Orang yang Bernazar Iktikaf

| IslamWeb

Sebuah hadits diriwayatkan dari Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernazar pada zaman Jahiliah untuk beriktikaf pada malam hari di Masjidil Haram." Mendengar itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—bersabda, "Tunaikanlah nazarmu dan beriktikaflah pada malam hari!" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang ketika itu sedang berada di Ji`irrânah, setelah kembali dari Thâ'if, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernazar pada zaman Jahiliah untuk beriktikaf sehari di Masjidil Haram, bagaimana menurut Anda?" Beliau menjawab, "Pergilah beriktikaflah satu hari!"

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar berkata, "Ketika aku telah masuk Islam, aku bertanya kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—tentang hal itu. Lalu beliau menjawab, "Tunaikanlah nazarmu!" [HR. Al-Bazzâr dan Al-Baihaqi]

Kandungan dan Hukum-hukum dalam Hadits

Pertama: Hadits ini menunjukkan bahwa nazar adalah sesuatu yang sudah dikenal oleh kaum Jahiliah, demikian juga dengan iktikaf.

Kedua: Perintah menunaikan nazar setelah masuk Islam, jika seseorang pernah bernazar sebelum masuk Islam. Sebagian ulama bahkan mewajibkan penunaian nazar semacam ini.

Ketiga: Hadits ini memperlihatkan semangat Umar—Semoga Allah meridhainya—untuk memenuhi nazar yang ia ikrarkan ketika zaman Jahiliah. Hal ini menunjukkan sifat wara' dan taqwanya.

Keempat: Ditekankannya menunaikan janji dan tidak mengingkarinya. Karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—memerintahkan Umar untuk melaksanakan janjinya walaupun itu ia buat pada zaman Jahiliah. [Syarh Ibni Baththâl]

Kelima: Dibenarkan seseorang beriktikaf satu hari atau satu malam, berdasarkan zahir teks hadits di atas.

Keenam: Ulama yang berpendapat bahwa iktikaf sah walaupun tidak disertai puasa berdalil dengan hadits ini, karena malam hari bukan waktu untuk berpuasa.

Ketujuh: Orang yang berpendapat bahwa iktikaf sah dilakukan tanpa disertai puasa—dan ini adalah pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama—berarti berpendapat bahwa iktikaf juga disyariatkan bagi orang yang sakit dan tidak berpuasa karena sakitnya. [Asy-Syarh Al-Mumti`]

Kedelapan: Hadits ini memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada ulama tentang ilmu yang belum kita ketahui. Karena Umar—Semoga Allah meridhainya—bertanya kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam—tentang nazarnya tersebut. Selain itu, diwajibkan atas orang yang ditanya tentang suatu ilmu untuk menerangkannya dan tidak menyembunyikannya. [Syarh Ibnil Mulaqqin `alal `Umdah]

Kesembilan: Apabila seseorang bernazar untuk beriktikaf di mesjid tertentu—selain Masjidil Haram, Mesjid Nabawi, dan Mesjid Al-Aqsha, jika itu mengharuskannya bepergian jauh maka nazar seperti itu tidak diperbolehkan. Ini berdasarkan kepada sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wa Sallam, "Tidak boleh mengkhususkan perjalanan (ke sebuah mesjid) kecuali ke tiga mesjid (Masjidil Haram, Mesjid Nabawi, dan Mesjid Al-Aqsha)." Tetapi kalau nazar itu tidak mengharuskannya bepergian jauh, maka dibolehkan. [Al-Fatâwâs Sa`diyyah]

www.islamweb.net