Yang Dibolehkan Dalam Beri`tikaf

| IslamWeb

Diriwayatkan dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya, "Bahwa ia menyisir kepala Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—ketika ia sedang haidh, dan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—dalam keadaan beri`tikaf di masjid. Aisyah berada di kamarnya sambil memegang kepala Rasulullah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam riwayat Muslim: "Beliau tidak masuk ke rumahnya kecuali untuk keperluan manusia." [HR. Muslim]

Dalam Sunan Abu Dâwûd, diriwayatkan dari Asiyah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "Ketika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—sedang beri`tikaf di masjid, beliau menyodorkan kepalanya kepadaku dari jendela kamar, kemudian aku mencuci kepala beliau." [HR. Abû Dâwûd]

Dalam riwayat lain disebutkan: "Lalu aku menyisir kepalanya sementara aku sedang haidh." [HR. Mâlik, Al-Bukhâri, Muslim dan Abû Dâwûd]

Diriwayatkan dari Aisyah juga—Semoga Allah meridhainya, "Bahwa ketika beliau beri`tikaf, beliau tidak masuk ke dalam rumahnya kecuali untuk kebutuhan manusiawi yang harus dilakukan." [HR. An-Nasâ'i, Al-Bukhâri dan Muslim]

Dari Aisyah juga—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata, "Sesungguhnya aku masuk ke dalam rumah untuk suatu keperluan dan menjenguk orang sakit, dan aku tidak bertanya tentang beliau kecuali dalam keadaan menyeberang." [HR. Muslim]

Aisyah—Semoga Allah meridhainya—juga berkata, "Yang disunnahkan bagi orang yang beri`tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak mengikuti jenazah, tidak memegang istri dan dan tidak berhubungan dengannya, tidak keluar kecuali untuk keperluan yang memang harus dilakukan. Tidak sah i`tikaf tanpa berpuasa dan tidak sah i`tikaf kecuali di masjid jâmi` (masjid yang dijadikan sebagai tempat shalat jumat)." [HR. Abû Dâwûd, Ad-Dâraquthni]

Kandungan dan Hukum

Pertama: Perempuan haid hukumnya suci dan bukan najis, kecuali tempat keluarnya darah haid. [At-Tamhîd, Sayh An-Nawawi dan Syarh Ibnu Baththâl] Demikan juga dengan orang yang junub, tentu lebih utama untuk dihukumi suci. [Syarh Ibnul Mulaqqin `alal `Umdah]

Kedua: Keluarnya sebagian badan orang yang beri`tikaf dari masjid tidak disebut keluar, dan tidak berpengaruh pada i`tikafnya, seperti kalau ia ingin mengambil atau menerima sesuatu dari jendela masjid, atau pintunya, tidak ada masalah dalam semua itu. [Syarh An-Nawawi, `Aunul Ma`bûd]

Ketiga: Disyariatkannya mencuci kepala bagi orang yang beri`tikaf, menyisir rambutnya, memakai wewangian, mandi, bercukur dan berhias." [Aunul Ma`bûd]

Keempat: Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—memiki rambut yang tebal

Kelima: Orang yang memiliki rambut tebal, disunnahkan baginya untuk memperhatikan kebersihan rambutnya dan selalu menyisirnya. Tidak termasuk Sunnah dan ajaran Syariah sesuatu yang berlawanan dengan kebersihan dan kerapian dalam pakaian dan perhiasan. [Al-Istidzkâr, Syarh Ibnul Mulaqqin]

Keenam: Dapat diambil hukum dari di sisirnya rambut Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, dibolehkan memakai segala sesuatu yang dapat menjadikan baik badan manusia seperti makanan, minyak rambut dan sebagainya. [Syarah Ibnu Baththâl]

Ketujuh: Dibolehkan bagi orang yang beri`tikaf memandang kepada istrinya dan memagang sebagian badannya tanpa syahwat. [Syarh An-Nawawi]

Kedelapan: Disyariatkan bagi istri untuk melayani suaminya dengan mencuci rambutnya, menyisirnya, mencuci pakaiannya dan lain sebagainya. [Syarh An-Nawawi]

Kesembilan: Tidak diperbolehkan bagi seorang yang sedang beri`tikaf keluar dari masjid kecuali untuk keperluan biasa seperti buang air kecil dan besar, atau makan dan minum, jika tidak ada yang menyediakannya di masjid. Demikian juga dengan segala hal yang mengharuskannya keluar dan tidak mungkin dilakukan di dalam masjid, maka ia boleh keluar untuk keperluan itu dan i`tikafnya tidak batal. [At-Tmhîd, Al-Furû`, Al-Mugni]

Kesepuluh: Barang siapa yang bersumpah tidak memasuki rumah, kemudian ia memasukkan kepalanya, sementara seluruh badannya berada di luar rumah, maka ia tidak disebut melanggar sumpahnya. [Ma`âlim As-Sunan, Syarh Ibnu Baththâl, Syarh Ibnul Mulaqqin `alal `Umdah, `Aunul Ma`bûd]

Kesebelas: Apabila seorang yang beri`tikaf keluar untuk melakukan kebuthan pokoknya, tidak diharuskan untuk bercepat-cepat dalam berjalan, tetapi hendaknya ia berjalan normal seperti biasa. Akan tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan kebutuhannya. [Al-Mugni]

Keduabelas: Seorang yang sedang beri`tikaf tidak diperkenankan untuk menjenguk orang sakit atau mengikuti jenazah. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. [Syarh Ibnu Baththâl] Dan ia boleh menanyakan keadaan orang yang sakit sambil lewat, tidak mendatanginya dan duduk di hadapannya. [Syarh Ibnul Mulaqqin `alal `Umdah]

Ketigabelas: Kalau ia keluar karena uzur yang sangat penting seperti orangtua atau anaknya meninggal dunia, sementara ia tidak pernah menentukan syarat akan keluar dari i`tikaf jika ada hal yang sangat penting sebelum mulai beri`tikaf, maka ia harus memulai baru i`tikafnya setelah selesai menyelesaikan keperluannya itu [Syarh Ibnu Baththâl]

Keempatbelas: Dalam hadits di atas, bahwa seorang istri harus tinggal di rumah suaminya walaupun suaminya tidak punya keinginan untuk mendatangi istrinya, atau ada perkara tertentu yang menghalangi ia ke rumahnya seperti safar dan i`tikaf. Dan istri tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali seizin suaminya. [Syarh Ibnul Mulaqqin `alal `Umdah]

Kelimabelas: Kalau seseorang keluar dari i`tikafnya tanpa ada keperluan tertentu maka i`tikafnya batal. [Al-Mugni]

Keenambelas: Masalah disyaratkannya puasa dalam i`tikaf dan i`tikaf harus di masjid jâmi` merupakan masalah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama. Pendapat yang benar adalah, tidak tidak disyaratkan berpuasa dalam beri`tikaf, karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—pernah beri`tikaf pada bulan Syawal. Dan dibolehkan beri`tikaf pada masjid yang dijadikan sebagai tempat shalat jamaah, bukan shalat Jumat. Tetapi ia harus keluar untuk shalat Jumat dan i`tikafnya tidak batal. Yang lebih utama adalah, hendaknya i`tikaf dilakukan di masjid jâmi`. [Fatwa Lajnah Dâ'imah]

www.islamweb.net