor

Sumber kata-kata kotor adalah kejahatan dan kekejian. Sementara motif penggeraknya ada kalanya keinginan untuk menyakiti, dan ada kalanya kebiasaan yang dihasilkan dari pergaulan dengan orang-orang fasik dan jahat, karena di antara kebiasaan mereka adalah mencaci maki. Dan dalam kondisi apa pun, Allah sungguh telah melarang kita mengucapkan perkataan kotor dan kalimat-kalimat tidak terpuji secara terang-terangan, melalui firman-Nya (yang artinya): "Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [QS. An-Nisâ': 148]. Bahkan Allah juga menjelaskan di dalam Al-Quran bahwa hal tersebut merupakan salah satu karakter orang-orang munafik yang sikap mereka terhadap orang-orang mukmin Allah gambarkan dalam firman-Nya (yang artinya): "Mereka bakhil terhadap kalian" [QS. Al-Ahzâb: 19]

Seorang mukmin tidak akan mau mengikuti arah jalan orang-orang bodoh dan para pemilik akhlak buruk yang tidak punya rasa malu serta suka berkata kotor. Sebaliknya, ia akan senantiasa mempertahankan martabat dan kehormatan dirinya. Ada ungkapan yang mengatakan: "Bersabar menghadapi orang yang berakhlak buruk lebih baik daripada 'menghias diri' dengan rupanya. Dan mengabaikan orang bodoh lebih baik daripada menyerupainya."

Tempat-tempat Munculnya Perkataan Kotor dan Keji

Ada banyak tempat dan waktu yang digunakan oleh sebagian orang yang lemah iman dan berakhlak buruk untuk mengucapkan kata-kata kotor. Beberapa di antaranya dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali—Semoga Allah merahmatinya—dalam perkataannya, "Tempat-tempat untuk hal itu banyak. Namun dapat dibatasi ke dalam setiap kondisi yang tersembunyi dan membuat malu jika diketahui orang lain. Karena menyampaikan keadaan-keadaan semacam ini secara terbuka berarti perkataan keji, dan ia mestinya diungkapkan dengan bahasa kiasan. Kebanyakannya adalah kata-kata seputar hubungan seksual dan yang berkaitan dengannya. Orang-orang yang tidak bermoral biasa mengungkapkannya secara terbuka dengan bahasa-bahasa kotor. Sedangkan orang-orang shalih senantiasa menghindari ungkapan-ungkapan seperti itu, dan hanya mengungkapkannya dengan bahasa-bahasa isyarat (tidak langsung) yang mendekati dan berkaitan dengannya. Tidakkah Anda perhatikan, bahwa Allah—`Azza wajalla—memakai kata 'menyentuh' sebagai kiasan dari 'hubungan seksual'. Dan karena itulah digunakan kata-kata seperti menyentuh, memegang, masuk, dan bergaul untuk mengungkapkan aktivitas seksual itu. Selain itu, masalah privasi wanita dan pembicaraan seputarnya juga masuk dalam kategori tempat bahasa kotor. Demikian pula menyebut aib yang membuat malu, seperti pincang dan botak. Karenanya, seyogianya hal-hal tersebut tidak diungkapkan dengan bahasa langsung."

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—memasukkan perilaku berkata kotor sebagai salah satu cabang kemunafikan. Beliau juga menyampaikan bahwa Allah—`Azza wajalla—membenci orang yang berkata keji dan kotor, sebagaimana sabda beliau, "Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang berkata keji dan kotor."

Selain itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga menjelaskan bahwa berkata kotor merupakan jalan menuju Neraka. Beliau bersabda, "Malu adalah bagian dari iman, dan iman itu (tempatnya) di Surga. Sementara berkata kotor adalah bagian dari perangai kasar, dan perangai kasar itu (tempatnya) di Neraka."

Perlu diketahui, bahwa penggunaan nama-nama hewan untuk menyifati manusia termasuk kategori kata-kata kotor. Imam An-Nawawi—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Dan di antara kata-kata tercela yang biasa digunakan oleh manusia adalah ucapan seseorang kepada orang yang bermusuhan dengannya: Hai keledai!, hai kambing!, hai anjing!, dan lain sebagainya. Ungkapan seperti ini bernilai tercela dari dua sisi: Pertama, karena itu adalah suatu kebohongan. Dan kedua, karena itu menyakitkan."

Para pembaca tercinta, jika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah melarang kita memaki ayam jantan dalam sabda beliau, "Janganlah kalian mencaci ayam jantan, karena ia membangunkan orang untuk melaksanakan shalat", lalu apakah kita layak mencaci makhluk Allah yang telah mengucapkan kalimat syahadat?!

Para Salafusshalih Mengingatkan agar Tidak Berkata Kotor

Para nenek moyang kita dari generasi shahabat dan tabi'in—Semoga Allah meridhai mereka—adalah orang-orang yang paling jauh dari perkataan kotor dan keji. Mereka juga adalah orang-orang yang paling keras memberi peringatan akan penyakit berbahaya yang tidak diidap kecuali oleh orang yang lemah iman ini. Dalam sebuah riwayat, Abdullah ibnu Mas'ud—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Sesuatu yang paling hina pada diri seorang mukmin adalah perkataan atau perbuatan yang keji."

Ketika melihat seorang wanita yang bermulut lancang, Abu Ad-Dardâ'—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Seandainya wanita ini bisu, niscaya itu lebih baik baginya."

Al-Ahnaf ibnu Qais—Semoga Allah merahmatinya—juga pernah berkata, "Ingatlah, aku beritahukan kepada kalian penyakit yang paling berbahaya, yaitu lidah yang kotor dan akhlak yang tercela."

Kita memohon kepada Allah, agar Dia senantiasa menyucikan kita dari segala yang tidak diridhai-Nya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat, salam, serta keberkahan kepada Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam.

 

 

www.islamweb.net