Sakînah (Tenang) Adalah Sifat para Nabi dan Orang-orang Shalih

30/04/2019| IslamWeb

Jika ketenangan masuk ke dalam hati, maka akan membuat hati menjadi tenteram, seluruh anggota tubuh menjadi tenang, khusuk, dan damai, dan lisan berbicara dengan kebenaran dan hikmah. Itulah kondisi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pada saat beliau bangkit untuk menyerukan kebenaran kepada seluruh makhluk, dan menyampaikan dakwah tauhid kepada orang-orang yang hati mereka telah tercemari oleh kemusyrikan. Oleh karena itu, beliau menghadapi berbagai rintangan. Bahkan karenanya, leher beliau pernah dicekik. Dan di waktu yang lain punggung beliau dilempar dengan kotoran binatang. Beliau juga pernah diboikot di dalam perkampung Abû Thâlib selama tiga tahun. Selain itu, beliau juga dituduh sebagai penyihir, dukun, orang gila, dan orang yang memisahkan antara seorang suami dengan istrinya.

Semua rintangan itu beliau hadapi dengan sabar. Beliau memberikan contoh keteladanan, sebelum bersabda dengan lisan beliau, "Sesungguhnya jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku mati karenanya."

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—membalas perlakuan buruk dengan kebaikan. Beliau terus berdakwah tanpa menghiraukan penolakan, dan aksi memalingkan diri dari ibadah kepada Allah. Beliau bersabda, "Ya Rabbku, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Beliau menginginkan kebaikan untuk mereka, dan memohonkannya kepada Allah untuk mereka. Beliau juga bersabda, "Barangkali Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang yang menyembah-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun."

Tenang Tanda Yakin

Tenang adalah tanda yakin, dan percaya kepada Allah Rabb semesta alam. Tenang mendatangkan ketenteraman, dan kedamaian untuk pemiliknya dalam menghadapi situasi yang mengiris hati, dan menghilangkan akal sehat. Ingatlah peristiwa hijrah, dan perkataan Abu Bakar—Semoga Allah meridhainya, "Seandainya salah seorang dari mereka melihat dari bawah kakinya, niscaya mereka akan melihat kita." Lantas Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepadanya, "Bagaimana menurutmu, dua orang yang ketiganya adalah Allah? Janganlah bersedih, karena sesungguhnya Allah menyertai kita." Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang ia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia berkata kepada temannya, 'Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.' Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad), dan membantunya dengan tentara yang tidak kalian lihat, dan menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [QS. At-Taubah: 40]

Barang siapa yang mecermati kondisi NabiShallallâhu `alaihi wasallam—ketika Perjanjian Hudaibiyah saat beliau bersabda, "Sesungguhnya Dia Rabbku, dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku," dan juga ketika Perang Uhud, pada saat geraham beliau pecah, dan wajah beliau yang mulia terluka, serta ketika Perang Ahzab, saat beliau mengikatkan batu di perut beliau yang mulia karena lapar sambil membawa tanah, dan tanah itu menutupi putihnya perut beliau, beliau ketika itu melantunkan syair yang dibuat oleh salah seorang shahabat, yang bunyinya, "Ya Allah, kalau bukan karena-Mu maka kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah, dan tidak pula shalat. Turunkanlah ketenangan kepada kami, dan teguhkanlah kaki-kaki kami pada saat bertemu musuh. Sesungguhnya orang-orang yang menganiaya kami, jika mereka menginginkan kekacauan, kami akan menghadapinya."

Dan barangsiapa yang merenungi perkataan dan perbuatan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pada saat beliau berada dalam kesulitan dan juga kemudahan, niscaya ia akan mengetahui bahwa ketenangan adalah tanda keridhaan Allah terhadap seorang hamba. Ketenangan membawa kepada keridhaan terhadap pembagian Allah—`Azza wajalla. Ia juga dapat mencegah dari tindakan berlebihan dan ekstrim. Sebagaimana juga ketenangan dapat membuat orang takut jadi damai, dan orang sedih jadi terhibur. Di dalam ketenangan terdapat ketaatan kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): menceritakan kondisi kaum muslimin pada saat Ba`atur Ridhwân (yang artinya): "Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." [QS. Al-Fath: 18]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman tentang Perang Hunain setelah orang-orang yang berpaling meninggalkan peperangan (yang artinya): "Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir." [QS. At-Taubah: 26]

Tenang dalam Situasi Sulit

Tenang adalah ciri kaum mukminin dan kondisi mereka dalam Perang Ahzab. Tentang hal ini Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, 'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.' Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali keimanan dan ketundukan." [QS. Al-Ahzâb: 22]

Tenang adalah sifat Bilâl—Semoga Allah meridhainya—pada saat orang-orang kafir meletakkan batu besar di atas punggungnya di tengah terik matahari di Makkah. Ketika itu ia terus berdzikir dengan melantunkan lafadz, "Ahad, Ahad (Dzat Yang Maha Esa)." Tenang juga sifat yang ada pada diri seorang pemuda Quraisy, Mush`ab bin `Umair—Semoga Allah meridhainya—, ketika ibunya tidak mau makan dan minum sampai hampir mati, dan ia (Mush`ab) dihina karenanya. Kemudian setelah tiga hari ia mendatangi sang ibu, dan berkata, "Seandainya ibu memiliki seratus nyawa dan keluar satu persatu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena sesuatu apa pun." Kemudian sang ibu pun akhirnya menyerah, lalu makan dan minum. Ini pulalah keadaan Mush`ab—Semoga Allah meridhainya—ketika ia berhijrah ke Madinah untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya. Dia hidup dengan kehidupan yang sederhana, dengan penuh keridhaan pada Allah. Kemudian di saat hendak meninggal dunia, ia terus mengulang-ulang firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul yang telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." [QS. Âli `Imrân: 144]. Dia melantunkan ayat ini setelah tangan kanan dan kirinya putus dan dilempar oleh Ibnu Qami'ah dengan tombak.

Ketenangan juga menghiasi jiwa Khubaib bin `Adi—Semoga Allah meridhainya—pada saat kaum musyrikin mengepungnya untuk membunuhnya. Dia kemudian shalat dua rakaat karena Allah, kemudian berkata, "Ya Allah, saya tidak melihat selain wajah-wajah musuh, dan saya tidak melihat wajah yang kepadanya aku bisa menitipkan salamku kepada Rasul-Mu." Kemudian ia dibunuh. Ketika itu, sebelum meninggal ia melantunkan syairnya, "Aku tidak menghiraukan selama aku dibunuh dalam keadaan muslim. Walau bagaimanapun, sesungguhnya di jalan Allahlah kematianku. Ini pada Allah, jika Dia berkehendak, Dia akan memberkati potongan-potongan tubuhku yang terkoyak."

Kondisi tenang yang ada pada wali Allah, dan orang-orang shalih sangatlah panjang jika diceritakan. Mengapa? Karena ia adalah sifat yang pasti ada pada diri para Nabi dan Rasul. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." [QS. Al-An`âm: 90]

Tenang Adalah Sifat Para Nabi

Tenang adalah sifat Nabi Ibrâhîm—`Alaihis salâm—pada saat ia menghadapi ayahnya, dan Namrudz. Demikian juga ketika ia meninggalkan istrinya, Hajar, dan anak semata wayangnya, Ismâ`îl—`Alaihis salâm—di Makkah Al-Mukarramah. Demikian juga ketika kemudian ia diperintahkan untuk menyembelih Ismâ`îl—`Alaihis salâm. Dia memiliki keteguhan, dan ketenangan hati ketika singgah ataupun dalam perjalanan, ketika membatalkan ataupun melaksanakan hal yang diperintahkan, dan ketika bersama ataupun berpisah.

Tenang adalah sifat Nabi Mûsa—`Alaihis salâm—pada saat menghadapi Fir`aun dan meneguhkan Bani Isrâ'îl. Dia mengatakan kepada mereka, "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa." [QS. Al-A`râf: 128]. Dan juga pada saat ia menghadapi kebinasaan yang hampir menghampiri. Di depannya ada laut dan di belakangnya ada tentara Fir`aun. Bani Isrâ'îl pun berkata kepadanya, "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul." Namun Nabi Allah Musa—`Alaihis salâm—menjawab, "Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Rabbku besertaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku." [QS. Asy-Syu`arâ': 61-62]

Tenang adalah ciri Nabi Allah Yusuf—`Alaihis salâm—dalam menghadapi saudara-saudaranya, dan para wanita yang memperdayanya, demikian juga ketika ia dipenjara, dan setelah menjabat sebagai Penguasa Mesir. Dia menghadap Rabbnya dengan berdoa, "Ya Rabbku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi. (Ya Rabb) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan Akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih." [QS. Yûsuf: 101]

Terkait sifat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam kitab-kitab umat terdahulu disebutkan, "Aku mengutus seorang Nabi yang ummi, tidak kasar dan keras, tidak berteriak-teriak di pasar, tidak memiliki sifat keji, dan tidak berbicara buruk. Aku jadikan tenang sebagai pakaiannya, dan kebaikan sebagai syiarnya."

Ketenangan Hati dan Hiburan Bagi yang Sedih

Ketenangan adalah sebagian dari rahasia ciptaan Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang diturunkan ke dalam hati Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, dan hati-hati orang-orang yang beriman. Ketenangan memadukan antara kekuatan dengan rohani. Sehingga orang yang takut menjadi tenang, dan orang yang sedih menjadi terhibur. Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Pada suatu ketika kami berbicara bahwa ketenangan berbicara melalui lisan Umar dan hatinya."

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Ketenangan adalah anugerah, dan meninggalkannya adalah kerugian." Ibnu Abbâs—Semoga Allah meridhainya—juga berkata, "Setiap lafadz sakînah dalam Al-Quran maksudnya adalah ketenangan, kecuali yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah." Ayat yang dimaksudkan adalah firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi Raja, ialah kembalinya tabut kepada kalian, di dalamnya terdapat sakînah dari Rabb kalian dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; Tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi kalian, jika kalian orang yang beriman." [QS. Al-A`râf: 248]

Terdapat banyak nash yang mendorong kita untuk berhias diri dengan sifat tenang. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Jika iqamah shalat telah dikumandangkan, maka janganlah engkau mendatanginya dalam keadaan berlari. Datangilah ia dalam keadaan berjalan. Hendaklah kalian tenang. Seberapa rakaat yang kalian dapatkan maka dirikanlah, dan rakaat yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah kalian berdiri sampai kalian melihatku. Dan hendaklah kalian tenang." [HR. Al-Bukhâri]. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Mudahkanlah, dan janganlah mempersulit. Buatlah tenang, dan janganlah membuat takut." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda kepada kaum muslimin pada petang hari Arafah, di saat mereka bertolak, "Hendaklah kalian (bertolak dengan) tenang." [HR. Muslim]

Ketenangan datangnya adalah dari Allah—Subhânahu wata`âlâ. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):

"Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin, dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa, dan adalah mereka berhak dengan kalimat taqwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu." [QS. Al-Fath: 26];

"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." [QS. Al-Fath: 4]

Kebaikan, keberkahan, dan ketenangan yang datang dari Allah tidak akan kita dapatkan kecuali dengan menaati-Nya. Doa termasuk faktor terpenting untuk memperolehnya.

Dalam sebuah hadits Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ketenangan itu turun karena Al-Quran." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Beliau juga bersabda, "Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah untuk membaca Al-Quran, dan mengkajinya sesama mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, dan mereka akan diliputi rahmat, dan dinaungi oleh para Malaikat, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya." [HR. Muslim]

Dari Abû Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Berbangga dan menyombongkan diri ada pada para penggembala unta dari penduduk pedalaman, dan ketenangan ada pada para pemilik kambing." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Orang-orang besar telah mencoba membaca ayat-ayat "ketenangan" ketika mengalami kegalauan hati. Mereka mendapatkan pengaruhnya yang besar. Tentang hal ini Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—berkata dalam Madârijus Sâlikîn, "Syaikhul Islâm Ibnu TaimiyahSemoga Allah merahmatinyajika sedang berada dalam keadaan yang sulit, ia membaca ayat-ayat ketenangan. Aku mendengar ia mengatakan ketika terjadi peristiwa besar pada dirinya di saat ia sakit, 'Ketika suatu perkara terasa berat bagiku, aku berkata kepada sanak kerabat, dan orang-orang yang ada di sekitarku, 'Bacakanlah ayat-ayat ketenangan.' Setelah itu aku keluar dari situasi sulit itu, dan duduk dengan keadaan hati tenang."

Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—juga berkata, "Aku membaca ayat-ayat ini pada saat aku mengalami kegalauan hati untuk menghilangkannya. Aku menemukan pengaruhnya yang besar dalam menenangkan dan menenteramkan hati."

Ya Allah, turunkanlah ketenangan kepada kami, dan teguhkanlah hati jika kami bertemu musuh.

Kita berdoa kepada Allah memohon kebaikan seluruhnya, yang segera, ataupun yang akan datang, yang kita ketahui, dan yang tidak kita ketahui. Kita juga berlindung kepada-Nya dari seluruh keburukan, baik yang segera, ataupun yang akan datang, yang kita ketahui, dan yang tidak kita ketahui. Dan akhir doa kita, sesungguhnya segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam.

www.islamweb.net