Rukyat dan Hisab

| IslamWeb

 Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Sebuah pertanyaan diterima oleh Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi tentang masalah ini. Berikut teks pertanyaan itu sekaligus jawabannya:

Pertanyaan:

Apakah seorang muslim boleh berpegang kepada perhitungan astronomis (Ilmu Falak) dalam memulai dan mengakhiri puasa? Ataukah ia harus berpegang kepada ru’yah hilal (melihat bulan secara langsung dengan mata kepala)?

Jawaban:

Syariat Islam adalah syariat yang toleran. Ia adalah ajaran yang universal, hukum-hukumnya bahkan mencakup alam manusia dan Jin, dengan beragam tingkatan mereka: dari ulama hingga awam, dari penduduk kota hingga perkampungan. Oleh sebab itu, Allah memudahkan bagi mereka jalan untuk mengetahui waktu-waktu ibadah mereka. Allah pun menjadikan tanda-tanda sebagai awal dan akhir waktu ibadah itu berupa hal-hal yang sama-sama mereka ketahui. Allah jadikan tenggelamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu shalat Maghrib dan habisnya waktu Ashar. Allah jadikan terbenamnya cahaya merah di ufuk barat sebagai tanda masuknya waktu Isya. Allah jadikan terlihatnya hilal (bulan sabit) setelah ia menghilang di akhir bulan sebelumnya sebagai tanda masuknya bulan baru dan habisnya bulan lama.

Syariat Islam tidak memerintahkan kepada kita untuk mengetahui awal bulan dengan cara yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir orang, yaitu melalui Ilmu Astronomi atau Ilmu Falak. Karena itu, nas-nas Al-Quran dan Sunnah menjadikan terlihatnya hilal sebagai tanda bermulainya kewajiban puasa bagi kaum muslimin. Sebagaimana terlihatnya hilal menjadi tanda berakhirnya bulan puasa, yaitu ketika terlihat hilal bulan Syawwâl. Begitu juga tentang penetapan hari raya Idul Adha dan hari Arafah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

o    "Maka barang siapa di antara kalian bertemu dengan bulan itu, hendaklah ia berpuasa di dalamnya…" [QS. Al-Baqarah: 185];

o    "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’." [QS. Al-Baqarah: 189]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan), maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal), maka berhentilah berpuasa. Seandainya kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari." [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ahmad, dan Ad-Dârimi]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menetapkan awal puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan, dan berhenti berpuasa saat melihat hilal bulan Syawwâl. Beliau tidak mengaitkannya dengan perhitungan astronomi atau perjalanan planet. Inilah tradisi yang berlaku pada zaman Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, mada Khulafâ'urrâsyidîn, masa imam mazhab yang empat, dan tiga abad pertama yang disebut Nabi sebagai abad-abad terbaik Umat ini. Merujuk kepada Ilmu Falak untuk menetapkan awal dan akhir waktu ibadah tanpa melakukan ru’yah (rukyat) adalah perkara bid`ah yang tidak mengandung kebaikan dan tidak memiliki sandaran dalam Syariat.

Kerajaan Arab Saudi berpegang kepada metode yang dipakai pada zaman Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan salafush shâlih dalam menetapkan waktu berpuasa dan berbuka, waktu hari raya, waktu haji, dan sebagainya, yaitu dengan melihat hilal secara langsung (rukyat). Sesungguhnya segala kebaikan terdapat pada kesetiaan mengikuti generasi salaf dalam perkara Agama. Sementara keburukan total terdapat pada bid`ah yang dibuat-buat kemudian hari dalam masalah Agama. Semoga Allah memelihara kita dan seluruh kaum muslimin dari segala bencana, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.

Dari Allah-lah segala taufik, dan semoga Allah selalu mencurahkan shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa

Anggota Wakil Ketua Komite,

Abdullah ibnu Mani` Abdullah ibnu Ghudyan Abdurrazzâq `Afifi.

[Fatwa-fatwa Komite Tetap: 23 juz: 10/104. Nomor fatwa: 386, dengan sedikit revisi]

Catatan Penting:

Ketika pemimpin kaum muslimin di negeri non-muslim menetapkan daerah tertentu sebagai rujukan dalam penetapan awal puasa, serta telah mengumumkan keputusan untuk berpegang kepada rukyat negeri tersebut, maka kaum muslimin yang ada di sana tidak boleh melanggarnya; misalnya, sebagian berpuasa berdasarkan kepada rukyat negeri A, sebagian yang lain berpuasa mengikuti rukyat negeri B, dan sebagian yang ketiga mengikuti rukyat negeri C, dan begitu seterusnya. Padahal mereka semua tinggal di negeri yang sama. Sehingga Anda melihat di beberapa negeri tertentu, ada orang yang berpuasa karena mengikuti umat Islam di India, dan pada waktu yang sama, ada yang berhari raya karena mengikui Arab Saudi, dan sebagainya. Hal ini jelas termasuk ke dalam perbedaan yang tercela. Perbedaan ini merupakan perbedaan yang dibenci oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ. Adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh Syariat dan logika, bila kaum muslimin yang berada di satu kawasan tertentu terpecah dalam menetapkan daerah yang menjadi sandaran mereka dalam menentukan awal dan akhir puasa, seperti yang terjadi saat ini. Ini adalah sesuatu yang haram untuk diperbuat.

Mereka boleh berpuasa sesuai dengan rukyat negeri mereka sendiri, dan boleh juga berpegang kepada rukyat negeri Islam pertama di muka bumi. Jika tidak, maka akan terjadi perselisihan, dan akibatnya akan sangat buruk. [Khalid Muhammad Abdul Qadir, "Min Fiqhil Aqalliyâtil Muslimah"]

www.islamweb.net