Problem Anak-Anak

| IslamWeb

Anak memiliki banyak problem psikologis yang terkadang membuat orangtua kebingungan, menderita, tidak dapat tidur, khawatir, bahkan berteriak histris karenanya. Apa yang akan kita lakukan pada anak kita yang mudah marah misalnya? Bagaimana kita berinteraksi dengannya? Ada di antara kita yang mengeluh misalnya: "Anakku mencuri!", "Anakku suka berkelahi!!", "Anakku tertutup", "Anakku suka berbohong", "Anakku suka bertanya hal-hal yang tidak senonoh", dst.

Titik awal untuk mengatasi masalah ini adalah orangtua harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang problem-problem itu, berikut sebab-sebabnya, bentuk-bentuknya, apakah berbahaya atau tidak, serta apa saja sarana pengobatannya. Ayah dan ibu tidak boleh memandang enteng masalah pengobatan terhadap problem-problem seperti ini, karena ia berpotensi merusak karakter anak, mencederai fitrahnya yang suci, serta menodai kesempurnaannya.

Problem Rasa Takut pada Anak

Bukan hal aneh bila kita memiliki rasa takut! Karena takut adalah perasaan alamiah yang biasa dirasakan oleh manusia dalam situasi-situasi yang mengancam keselamatan jiwanya.

Rasa takut yang alami dan wajar bahkan bermanfaat bagi manusia. Apabila kita tidak takut kepada api misalnya, maka bisa jadi api itu akan membakar atau membunuh kita. Namun ada jenis rasa takut yang merupakan penyakit, bahkan ada rasa takut yang menjadi virus pembunuh! Rasa takut berlebihan dan berulang-ulang terhadap segala hal merupakan perasaan yang abnormal.

Takut adalah kondisi emosional alamiah yang dirasakan oleh manusia dan seluruh makhluk hidup dalam kondisi-kondisi berbahaya yang mengancamnya. Rasa takut ini terkadang tampak dengan jelas pada umur tiga tahun. Tingkatannya berbeda-beda, mulai dari kewaspadaan, kepanikan, hingga ketakutan.

Dari mana rasa takut datang pada anak? Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya rasa takut pada anak, di antaranya:

-      Ancaman dan kebiasaan menakut-nakuti yang dilakukan oleh orangtua secara terus-menerus akan membuat anak sering merasa takut.

-      Menonton pemandangan kekerasan dan menakutkan, serta mendengar cerita-cerita horor. Ini menjelaskan betapa bahayanya kisah-kisah tentang jin dan hantu, demikian pula dengan film-film horor dan cerita-cerita detektif.

-      Kehilangan cinta dan perhatian. Anak-anak merasa sangat takut kehilangan ibu dan ayahnya, atau kehilangan rasa aman bila orangtua menjauh darinya, atau bila ibunya berpisah dengan ayahnya. Karena semua ini akan mengantarkannya kepada penderitaan, kebencian, dan serba kekurangan.

-      Tertular rasa takut. Rasa takut sama halnya dengan kondisi emosional lainnya, dapat menular dari seseorang kepada orang lain. Banyak ibu yang memperlihatkan raut ketakutan dan kepanikan di hadapan anak-anak mereka, misalnya takut terhadap hewan-hewan yang jinak. Dengan sikap seperti itu, ibu sebenarnya telah menciptakan rasa takut terhadap hewan-hewan tersebut pada diri anak-anaknya.

-      Orangtua menampakkan kehawatiran berlebihan terhadap anaknya. Jika si kecil melihat raut panik dan kebingungan pada wajah ibunya ketika ia sedikit saja terluka atau terjatuh, maka si kecil juga akan disergap oleh rasa gentar dan takut. Dengan demikian, anak akan tumbuh besar dengan membawa rasa khawatir berlebihan terhadap dirinya.

-      Lingkungan keluarga yang penuh dengan kalimat-kalimat ancaman, pertengkaran, dan konflik. Semua ini akan mengganggu ketenteraman anak dan membuatnya tumbuh besar membawa rasa ketakutan.

Mayoritas sumber rasa takut pada anak adalah hal-hal yang indrawi, seperti takut kepada polisi dan dokter. Sementara rasa takut terhadap hal-hal yang non-indrawi lebih jarang terjadi, seperti takut terhadap kematian, hantu, dll. Dan, biasanya yang menjadi penyebab timbulnya rasa takut pada diri anak terhadap hal-hal itu adalah orangtuanya sendiri. Ayah dan ibu sebenarnya telah berbuat kesalahan besar ketika mereka menakut-nakuti anaknya dengan tujuan bercanda atau bermain-main. Tindakan seperti ini bahkan merupakan kekerasan yang tidak ada bandingnya. Betapa buruknya jika anak berteriak ketakutan, sementara ayah dan ibunya tertawa melihat katakutan sang anak.

Berdasarkan rasa takut, anak-anak dapat diklasifikasikan kepada pembagian berikut:

1.    Anak yang tidak punya rasa takut. Ini sangat langka, dan kalaupun terjadi, biasanya disebabkan oleh kurangnya daya serap anak, seperti lemah mental atau belum memahami kondisi sekelilingnya. Persis seperti orang yang memegang ular karena tidak tahu, lupa, atau tidak memperhatikan.

2.    Anak yang memiliki rasa takut normal. Maksudnya adalah rasa takut alami yang dirasakan oleh anak kecil hingga orang dewasa. Yaitu ketika anak merasa takut terhadap sesuatu yang biasanya ditakuti oleh anak-anak yang sebaya dengannya, seperti takut kepada binatang buas.

3.    Anak yang menderita penyakit takut. Maksudnya adalah perasaan takut yang tidak normal, berlebihan, berulang-ulang, atau semi permanen terhadap sesuatu yang tidak biasa ditakuti oleh anak-anak sebayanya. Bisa juga rasa takut itu hanya berbentuk ilusi (phobia), dan sebagainya.

Tanda-tanda Takut

Tanda-tanda takut pada anak yang berumur satu tahun adalah: Jeritan atau raut kecemasan pada wajahnya. Sedangkan pada anak-anak yang berusia di atas dua tahun, tanda-tandanya adalah: Jeritan, lari, gemetaran, perubahan raut wajah, perkataan yang terputus-putus, terkadang disertai keringat dan kencing yang tidak disengaja.

Mengidentifikasi dampak rasa takut pada anak dengan cara membandingkannya dengan tingkat ketakutan anak-anak yang lain:

-   Takut kepada kegelapan merupakan hal alami bagi anak berumur tiga tahun. Tapi apabila ketakutan itu melahirkan kepanikan luar biasa sehingga anak kehilangan keseimbangan dirinya, berarti itu sudah masuk ke dalam kategori rasa takut yang tidak normal berdasarkan kebiasaan yang ada.

-   Masa bayi dan fase kanak-kanak awal merupakan masa yang sangat penting untuk menanamkan rasa aman dan tenteram.

-      Membatasi ruang gerak anak untuk mengekspresikan rasa takutnya, serta menekan anak dengan cara menakut-nakutinya demi melatih emosinya justru akan menghambat pertumbuhan nalurinya menuju kehidupan yang penuh pengalaman. Hal ini akan menyebabkan anak memiliki emosional yang dangkal dan suka menyendiri.

-    Mendorong anak kepada situasi-situasi yang membuatnya takut dengan tujuan membantunya mengalahkan rasa takut tidak akan memberi menfaat apa-apa baginya, bahkan bisa jadi justru sangat membahayakannya.

-  Anak yang lebih cerdas pada mulanya takut terhadap banyak hal disebabkan pertumbuhan daya serap dan pengamatannya terhadap lingkungan sekitarnya. Seiring pertambahan umur, ketakutan-ketakutan tidak rasional ini akan semakin menipis.

Ada jenis rasa takut yang biasa disebut dengan "phobia". Phobia ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:

o    Rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui;

o    Rasa takut terhadap kegagalan;

o    Rasa takut terhadap kematian yang berhubungan dengan ancaman.

Secara umum, phobia adalah rasa takut dari segala hal yang bukan merupakan ancaman nyata pada manusia pada waktu ia berada.

Apa Saja yang Ditakuti Oleh Anak?

Pada tahun pertama, secara mendasar, anak merasa takut terhadap suara-suara yang tinggi dan mendadak. Dari umur 2-5 tahun, pengaruh rasa takut ini akan bertambah dangan beragam jenisnya.

Anak juga takut terhadap tempat-tempat yang asing dan aneh, takut jatuh dari tempat yang tinggi, takut kepada orang asing, dan takut kepada hewan atau burung yang belum ia kenal. Ia juga takut terulangnya pengalaman-pengalaman yang menyakitkan, seperti pengobatan medis, operasi bedah, dan hal-hal yang ditakuti oleh orang dewasa di lingkungannya, baik ketakutan itu bersifat nyata, maupun ilusi dan khurafat. Anak juga takut kepada kegelapan, asap yang membubung dari api, monster (hantu), dan ancaman-ancaman dari sekelilingnya, seperti ungkapan: "Aku akan menyembelihmu", "Aku akan menyetrum badanmu", "Hantu menunggumu di tempat ini", dll.

Rasa Takut dan Percaya Diri

Sebagian anak merasa takut kepada begitu banyak hal. Mereka menderita kelemahan rasa percaya diri dan tidak pernah merasa aman dan tenteram. Terkadang perasaan itu juga disertai oleh munculnya ketakutan-ketakutan yang tidak realistis dan gejala-gejala lain, seperti tidak mampu berbicara, terbata-bata, tertutup, pemalu, depresi, pesimis, dan selalu merasa diancam bahaya.

Sebab-sebab Tidak Percaya Diri:

1.  Pendidikan yang salah pada anak usia dini, seperti perhatian atau pemanjaan yang berlebihan;

2.    Sikap orang tua membanding-bandingkan anak dengan anak-anak yang lain dengan tujuan mendorong dan memotivasinya, namun akhirnya justru menimbulkan hasil sebaliknya;

3.    Kritik, teguran, hinaan, dan pukulan;

4.    Pendidikan ketergantungan yang tidak mendorong anak untuk mengenal situasi-situasi kehidupan secara mandiri;

5.    Dominasi dan otoritas orangtua;

6.    Konflik orangtua dan suasana rumah tangga yang tidak harmonis;

7.  Kekurangan fisik (pincang, mata juling, terlalu jangkung, cebol, muka buruk, kegemukan, IQ rendah, dan nilai rendah);

8.  Hidup di lingkungan yang biasa mengalami tekanan psikologis, ketakutan, dan ketidakpercayaan diri;

9.    Kegagalan berulang kali.

Kiat Mencegah Rasa Takut:

1.    Menyelimuti anak dengan sentuhan kehangatan, kasih sayang, dan cinta, dengan tetap memperlihatkan ketegasan yang wajar (tidak ekstrem) dan fleksibel;

2.  Jika anak menghadapi sesuatu yang membuatnya takut, ibu jangan membantunya untuk sekedar melupakan hal itu, agar tidak justru menjadi ketakutan yang terpendam. Dengan memberi pengertian, ketenangan, dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membingungkannya akan dapat membebaskan dirinya dari ketakutan itu;

3.    Memupuk mental mandiri pada anak, yaitu dengan cara menghargainya, tidak mengejeknya, dan tidak membanding-bandingkannya dengan anak yang lain;

4.   Menciptakan suasana rumah tangga yang tenang dan harmonis, sehingga memenuhi kebutuhan psikologisnya;

5. Ketenangan sikap orangtua (tidak cemas dan panik) dalam berbagaisituasi, terutama ketika anak menderita sakit atau mengalami hal-hal yang tidak disukai, agar anak tidak meniru dan ikut serta dalam sikap seperti itu;

6.  Membantu anak menghadapi situasi-situasi menakutkan—tanpa memaksa atau mengkritik, serta memahamkannya tentang hakikat apa yang ia takuti itu dengan penuh kelembutan dan kasih sayang;

7.   Menjauhkan anak dari hal-hal yang menimbulkan rasa takut (cerita-cerita sedih, kisah-kisah menakutkan, khurafat, setan dan hantu, dll.);

8. Tidak berlebihan mendorong anak menjalankan ajaran Agama dan perilaku yang baik sehingga selalu menakut-nakutinya dengan neraka Jahanam dan Syetan. Ini bertujuan agar anak tidak semakin tertekan dan takut;

9.  Membantu anak memahami kehidupan dan hal-hal yang belum ia ketahui, serta menebarkan rasa aman dan ketenteraman dalam dirinya;

10.Membimbing anak untuk menjalani pengalaman-pengalaman menyenangkan, supaya ia terbiasa bertindak dengan penuh percaya diri tanpa rasa takut;

11.Menghilangkan kekhawatiran (berlebihan) orangtua terhadap anak, meminimalisir teguran, ejekan, dan pemanjaan yang berlebihan.

Cara Mengobati Rasa Takut:

1.    Menghilangkan rasa takut anak dengan menghubungkan apa yang ditakutinya dengan perasaan senang (menerapkan kaedah syarat secara terbalik);

2.    Menjalani psikoterapi dengan menyingkap rahasia rasa takut anak dan penyebab-penyebabnya, serta meluruskan pemahamannya;

3.   Terapi kolektif dengan cara memotivasi anak untuk bergabung bersama anak-anak yang lain dan menjalani interaksi sosial yang sehat;

4.  Mengobati berbagai kekhawatiran orang tua dan memperbaiki suasana rumah tangga;

5.   Kerjasama sekolah dengan orangtua dalam merawat anak-anak dan tidak menggunakan cara menakut-nakuti dan pemukulan di sekolah;

6.  Kewajiban ibu adalah selalu mengajarkan anaknya untuk takut kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, agar hati anak menjadi tenang, dan ketakwaan menjadi sifat yang melekat pada dirinya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal-(nya)." [QS. An-Nâzi`ât: 40-41]

Allah juga berfirman (yang artinya): "Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua Surga." [QS. Ar-Rahmân: 46]

Ibu juga harus mengajarkan anaknya untuk takut berbuat maksiat (dosa). Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Katakanlah: 'Sesungguhnya aku takut jika bermaksiat mendurhakai Tuhanku azab pada Hari yang besar." [QS. Al-An`âm: 25]

Akan tetapi ibu harus mewaspadai tindakan mengancam dan menakut-nakuti anak secara berlebihan dengan azab dan Neraka. Ibu harus menyadari bahwa rasa takut anak pada Allah saja pasti akan mencegahnya takut kepada selain-Nya.

Kelemahan Studi

Kelemahan studi adalah problem pendidikan dan sosial para murid di sekolah, yang membuat sedih para orangtua dan guru-guru. Problem ini merupakan salah satu masalah terpenting yang menjadi perhatian para praktisi pendidikan dan pengajaran di dunia, karena ia turut menentukan potensi sumber daya alam dan manusia di berbagai negara. Kadar pentingnya masalah ini akan semakin terlihat apabila kita mengetahui bahwa 20 dari 100 orang murid sekolah mengalami problem ini.

Yang dimaksud dengan kelemahan studi adalah minimnya tingkat prestasi belajar anak dibandingkan dengan rekan-rekan sekelasnya. Anak yang mengalami kelemahan studi adalah murid yang tingkat prestasi belajarnya di bawah rata-rata teman sebayanya, atau tingkat kecerdasannya kurang dari tingkat kecerdasan umum.

Tanda-tanda anak yang mengalami kelemahan studi:

Pertama, karakteristik mental (akal):

-      Tingkat kecerdasan di bawah rata-rata;

-   Ketidakmampuan untuk fokus dan konsentrasi, serta daya simpan otak yang lemah;

-   Lemahnya daya kemampuan untuk menyimpulkan, dan tidak sehatnya daya paham;

-     Terbatasnya kemampuan berpikir inovatif dan menyerap pelajaran;

-     Tidak mampu berpikir abstrak dan menggunakan simbol;

-    Gagal dalam proses perpindahan yang sistemik dari satu ide ke ide yang lain;

-    Prestasi secara umum di bawah rata-rata, serta lemah pada materi-materi tertentu.

Kedua, ciri dan karakter fisik:

-    Stres, tegang, dan malas;

-    Munculnya gerakan-gerakan gugup dan tegang;

-    Lemah kesehatan secara umum;

-   Kelemahan panca indra seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, dan pengecap.

Ketiga, ciri dan karakter emosional:

-    Ketidakseimbangan emosional, cemas, malas, dan bodoh;

-    Depresi dan fluktuasi emosional;

-    Perasaan bersalah, rendah diri, gagal, tidak berdaya, dan putus asa;

-    Cemburu, dendam, dan minder;

-    Tenggelam dalam lamunan, hanyut dalam pikiran kosong, dan nakal;

-    Menarik diri dari kehidupan sosial dan tertutup.

Keempat, karakter pribadi dan pergaulan sosial:

-  Kemampuan yang terbatas dalam mengarahkan diri atau beradaptasi dengan situasi baru atau situasi yang selalu berubah;

-    Menarik diri dari peristiwa-peristiwa kehidupan sosial, lalu menutup diri, suka menyendiri, tidak pro aktif, dan menyimpang.

Sebab-sebab Kelemahan Studi:

Ada beberapa faktor yang erat kaitannya dengan kelemahan studi ini. Sebagian berkaitan dengan anak itu sendiri, dan sebagian berkaitan dengan sekolah atau rumah, di samping faktor-faktor lain yang turut mendorong timbulnya problem ini.

Pertama: Faktor-faktor yang berhubungan dengan anak:

(1) Faktor mentalitas: Maksudnya adalah lemahnya kecerdasan si anak secara umum. Ini merupakan salah satu faktor terkuat munculnya kelemahan studi;

(2) Faktor fisik: Maksudnya adalah gangguan pertumbuhan fisik, struktur fisik yang lemah, gangguan kesehatan secara umum, penyakit-penyakit parasit menahun, gangguan sekresi kelenjar, serta cacat fisik seperti plus atau minus penglihatan dan buta warna. Di samping kasus-kasus gangguan pada lidah dan organ-organ bicara yang menyebabkan kesulitan berbahasa;

(3) Faktor emosional: Misalnya rasa malu yang berlebihan, kecemasan, dan ketidakstabilan diri.

Kedua: Faktor-faktor yang berhubungan dengan sekolah:

-      Buruknya sistem distribusi siswa di kelas-kelas dengan tanpa mempertimbangkan kesepadanan dan kesamaan dalam membagi mereka;

-      Tidak disiplin dalam belajar-mengajar, misalnya dengan sering absen dan terlambat;

-      Seringnya terjadi perpindahan guru-guru dan tidak tetapnya keberadaan para pengajar;

-      Manajemen yang diktator dan sistem organisasi yang buruk di sekolah;

-      Cara mengajar dan kurikulum yang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan modern, serta kurangnya kesadaran akan perbedaan individual antar siswa.

Ketiga: Faktor-faktor yang berhubungan dengan keluarga, di antaranya:

-      Kemampuan ekonomi keluarga sebagai faktor yang memainkan peran penting atas kelemahan atau kekuatan studi anak;

-      Tingkat wawasan keluarga. Misalnya, anak tinggal di dalam keluarga yang tidak memperhatikan masalah pendidikan, di samping tidak tersedianya suasana belajar yang mendukung;

-      Suasana internal rumah. Maksudnya adalah banyaknya pertengkaran dan konflik dalam kehidupan rumah tangga, adanya kediktatoran orangtua, pembedaan cara interaksi antara satu anak dengan anak yang lain, ayah tiri atau ibu tiri yang kejam, pemanjaan atau pengabaian, hukuman yang terus menerus, jauh dari penanaman nilai-nilai Agama, dan lain-lain. Semua ini dapat menghadirkan kekhawatiran dan tekanan yang akan mempengaruhi kehidupan anak, dan pada gilirannya menyebabkan kelemahan studi.

Keempat: Faktor-faktor lain yang mendorong munculnya kelemahan studi:

Ada beberapa faktor lain yang turut bersaham mendorong terjadinya kelemahan studi anak, seperti hilangnya keseimbangan emosional, tingkat wawasan yang rendah di dalam keluarga, tidak disiplin menghadiri pelajaran di sekolah, dan ekonomi keluarga yang sulit.

Mengobati Masalah Kelemahan Studi

1. Peran Sekolah

Sekolah memiliki peran penting dalam mengatasi masalah kelemahan studi ini, yaitu melalui:

-      Memperhatikan faktor perbedaan individual antar siswa;

-      Mengurangi jumlah murid di kelas-kelas yang memiliki tingkat keilmuan rendah, dibarengi dengan menambah jumlah guru;

-      Menghapus mata pelajaran yang tidak sesuai dengan nalar dan persepsi anak;

-      Memberikan perhatian lebih terhadap usaha memberikan arahan tarbiyah dan mempersiapkan guru-guru secara lebih baik;

-      Berupaya mempersempit kesenjangan antara kajian teoritis dengan realitas masyarakat;

-      Memberikan perhatian kepada aspek-aspek sosial dan berusaha memecahkan berbagai kesulitan yang dialami oleh anak-anak penderita kelemahan studi;

-      Memberikan perhatian terhadap kurikulum, metode pengajaran, dan alat bantu mengajar;

-      Memberikan perhatian terhadap aspek kesehatan murid, dan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap mereka;

-      Sekolah harus menciptakan suasana belajar yang baik sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan minat siswa, serta berusaha memperbanyak variasi aktivitas favorit mereka;

-      Memberikan izin kepada para siswa untuk berlatih berbagai kegiatan di dalam kelas atau di halaman sekolah di tengah udara segar dan sinar matahari yang cerah pada beberapa kesempatan, dengan menyediakan beberapa permainan mendidik yang bermanfaat bagi mereka;

-      Cara pengobatan terhadap masalah kelemahan studi ini berbeda-beda tergantung pada sebab terjadinya. Jika sebabnya adalah kelemahan vitalitas anak, maka pengobatannya harus diserahkan kepada dokter sekolah atau unit pengobatan. Jika sebabnya adalah kelemahan penglihatan, maka pengobatannya juga harus diserahkan kepada dokter spesialis dalam bidang itu, dan anak harus duduk di dekat papan tulis (bangku paling depan).

-      Tapi jika penyebabnya adalah terperamen anak yang tidak sehat atau faktor-faktor psikologis, maka pengobatannya harus dilakukan dengan meminta bantuan klinik psikologis, dan akan lebih baik jika ada pembimbing khusus kejiwaan di setiap sekolah untuk membantu para guru;

-      Ada beberapa kasus kelemahan studi ini disebabkan oleh guru, misalnya karena metode mengajarnya yang tidak benar, sikapnya yang terlalu keras, atau suasa kelas yang terlalu sesak sehingga murid tidak mampu mengambil manfaat dari sang guru. Oleh karena itu, para guru harus mengembangkan metode mengajar mereka, memahami kejiwaan dan problem murid-murid, serta menyiapkan kartu catatan khusus untuk masing-masing murid, berisi kasus dan problem mereka sekaligus cara pengobatan yang sesuai.

Dalam beberapa kasus, dianjurkan membentuk kelompok belajar bagi para siswa yang mengalami masalah ini, guna mengejar ketertinggalan mereka, baik karena sakit maupun karena absen belajar.

2. Peran Keluarga

Adapun peran ibu dan keluarga dalam mengobati masalah kelemahan studi ini dapat dilihat pada poin-poin berikut:

-      Berusaha mengembangkan kecerdasan intelektual anak;

-      Memperhatikan kesehatan anak;

-      Memperhatikan gizi anak dengan baik;

-      Berusaha menyingkirkan tekanan mental yang diderita oleh anak, serta memperbaiki hubungannya dengan masyarakat dan orang-orang di sekelilingnya;

-      Berusaha membersihkan suasana keluarga tempat anak dibesarkan dari berbagai konflik dan pertengkaran, serta mengembangkan rasa aman dan tenang di dalam dirinya;

-      Mengawasi perkembangan anak dengan mengunjunginya di kelas, memeriksa buku-buku pelajaran dan buku tulisnya, serta memperhatikan prestasi studinya;

-      Berusaha menyemangati anak untuk sekolah dan belajar.

Agresif

Sikap agresif pada satu sisi mungkin diperlukan dalam kehidupan manusia dan demi kelangsungan hidupnya. Sikap agresif berfungsi sebagai senjata untuk membela diri menghadapi alam dan manusia lain. Agresif yang dimaksud di sini adalah melakukan tindakan keras secara fisik kepada orang lain, atau menampilkan sikap-sikap tidak bersahabat secara mental (non-fisik). Secara lebih konkrit, agresif berarti upaya untuk merusak milik orang lain. Ia juga bisa didefinisikan sebagai sebuah perilaku sosial yang tidak baik, bertujuan mewujudkan keinginan pemiliknya untuk menguasai orang lain.

Jadi, agresif berarti perilaku tidak sehat yang mengarah kepada tindakan mengganggu, menyakiti, dan membahayakan orang lain. Jika kita lihat dari sisi positifnya, kita menemukan bahwa perilaku ini merupakan cara anak untuk membuktikan eksistensinya, serta dianggap sebagai ganti dari rasa frustrasi yang dialami oleh anak yang agresif itu.

Sikap agresif memiliki banyak bentuk, dan dampaknya terkadang pasif dan terkadang aktif. Sikap agresif yang pasif mengarah kepada pribadi (anak itu sendiri), sehingga anak menjadi keras kepala dan tidak mau bekerja sama. Berbeda dengan sikap agresif yang aktif di mana anak mengarahkan gangguannya kepada orang lain atau berusaha merusak barang milik orang lain.

Dilihat dari segi energinya, sikap agresif dapat bersifat terbuka atau terpendam. Sikap agresif terbuka langsung tertuang kepada objeknya dangan bentuk dan tingkat bahaya yang beragam (seperti menyerang, berkelahi, mengucapkan kata-kata penghinaan, dll.). Adapun sikap agresif yang terpendam berada tersembunyi di alam bawah sadar, dan terkadang dilampiaskan dengan cara-cara yang tidak langsung.

Dilihat dari segi ekspresinya, sikap agresif dapat diekspresikan secara fisik dan dapat juga secara lisan. Agresivitas secara fisik adalah serangan terhadap orang lain dengan menggunakan tangan atau sejenisnya, atau dengan merusak barang milik orang lain. Sementara agresivitas lisan diekspresikan melalui kata-kata, seperti penghinaan, ejekan, dan perang mulut.

Perkelahian fisik antar anak-anak dapat terlihat ketika salah seorang dari mereka merusak atau berusaha merebut mainan temannya. Hal ini banyak terjadi pada anak laki-laki, sementara di kalangan anak-anak perempuan hanya berbentuk perang mulut dan pertengkaran. Dan ini berguna untuk mengembangkan kemampuan bahasanya guna mengekspresikan perasaan marah dan kesedihannya.

Faktor-faktor Penyebab Agresivitas

Ada banyak faktor yang menyebabkan sikap agresif pada anak, di antaranya:

-      Hilangnya rasa aman akibat merasakan kekurangan dan frustrasi;

-      Adanya ancaman dan penghinaan terhadap dirinya, serta merasa tidak dihargai;

-      Problem keluarga;

-      Cacat fisik;

-      Perlindungan dan pemanjaan yang berlebihan;

-      Kemarahan orang tua hanya karena alasan sepele;

-      Ketiadaan atau kelangkaan kesempatan untuk berekspresi;

-      Tidak adanya kebebasan atau adanya pengekangan gerak;

-      Hilang atau tidak berjalannya otoritas pengontrol;

-      Perubahan atau banyaknya otoritas pengontrol;

-      Pengembangan cikal-bakal sikap agresivitas secara tidak langsung, dengan cara mengabaikannya atau malas mengobatinya;

-      Kebencian berlebihan atau cemburu;

-      Pendidikan dan pengajaran yang salah.

Cara Mendeteksi Sikap Agresif

Mengidentifikasi kecenderungan agresif anak dapat dilakukan melalui metode-metode berikut:

-      Memperhatikan anak saat bermain dengan boneka, atau melalui gambar-gambar yang dibuatnya;

-      Melalui kisah-kisah yang diceritakan oleh anak dalam menanggapi serangkaian gambar yang ditunjukkan kepadanya;

-      Memperhatikan bentuk-bentuk ekspresi dari sikap agresif. Dan ini sangatlah banyak, di antaranya melalui wajah, tangan, kaki, lidah, berontak dan tidak patuh, keras kepala dan melawan, gagal dalam studi, atau khianat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Agresif

Ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku agresif pada anak, di antaranya ada yang berasal dari kepribadian anak itu sendiri, seperti faktor usia, teman, kecerdasan, pendidikan, standar kehidupannya, serta karakter psikologis dan sosialnya. Ada juga faktor yang berasal dari keluarga, seperti profesi dan kesibukan orangtua, di samping hubungan keluarga yang rapuh. Selain itu, ada juga faktor eksternal, seperti media massa dengan berbagai bentuknya.

Terkadang perilaku agresif ini tampak ketika ibu tidak ada di rumah. Saat itu, anak merasa takut, lalu berteriak untuk mengekspresikan diri dan eksistensinya. Anak memang banyak berbicara guna memproklamirkan eksistensinya, dan untuk menarik perhatian orang lain.

Perilaku agresif juga merupakan cara anak untuk mewujudkan kemampuan dirinya serta menegaskan keakuannya. Dan ini adalah karakter asasi yang dibutuhkan oleh manusia. Ketiadaannya akan menghadapkan manusia kepada kegagalan dalam mewujudkan keberadaan diri dan potensinya.

Perilaku agresif kadangkala merupakan latihan bagi anak supaya ia siap pada waktu yang tepat untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan eksistensinya, sekaligus menegaskan keakuannya. Perilaku agresif ini terkadang juga merupakan bentuk perlawanan terhadap kenyataan. Misalnya perlawanan seseorang untuk menyingkap hakikat berbagai perilakunya yang negatif. Dan perlawanan itu ia ekspresikan dalam bentuk perilaku agresif secara terbuka.

Perilaku agresif terkadang disebabkan oleh kebutuhan anak akan kebebasan. Artinya, anak memberontak untuk mendapatkan kebebasan, dan itu ia wujudkan melalui sikap keras kepala, pelanggaran, tidak mau makan, merusak, dll.

Selain itu, perlu dicatat juga bahwa aktivitas anak-anak menonton film-film kekerasan di media massa secara signifikan sangat mempengaruhi perilaku mereka.

Seorang anak yang merasa orangtuanya memperhatikan dirinya akan berhasil beradaptasi dengan lingkungan. Berbeda dengan anak yang tidak merasa diperhatikan oleh orangtuanya, ia cenderung berperilaku agresif. Artinya, perhatian orangtua terhadap anak memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan sikap agresif, sebagaimana sikap tidak perhatian orangtua memberikan angin positif untuk kemunculan sikap agresif anak.

Mengobati Masalah Agresivitas Anak

Seorang ibu harus mengetahui alasan-alasan sejati yang menyebabkan terbentuknya perilaku agresif pada anak-anak. Ibu harus mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana Islam menyikapi perilaku yang tidak baik ini. Islam mengharamkan segala bentuk perilaku agresif yang jahat. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Janganlah kalian melampaui batas (berprilaku jahat/berbuat zalim), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." [QS. Al-Baqarah: 190]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga mengharamkan segala bentuk kerjasama dalam melakukan kejahatan. Dia berfirman (yang artinya): "Dan tolong-menolonglah (bekerjasamalah) kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." [QS. Al-Mâ'idah: 2]:

Ibu harus mengajarkan kepada anaknya bagaimana mencintai sesama, karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ibu harus melatih anak-anaknya untuk suka memberi, sekaligus membantu mereka agar gemar berbagi hadiah. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai." [HR. Abu Ya'lâ]. Begitu seterusnya, ibu harus memperkenalkan akhlak-akhlak lain yang berlawanan dengan perilaku agresif pada anak kecil, sekaligus membuat anaknya membenci perilaku agresif.

Bohong

Bohong adalah penyakit berbahaya yang apabila merajalela akan meninggalkan dampak sangat buruk di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam menganggapnya sebagai salah satu sifat orang-orang munafik. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Ada empat hal (sifat) yang apabila ada pada seseorang, berarti ia adalah seorang munafik sejati. Barang siapa yang dalam dirinya terdapat satu dari empat sifat itu, berarti ia memiliki salah satu sifat munafik, sampai ia meninggalkannya, yaitu: Apabila dipercaya ia khianat, apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila ia bermusuhan (berperkara) ia berbohong." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Anak belajar kejujuran dari orang-orang sekitarnya yang perhatian terhadap kejujuran ucapan, tingkah laku, dan janji mereka. Anak yang tinggal di rumah yang berhias kebohongan sudah pasti akan belajar bohong dengan mudah. Terutama jika ia memiliki kemampuan retorika yang baik, dan mempunyai kesuburan imajinasi. Karena anak memang biasa meniru apa yang ada di sekelilingnya. Bila demikian situasinya, ia pasti akan membiasakan diri berbohong sejak kecil.

Bohong adalah perilaku yang didapat melalui proses, bukan perilaku warisan (genetik). Perilaku bohong pada anak-anak memiliki ragam dan variasi yang banyak, sesuai dengan sebab-sebab yang mendorongnya untuk berbohong. Di antara ragamnya adalah sebagai berikut:

Bohong Fantasi

Anak kecil tidak dapat membedakan antara realita dan fantasi. Oleh karena itu, perkataannya sangat dekat dengan main-main. Ia berbicara seolah-olah sedang bermain dan berhibur. Ucapan-ucapannya merupakan ekspresi dari impian masa kecilnya atau apa yang disebut dengan lamunan, sebagai cerminan dari keinginan dan khayalannya yang sulit untuk dinyatakan dalam realita.

Jenis fantasi seperti ini tidak termasuk kategori bohong, serta tidak mengindikasikan adalanya penyimpangan perilaku atau ketidakstabilan jiwa. Terkadang anak yang berumur empat tahun menciptakan dongeng fiktif, karena pikiran-pikirannya bercampur-baur satu sama lain, sehingga ia tidak bisa membedakan antara yang benar dengan yang salah, antara realita dengan fiksi. Dongeng yang ia ceritakan ini tidak perlu dianggap sebagai sebuah kebohongan yang biasa kita kenal, karena imajinasinya mampu membuat sebuah fantasi menjadi kenyataan.

Bohong dalam Pengakuan

Terkadang anak menderita perasaan rendah diri yang mendorongnya untuk berusaha mengatasinya dengan berbohong. Ia pun kemudian berbicara berlebihan tentang hal-hal yang dimilikinya, serta tentang sifat-sifatnya dan sifat anggota keluarganya. Sikap seperti ini terkadang membuatnya mendapat kedudukan dan nilai di tengah teman-temannya.

Sebagai contoh: Si anak mengaku bahwa ia memiliki mainan yang sangat besar, dan ia berusaha mendeskripsikannya secara berlebihan. Ia mengklaim dan membanggakan diri dengan mainan yang dimilikinya. Perilaku bohong semacam ini tidaklah berbahaya. Dan seorang ibu boleh jadi melihat pemandangan seperti ini berulangkali pada anaknya. Anak juga kadang menggunakan cara ini ketika ingin menarik perhatian ibunya atau anggota keluarganya. Ia pun misalnya mengaku sakit supaya mendapatkan cukup simpati dari orangtuanya.

Bentuk lain dari perilaku bohong semacam ini adalah: Ibu melihat anaknya menuduh anak lain memukul dan menyakitinya. Di sini, ibu harus segera mengatasi penyebab-penyebab psikologis yang menyebabkan terjadinya hal itu.

Berbohong karena Takut Hukuman

Ini adalah bentuk perilaku bohong yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Terkadang seorang anak memecahkan mainan adiknya secara tidak sengaja. Jika ia ditanya tentang hal itu, ia akan membantah habis-habisan. Dalam menghadapi kasus semacam ini, adalah keliru bila kita berbuat kasar kepada anak, karena hal itu tidak akan membuatnya mengakui kesalahannya. Jika kita ingin anak mengakui kesalahannya, kita harus membantunya untuk berani mengaku. Caranya mungkin dengan berkata kepadanya: "Mainan itu telah pecah. Apakah gerangan yang tadi terjadi padanya?" Kata-kata seperti akan membantu anak mengaku dengan mudah: "Aku yang memecahkannya. Aku minta maaf." Ini jauh lebih baik daripada Anda mengatakan: "Engkau yang memecahkan mainan ini, ayo mengaku anak nakal"!"

Dan ketika anak mengaku bahwa ia melakukan sebuah kesalahan, ia tidak harus dihukum dengan hukuman yang berat, supaya ia tidak terdorong untuk berbohong pada waktu berikutnya.

Bohong karena Balas Dendam dan Benci

Dalam jenis ini, anak berbohong untuk menyalahkan seseorang yang ia benci atau ia cemburui. Bohong seperti ini dilakukan oleh anak untuk melampiaskan kebencian yang terpendam pada dirinya terhadap anak lain yang ia benci.

Sebagai contoh: Seorang anak yang sangat cemburu terhadap saudaranya akan terdorong untuk membayangkan bahwa sebuah kecelakaan besar terjadi pada saudaranya, hanya ketika melihat saudaranya itu terjatuh saat berlari misalnya. Ketika itu, ia mungkin akan berlari menuju ibunya dengan mambawa cerita khayalannya bahwa saudaranya terluka parah dan pingsan dengan darah mengalir dari tubuhnya.

Bila ibu menemukan sikap berlebihan semacam ini janganlah ibu menghukum si anak atau menyebutnya berbohong. Tapi cukuplah ibu mengatakan kepada si anak: "Engkau mengkhawatirkan saudaramu sampai seperti ini? Alhamdulillâh, ia tidak terluka seperti yang engkau jelaskan. Ia hanya terluka ringan. Sekarang bantu ibu untuk membersihkan lukanya." Bohong semacam ini berbahaya bagi kesehatan mental anak, dan mungkin merupakan gejala kondisi psikologis yang sakit.

Bohong Imitasi (Meniru)

Anak-anak belajar banyak hal dengan mengamati perilaku orang dewasa, terutama orangtua mereka. Karena itu, teladan merupakan sarana pendidikan yang sangat efektif. Ibu tidak boleh berbohong kepada anak dengan dalih agar anaknya berhenti menangis misalnya. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah memperingatkan kepada para pendidik dan orang tua agar jangan berbohong di depan anak-anak mereka, walau untuk tujuan mengalihkan perhatian atau membujuk. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abdullan ibnu 'Âmir—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Suatu hari, ibuku memanggilku sementara Rasulullah sedang duduk di rumah kami. Ibuku berkata, '"Kemari, aku mau memberimu sesuatu'". Lalu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda kepada ibuku, '"Apa yang ingin engkau berikan kepadanya"?' Ibuku menjawab, '"Aku ingin memberinya kurma'". Rasulullah pun bersabda, '"Ketahuilah bahwa jika engkau tidak memberinya sesuatu maka tercatatlah bagimu sebuah kebohongan'." [HR. Abû Dâwûd]

Seringkali para orangtua menipu anak-anak mereka dengan berbohong tentang banyak hal. Kemudian anak pun meniru dan melakukan perilaku yang sama dalam hidup mereka. Contoh: Ibu berjanji kepada anak bahwa ia akan membawanya untuk mengunjungi pamannya, kemudian si anak pun berangkat bersama ibunya, tapi tiba-tiba ia terkejut karena sang ibu justru membawanya ke dokter. Atau seseorang datang menanyakan di mana ayah, lalu ibu menjawab ayah tidak ada, padahal si ayah duduk di depan anaknya. Oleh karena itu, bohong seperti ini disebut dengan "bohong inspirasi".

Bohong Kronis

Dalam jenis ini, anak tergerak untuk berbohong tanpa ia sadari. Bohong sudah menjadi kebiasaan yang selalu menyertainya dalam sebagian besar waktunya. Anak yang berperilaku bohong semacam ini seringkali gagal di sekolahnya. Ia juga tidak mendapat penerimaan dari keluarga dan teman-temannya karena dikenal sebagai pembohong. Karena itu, untuk mewujudkan eksistensi dirinya dan menutupi perasaan rendah diri yang dideritanya, anak terkadang terpaksa mencuri guna meraih sedikit bentuk kesuksesan.

Mengobati Perilaku Bohong

Jika kita ingin mengobati sikap bohong pada diri anak-anak, maka kita harus mempelajari setiap kasus secara terpisah dan mengetahui motif terjadinya kebohongan itu. Sangat penting menjadikan usia anak sebagai pertimbangan. Jika umur anak kurang dari empat tahun, ibu tidak perlu khawatir terhadap apa yang digambarkan oleh imajinasinya, dan segeralah membantu anak untuk menyadari perbedaan antara realita dan fantasi.

Ibu harus menjadi panutan bagi anak dalam hal ini; jangan berkata-kata kecuali dengan jujur, jangan berbohong kepada anak supaya ia tidak belajar berbohong, sehingga kemudian menjadi seorang pendusta. Ibu juga harus menyadari bahwa tidak ada gunanya mengobati penyakit bohong pada anak dengan ancaman, ejekan, dan hukuman. Semua itu tidak ada efeknya bagi anak, dan tidak akan menghentikannya berbohong. Bahkan anak justru akan semakin melawan dan terus-menerus berbohong.

Ibu dan semua anggota keluarga yang lain harus memenuhi kebutuhan psikologis anak dan menerangkan kepadanya tentang pentingnya sikap amanah dan kejujuran dalam segala yang kita ucapkan dan lakukan. Kita hendaknya memang senantiasa mendorong anak agar berlaku jujur dan amanah. Sementara itu, ibu terutama sekali harus menciptakan iklim saling percaya antara dirinya dengan anak, serta memotivasi anak untuk senantiasa jujur, dan memberikan hadiah untuk itu.

Tidak diragukan lagi, bahwa perilaku bohong tidak akan menyelinap masuk ke dalam keluarga yang dipenuhi oleh nuansa kejujuran. Yang sangat berbahaya adalah jika anggota keluarga yang dewasa terus-menerus setiap hari berkata bohong di hadapan anak-anak.

Ibu harus memperhatikan beberapa hal yang dapat membantunya menanamkan nilai kejujuran pada anaknya.

Misalnya, ibu jangan menyuruh anaknya menyembunyikan sesuatu dari ayahnya dengan alasan bahwa ayah suka marah, dan hukuman yang akan diberikannya akan sangat kejam. Jangan membiasakan anak untuk berbohong, seperti mengatakan: "Jika si Fulan menelpon ibu, bilang kepadanya bahwa ibu tidak ada, karena ibu tidak punya waktu untuk berbicara dengannya." Jangan mengajarkan anak berbohong kepada guru-gurunya. Misalnya, ibu hendak mengajak anak piknik, lalu meminta sang anak untuk memberitahu kepada gurunya bahwa ia sedang sakit.

Gangguan Tidur

Kebutuhan anak untuk tidur adalah kebutuhan yang alami. Pada bulan pertama, anak menghabiskan waktu untuk tidur kurang lebih 20 jam dalam sehari. Dan itu akan terus menurun hingga sampai 16 jam atau kurang, pada fase akhir enam bulan pertama usianya. Kemudian waktu tidur ini akan menurun secara bertahap hingga 12 jam pada usia empat tahun, dan hampir menjadi 9 atau 10 jam pada masa pubertas, lalu berkurang lagi menjadi sekitar 8 jam setelah masa itu.

Jumlah jam tidur manusia sejalan dengan kondisi fisiknya (kondisi kesehatannya secara umum dan asupan gizi), juga kondisi psikologisnya, apakah tenang atau terganggu. Selain itu, jam tidur juga dipengaruhi oleh suasana di mana ia tidur, seperti ventilasi udara, kelembaban yang tinggi, dan seterusnya.

Dalam banyak kasus, anak tidur tidak nyaman dan mengalami masalah kurang tidur. Di antara efek kurang tidur pada anak adalah: depresi, ledakan kemarahan, malas, lemahnya kemampuan berkonsentrasi, tidak stabil, kehilangan keseimbangan gerak, serta peningkatan indikasi ketegangan saraf di hari-hari anak tidak cukup tidur; seperti gagap, mengisap jari, dan menggigit kuku.

Sebab-sebab Kesulitan Tidur pada Anak

Sebab-sebab Non-penyakit: Misalnya, karena keberadaan serangga kamar seperti nyamuk dan kepinding, pencahayaan ruangan yang sangat terang sehingga mengganggu saraf anak dan mencegahnya untuk tidur, selimut yang terlalu tebal pada musim panas atau terlalu tipis pada musim dingin, atau pakaian yang terlalu sempit untuk tubuh anak, terutama sabuk pinggang. Selain itu, juga misalnya dikarenakan anak merasa lapar, atau belum diganti pakaiannya setelah buang air kecil atau besar.

Sebab-sebab Emosional: Misalnya, anak kehilangan rasa aman, tidak terlihatnya orang yang ia sukai, anak dipaksa tidur, atau segera menghentikan kesenangan anak ketika tiba waktu tidur.

Sebab-sebab yang Bersifat Penyakit: Seperti gangguan pencernaan, sembelit, makan berlebihan sebelum tidur, dan gangguan kelenjar gondok atau cacingan.

Ada banyak masalah lain yang juga berhubungan dengan tidur anak, di antaranya yang terpenting:

-      Kurangnya kemampuan anak untuk berpindah dari kondisi terjaga kepada kondisi tidur kecuali dengan bantuan luar, seperti jika ibu menggendongnya, mengayunnya, atau berbaring di sampingnya sampai ia tertidur, atau anak menghisap jari-jarinya;

-      Suka mengganggu anak ketika tidur karena hal-hal sepele, seperti mengajaknya bermain, atau supaya dilihat oleh tamu;

-      Banyaknya permintaan anak ketika hendak tidur, seperti makan, bermain, atau dimanjakan.

Peran Ibu dalam Mengobati Gangguan Tidur Anak:

-      Hindari menjadikan tidur sebagai sebuah hukuman. Mengancam anak dengan tidur cepat akan menciptakan perasaan negatif pada anak;

-      Bersikaplah secara alami dan tenang menghadapi tidur anak;

-      Jangan khawatir atau tegang jika anak menolak untuk tidur;

-      Memperhatikan kondisi anak sebelum tidur. Anak harus merasa tenang dan bahagia sebelum tidur. Tidaklah bijak mencegah anak bermain secara mendadak lalu menggiringnya untuk tidur misalnya. Akan lebih bagus jika ibu memperingati anak terlebih dahulu dan memberinya waktu yang cukup untuk beranjak ke tempat tidur;

-      Mematuhi aturan tertentu untuk tidur, supaya anak terbiasa melakukannya;

-      Harus membiasakan anak tidur di ranjang terpisah. Dan secara umum, anak tidak boleh tidur di kamar orangtuanya setelah berusia satu tahun setengah, karena hal itu bisa saja iamembuatnya merasakan ketidaknyamanan psikologis;

-      Membacakan cerita untuk anak sebelum tidur. Dengan catatan, cerita-cerita yang diberikan hendaknya ringan dan beralur tenang, jauh dari hal-hal yang menakutkan, sehingga membantu anak untuk tidur;

-      Memastikan bahwa anak tidak mengalami kesulitan pencernaan atau menderita penyakit apa pun;

-      Tidak menakut-nakuti anak untuk memaksanya tidur atau meneruskan tidurnya jika ia bangun di malam hari. Karena kita menemukan sebagian ibu menakut-nakuti anak mereka dalam kondisi seperti ini dengan hantu, kucing, atau yang lainnya.

Mengompol

Banyak ibu yang merasa khawatir ketika menyaksikan anak-anak mereka yang sudah berumur lebih dari empat tahun belum mampu mengontrol buang air kecil mereka. Pada kenyataannya, anak dapat mengontrol proses buang air kecilnya di siang hari pada umur delapan belas bulan. Adapun buang air kecil di malam hari, anak biasanya baru mampu mengontrolnya pada periode antara pertengahan hingga akhir tahun ke tiga dari usianya (usia 2,5 - 3 tahun).

Mengompol bagi anak adalah hal yang normal sampai usia tiga tahun. Tapi ketika anak telah melewati usia ini, mengompol menjadi sebuah masalah yang harus ditangani.

Penyebab Mengompol pada Anak

Fenomena mengompol pada anak disebabkan oleh faktor-faktor organ tubuh dan faktor-faktor psikologis.

1. Faktor-faktor terkait organ tubuh, di antaranya:

-      Penyakit pada sistem urin, seperti infeksi kandung kemih atau radang saluran kencing bagian luar;

-      Membesarnya amandel dan adanya daging tumbuh di belakang hidung;

-      Gangguan atau alergi organ saraf;

-      Sembelit kronis dan pencernaan yang buruk;

-      Kurangnya volume cairan di dalam tubuh yang mengakibatkan pemusatan urin dan meningkatnya kadar asam pada air seni;

-      Kelemahan mental atau idiot pada anak;

2. Faktor-faktor psikologis, di antaranya:

-      Hilangnya perasaan aman dalam diri anak karena cara ia diperlakukan di rumah atau di sekolah, atau akibat dari kondisi lingkungan yang bermasalah di mana ia tinggal, atau adanya rasa takut terhadap hewan atau kisah-kisah yang menakutkan;

-      Perasaan cemburu yang sangat berat pada diri anak, sehingga ia sengaja mengompol guna mendapat perhatian;

-      Kekerasan berlebihan dalam memperlakukan anak;

-      Anak tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang, sehingga ia menjadikan kebiasaan mengompol sebagai siasat bawah sadar yang membantunya meraih perhatian ibu untuk memenuhi semua keinginannya.

Faktor-faktor Lain:

Kurangnya peran ibu dalam menanamkan kebiasaan baik dalam diri anak-anak mereka, serta menjauhkan mereka dari kebiasaan buruk. Di samping juga kurangnya perhatian ibu terhadap masalah mengompol pada anaknya.

Cara Mengobati Kebiasaan Mengompol

Kebiasaan mengompol dapat diobati dengan beberapa cara, di antaranya:

-      Tes medis menyeluruh terhadap anak. Jika penyebabnya ternyata adalah faktor organ tubuh, maka harus segera diobati;

-      Menghindarkan zat-zat cairan dari makanan anak pada malam hari, serta menjauhkan anak dari makanan yang berbumbu banyak;

-      Melatih anak melakukan kebiasaan sehat dan cara mengontrol buang air kecil;

-      Tidak memaki atau mengejek anak di depan teman-temannya, karena hal itu akan menimbulkan rasa minder pada anak. Ibu di rumah dan guru di sekolah juga hendaknya tidak menghukum atau mencela anak atas apa yang ia derita, tetapi anak harus dibuat tidak merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan besar, karena hal itu hanya akan memperburuk kondisinya;

-      Hendaknya para ibu melakukan inspeksi pada malam hari untuk mengetahui waktu kapan si anak mengompol. Jika waktu itu sudah diketahui, ibu harus segera membangunkan si anak dan mengingatkannya untuk pergi ke toilet pada waktunya;

-      Memotivasi anak dengan segala cara untuk menahan diri dari mengompol.

Secara umum, para ibu memang harus segera mengobati kebiasaan mengompol ini, karena ada banyak masalah lain yang terkait dengannya. Kebiasaan mengompol ini sering disertai gejala-gejala psikologis yang timbul dari rasa rendah diri dan kurang percaya diri. Gejala-gejala ini muncul dalam beberapa bentuk, di antaranya: kegagalan studi, malu, merasa hina, kecenderungan untuk menyendiri, dan gagap. Atau gejala-gejala pelampiasan, seperti keras kepala dan gemar merusak, kecenderungan untuk membalas dendam, banyak mengkritik, dan cepat marah. Selain itu, dalam banyak kasus, kebiasaan mengompol sering disertai dengan gangguan tidur, mimpi buruk, dan panik pada malam hari.

Problem Berbicara

Di antara masalah yang sering menghantui kaum ibu adalah gangguan/penyakit berbicara pada anak mereka yang dapat mempengaruhi karakter anak sekaligus mengancam masa depannya. Di antara gejala terpenting dari penyakit berbicara pada anak-anak adalah:

-      Terlambatnya anak mampu berbicara dan minimnya jumlah kata-kata yang dapat diucapkannya;

-      Bisu atau ketidakmampuan untuk berbicara;

-      Berbicara kekanak-kanakan (tidak sempurna mengucapkan kata-kata) dan berbicara dengan tegang;

-      Pergantian bunyi huruf dalam berbicara ''serta kelainan suara ucapan;

-      Kekuranglancaran lidah dalam berbicara, seperti penyakit gagap;

-      Kecepatan berlebihan dalam berbicara sehingga mengakibatkan hilangnya bunyi huruf, percampuran bunyi, terhapusnya kata-kata, dan lain-lain;

-      Kelainan dalam mengucapkan kata-kata, seperti suara sengau akibat kelainan bawaan pada langit-langit tenggorokan;

-      Kehilangan histris pada suara dan ketidakmampuan berbicara akibat trauma terhadap beberapa situasi sulit.

Semua gejala ini seringkali disertai oleh gejala-gejala motorik, seperti gerakan bahu, dua tangan, tekanan kedua kaki pada tanah, getaran bulu mata dan kelopak mata, juluran lidah, serta kecondong kepala ke depan atau ke arah mana pun. Juga sering disertai gejala-gejala psikologis seperti kecemasan, kehilangan rasa percaya diri, malu, suka menyendiri, dan buruknya kemampuan adaptasi.

Ada sekumpulan faktor yang membantu munculnya berbagai kesulitan bicara. Di antaranya ada yang terkait kelainan organ tubuh, ada yang terkait faktor psikologis, ada yang terkait faktor keturunan (genetik), dan ada juga yang terkait faktor tradisi dan lingkungan.

Pertama: Faktor Kelainan Organ Tubuh:

-      Gangguan saraf pengontrol kemampuan berbicara;

-      Gangguan pada pusat saraf retorika di dalam otak, akibat terjadinya kerusakan, perdarahan, atau pembengkakan;

-      Kerusakan sistem saraf pusat yang mengendalikan proses berbicara;

-      Kelainan pada organ bicara (langit-langit, lidah, gigi, bibir, dan rahang);

-      Kelainan pada organ pendengaran yang menjadikan anak tidak mampu menyerap suara kata-kata secara benar, sehingga nantinya berpengaruh pada caranya mengucapkan kata-kata itu.

Kedua: Faktor Psikologis:

Ini merupakan faktor paling dominan menyebabkan banyak problem dalam berbicara. Faktor ini terkonsentrasi pada:

-      Ketegangan jiwa yang menyertai rasa cemas serta hilangnya rasa aman dan ketenteraman;

-      Konflik batin, kekhawatiran, ketakutan tersembunyi, dan trauma emosional;

-      Perasaan rendah diri dan tidak mampu;

-      Kekhawatiran orangtua terhadap kemampuan berbicara anak;

-      Perawatan atau pemanjaan yang berlebihan;

-      Berlebihan dalam menghalangi anak dari mendapatkan kelembutan dan kasih sayang, yang akhirnya juga membuahkan hasil yang sama (dengan pemanjaan yang berlebihan).

Ketiga: Faktor Lingkungan:

Kelainan berbicara juga dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi lingkungan, seperti:

-      Anak mengikuti cara bebicara yang keliru dan ucapan kata yang tidak tepat dari ayah dan ibunya;

-      Keterlambatan pertumbuhan anak secara umum, atau keterbelakangan mental;

-      Banyaknya bahasa yang dipelajari oleh anak pada waktu bersamaan;

-      Malas dan ketergantungan yang berlebihan kepada orang lain;

-      Masalah-masalah keluarga dan keretakan rumah tangga;

-      Buruknya keharmonisan situasi sekolah atau masyarakat;

-      Perubahan mendadak pada lingkungan anak, seperti peristiwa kelahiran adiknya, atau saat-saat masuk di sekolah TK.

Penyakit-penyakit Berbicara:

Gagap: Yaitu kelainan berbicara yang umum terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Penyebabnya sangat kompleks, tetapi faktor gangguan psikologis adalah yang paling dominan menjadi pemicu kemunculannya. Anak yang menderita gangguan psikologis akan mengalami ketegangan dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu, ia terkadang gagap dalam mengeluarkan ucapan secara sempurna. Ini merupakan akibat dari ketakutannya yang berlebihan terhadap kondisi-kondisi yang ia khawatirkan.

Gagu (berbicara dengan cara yang tidak matang): Ada anak yang terkadang terus-menerus berbicara kekanak-kanakan (tidak sempurna mengucap kata-kata) karena mengikuti saudaranya atau ibunya. Fenomena ini juga dapat terjadi ketika gigi susu anak copot sebelum munculnya gigi permanen.

Kelainan jenis ini paling banyak terjadi pada anak-anak yang belum masuk sekolah. Mayoritas penyebab kasus kegaguan berbicara ini adalah karena orang-orang dewasa mengucapkan kata-kata di hadapan anak-anak mereka secara tidak benar (mengikuti gaya anak-anak) untuk mencandai anak. Akhirnya, anak berketerusan berbicara dengan cara semacam itu dengan keyakinan akan mendapatkan pujian dari orang lain, karena ia adalah seorang periang.

Anak-anak yang menderita kelainan semacam ini sering mendapatkan cemoohan. Karena itu, jenis kelainan berbicara yang bukan disebabkan oleh faktor kelainan organ tubuh dapat di atasi sebelum masuk sekolah. Adapun kegaguan yang berkelanjutan dan ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata dengan sempurna bisa jadi diakibatkan oleh ketulian sebagian atau cacat bawaan. Apabila hal itu terjadi maka anak membutuhkan perawatan medis sebelum ia memulai hidupnya.

Sukar Bicara: Artinya, anak sukar mengucapkan awal setiap kata disebabkan oleh ketegangan dan kemacetan otot suara. Akibatnya, anak harus berusaha keras untuk dapat mengucapkan awal kata dalam kalimat. Akan tetapi setelah mampu mengucapkan awal kata itu, ucapannya akan mengalir hingga akhir kalimat. Dan kemudian akan kembali mengalami kesulitan yang sama ketika memulai kalimat kedua. Sebagian besar penyebab munculnya penyakit ini bersifat psikologis, meskipun beberapa kasus disertai oleh penyakit fisik, seperti gangguan organ pernafasan, amandel, dan sebagainya.

Kondisi penyakit ini pada awalnya dimulai dalam bentuk kegagapan dan gerakan gemetar berulang-ulang yang menunjukkan bahwa anak menderita gangguan emosional yang jelas. Anak yang menderita masalah ini tampak mengalami kesulitan, adanya tekanan pada bibir, gerakan telapak tangan atau kedua tangan, tekanan kaki pada tanah, gerak ke kiri dan ke kanan, atau melakukan gerakan histris pada bulu mata dan kelopak mata.

Bicara Mengunyah: Hal ini disebabkan oleh kurangnya gerakan bibir, lidah, dan rahang karena sebab-sebab tertentu. Bisa jadi penyebabnya itu adalah kelainan anggota badan, seperti tidak matang dan tidak berkembangnya organ bicara, kelumpuhan pada organ suara atau sebagian otot, terutama otot-otot lidah. Kelainan ini juga terkadang disebabkan oleh faktor-faktor emosional, di mana anak tergerak untuk segera mengucapkan kata-kata dengan tidak jelas.

Bicara Tidak Teratur dan Kacau: Artinya, anak berbicara terlalu cepat, kacau, dan tidak tersusun. Fenomena ini sering disamakan dengan penyakit gagap. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kelainan yang satu ini dapat diatasi jika anak memperhatikan dengan baik kata-kata yang ia ucapkan. Sedangkan dalam penyakit gagap, ucapan anak akan semakin memburuk apabila ia memperhatikan kata-katanya. Kelainan jenis ini dimiliki secara mendasar oleh anak-anak yang terlambat perkembangan bahasanya.

Pengobatan

Ibu harus mencari penyebab di balik gangguan bicara pada anaknya. Ia harus bersabar dan membuang rasa khawatir. Jika ia terburu-buru ingin menyembuhkan anaknya, penyakit ini bisa saja berlanjut semakin lama, atau proses pengobatan bisa saja gagal.

-      Sebagai langkah awal, ibu harus memastikan bahwa anaknya tidak menderita penyakit/kelainan anggota badan. Yaitu dengan cara membawa anaknya pergi ke dokter spesialis untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan cacat yang mungkin ada dalam organ saraf, organ bicara, organ pendengaran, dan semua aspek anggota badan yang terkait dengan masalah produksi suara;

-      Memeriksa kesehatan psikologis anak, atau menjalani psikoterapi untuk mendeteksi konflik emosional, melakukan re-balancing emosi anak, serta mengurangi kecenderungan minder, bingung, dan menyendiri pada anak, yang semua itu mempengaruhi karakter pribadinya sekaligus meningkatkan frekuensi kesalahan dan kesulitannya dalam berbicara;

-      Menyelimuti anak dengan suasana kehangatan cinta dan kasih sayang, serta memberinya rasa aman dengan berbagai cara;

-      Terapi berkelompok, terapi dengan bermain, serta memotivasi aktivitas fisik dan perkembangan mental;

-      Mengobati anak dengan cara berbicara rileks, latihan ritme bahasa, serta melakukan latihan pengucapan bertahap dari kata yang mudah hingga yang sulit. Selain itu, juga latihan penggunaan lidah, bibir, dan tenggorokan, serta latihan menelan untuk memperkuat otot-otot organ suara, juga disertai dengan latihan pernafasan. Secara umum, melatih anak untuk memperkuat otot-otot bicara dan organ suaranya.

Pertanyaan-pertanyaan Kritis Anak

Secara mendadak dan tanpa peringatan sebelumnya, anak mendatangi ibunya untuk bertanya: "Di mana Allah? Apa itu kematian? Dari mana aku datang?", dan banyak pertanyaan lainnya yang mungkin sulit bagi ibu untuk menjawabnya dengan benar.

Terkadang ibu menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak penting, sehingga ia berusaha menghindar atau menjawab dengan tidak jelas dan sama sekali tidak benar. Sikap seperti ini adalah sebuah kesalahan besar. Anak memiliki hak untuk mengetahui dan bertanya, dan jika ia tidak tahu jawabannya, ia akan merasa bingung, gelisah, dan tertekan, bahkan kadang-kadang ketakutan.

Ibu sebenarnya telah melakukan kesalahan jika hanya diam menanggapi pertanyaan-pertanyaan anaknya, karena anak akan berusaha menemukan jawaban pertanyaannya itu dari teman-temannya, atau dengan cara lain yang dapat membahayakan dirinya secara psikologis dan menyesatkannya secara ilmiah. Selain itu, sikap ibu seperti itu juga dapat membuat anak merasa bersalah sehingga akhirnya suka menjauh dari kehidupan sosial.

Sebab Munculnya Pertanyaan Kritis Anak

Pertanyaan anak akan banyak bermunculan pada tahun-tahun pertama usianya—usia 2-5 tahun—disebabkan oleh ketakutannya dan tidak adanya pengalamannya secara langsung berhubungan dengan hal-hal itu. Di antara sekian banyak sebab munculnya pertanyaan-pertanyaan anak adalah:

1.     Rasa takut dan cemas. Anak-anak akan sering bertanya tentang hal-hal yang mereka takutkan, guna mendapatkan rasa aman dan ketenangan dari bahaya yang tidak mereka ketahui. Mereka merasa takut walaupun misalnya dalam hidup mereka tidak pernah diserang oleh binatang seperti anjing, serigala, atau sejenisnya. Mereka juga biasanya merasa takut kepada pencuri, penjahat, dan pengemis;

2.     Rasa ingin tahu. Anak tidak mengetahui apa yang ada dan terjadi di sekitarnya, dan ia ingin mengetahui itu semua;

3.     Untuk menarik dan mendapatkan perhatian;

4.     Untuk melawan dan memberontak terhadap orang dewasa, atau tidak senang terhadap otoritas ayah, ibu, atau yang lain;

5.     Untuk mempraktikkan dan membanggakan bahasanya, karena ia merasa bahwa ia telah fasih dalam berbahasa, berkomunikasi, dan memahami.

Sikap ibu terhadap pertanyaan anak-anaknya sangat variatif, misalnya:

1.    Lari dan tidak mau menjawab, dengan cara diam;

2.    Mengabaikan pertanyaan dan mengubah topik pembicaraan;

3.    Menjawab dengan jawaban yang tidak memuaskan dan tidak benar, atau jawaban serampangan;

4.    Menjawab dengan jawaban yang benar dan ilmiah.

Respon yang benar dari seorang ibu terhadap pertanyaan-pertanyan anaknya adalah memberikan perhatian terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, lalu memberi jawaban yang tepat, spesifik, sederhana, singkat, dan dengan cara yang cerdas sehingga tidak memerlukan pendalaman dan perincian, serta tidak menimbulkan pertanyaan lain pada anak. Di samping itu, jawaban juga harus sesuai dengan taraf nalar dan temperamen anak.

Pentingnya jawaban ibu terhadap pertanyaan-pertanyaan anaknya disebabkan oleh faedah-faedah berikut:

1.     Meningkatkan rasa percaya diri anak, sekaligus mewujudkan tujuan yang menyebabkan ia bertanya;

2.     Membantu tumbuhnya psikologis anak secara sehat dan membantunya melakukan adaptasi sosial;

3.     Mengembangkan kemampuan berbahasa anak;

4.     Memberi anak semangat memberi dan menerima;

5.     Mengajarkan anak mendengar dan menyimak;

6.     Membuat anak menikmati partisipasi emosional orangtuanya.

Ibu dan ayah juga harus memahami bahwa adalah lebih baik seorang anak belajar pendidikan seks yang sehat melalui pertanyaan-pertanyaannya kepada orangtuanya, daripada menerima informasi yang salah dari teman-temannya yang tidak baik atau dari sumber-sumber lain yang meragukan.

Jika anak menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ibu, ibu dapat mengatakan: "Ini adalah pertanyaan yang bagus, tetapi ibu belum bisa menjawabnya. Nanti kita bisa bertanya kepada ayahmu, atau mencari jawabannya dalam buku."

Ketika ibu mendorong anaknya untuk bertanya, serta selalu memberikan jawaban-jawaban yang benar, anak akan merasa bahagia. Sikap ini juga akan menjadikan anak merasa bahwa ia memiliki nilai dan wibawa di hadapan orangtuanya,,serta merasa bahwa kedua orangtuanya memiliki apa yang ia butuhkan.

Merupakan hak anak untuk mendapatkan jawaban dari orang-orang di sekelilingnya, karena ia diberikan fitrah rasa selalu ingin tahu guna memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan pengetahuan yang ia peroleh ini akan mendorongnya untuk mengetahui hakikat dirinya dan alam sekitarnya, juga untuk mengetahui hakikat Allah Yang Maha Pencipta. Ketika anak telah mengenal Tuhannya, ia akan dapat menyembah dan beribadah kepada-Nya secara benar.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah menciptakan semangat untuk selalu bertanya dan menyelidiki pada diri manusia sejak awal hidupnya. Namun, kebanyakan para pendidik dan orangtua melakukan kesalahan paling serius ketika mereka membunuh semangat itu dengan mengabaikan pertanyaan dan keingintahuan anak-anak mereka. Bahkan para orang tua merasa resah menghadapi pertanyaan dan sikap anak-anak mereka yang seperti ini, sehingga harus lari dari keharusan memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, dan menghalangi antusiasme anak-anak mereka dengan cara yang salah.

Mungkin juga dapat berguna jika ibu tidak perlu menunggu anaknya bertanya. Tetapi justru memulai untuk memberikan pendidikan, bimbingan, dan arahan seputar hal-hal yang belum diketahui dan harus diketahui oleh anak. Tentunya dengan mempertimbangkan umur dan kemampuan anak. Hal seperti ini bisa menjadi wajib bagi ibu jika merasa bahwa anaknya tidak mau bertanya dan tidak ingin tahu. Karena sikap ibu seperti ini akan menarik perhatian anak untuk mengetahui dan menjelajahi dunia sekelilingnya.

Mencuri

Dikisahkan bahwa seorang hakim di sebuah pengadilan sedang mengadili seorang pencuri. Setelah dilakukan proses peradilan, sang hakim menjatuhkan hukum potong tangan kepada si pencuri. Lalu pencuri itu pun berkata, "Sebelum kalian memotong tanganku, potonglah lidah ibuku!" Mengapa si pencuri berkata demikian? Ternyata pada suatu ketika, ia pernah mencuri telur tetangganya, lalu membawa telur itu kepada ibunya, dan si ibu tidak marah, tidak menolak, dan tidak menasehatinya untuk mengembalikan telur itu kepada si tetangga. Justru si ibu merasa senang dengan apa yang dilakukan oleh anaknya itu. Maka benarlah kata si pencuri itu ketika berkata, "Kalau bukan karena lidah ibuku yang membenarkan kejahatanku, niscaya aku tidak akan menjadi pencuri di tengah masyarakat."

Artinya, ibu memiliki tanggung jawab besar. Ia berkewajiban mendidik anaknya untuk selalu merasakan kehadiran Allah dan merasa takut kepada-Nya, serta membiasakan anak untuk jujur dan menjaga hak-hak orang lain.

Banyak orangtua yang lupa mengajarkan kepada anak untuk membedakan antara milik pribadinya dengan milik orang lain. Mereka membiarkan anak tanpa mempunyai hak milik tertentu, sehingga anak terbiasa merasa tidak memiliki sesuatu. Ini terjadi karena kedua orangtuanya membelikan barang untuknya dan untuk saudaranya tanpa membedakan mana miliknya dan mana milik saudaranya. Sikap seperti itu memang bermanfaat dalam mendidik semangat kebersamaan, akan tetapi dapat mengakibatkan anak tidak bisa memisahkan mana miliknya dan mana milik orang lain, dan hal ini dikhawatirkan akan terus berlanjut sampai ia dewasa.

Alasan dan Motif Mencuri

Tindakan pencurian pada anak memiliki motivasi. Mengetahui dan mengidentifikasi motif ini secara tepat sangatlah penting. Karena itu merupakan sebuah langkah pengobatan. Motif mencuri ini sangat banyak, di antaranya:

-      Balas dendam: Anak terkadang mencuri karena orangtuanya memperlakukannya dengan kasar, sehingga membuatnya marah dan terpaksa mencuri;

-      Ketidaktahuan dan pemahaman yang kurang memadai: Anak kadang-kadang mencuri pena saudara atau temannya karena tidak memahami makna kepemilikan dan penghormatan terhadap privasi orang lain. Itu terjadi karena kesadarannya yang kurang dan kegagalannya membedakan antara apa yang merupakan miliknya dan yang bukan miliknya;

-      Menonjolkan diri: Bila seorang anak yang berasal dari strata sosial menengah bergaul dengan teman sebayanya dari strata sosial yang tinggi terkadang melakukan pencurian untuk membuktikan kepada mereka bahwa ia sederajat dengan mereka;

-      Tumbuh dalam lingkungan kriminal: Ada anak yang dibesarkan dalam lingkungan kriminal yang biasa mengajarkannya mencuri dan merampas milik orang lain. Seorang penyair berkata, "Anak remaja akan tumbuh di atas apa yang dibiasakan oleh ayahnya."

-      IQ yang rendah: Tindakan pencurian pada anak terkadang disebabkan oleh rendahnya IQ dan berada di bawah kendali anak-anak yang lebih cerdas, lalu mereka menyuruhnya untuk mencuri;

-      Pemanjaan berlebihan: Anak yang terbiasa mendapatkan segala keinginannya, sehingga tidak ada yang mampu menghalangi semua keinginannya itu, lalu dikejutkan dengan keengganan orangtuanya memberikan apa yang ia inginkan, biasanya juga akan melakukan pencurian;

-      Keinginan untuk mendapatkan posisi terhormat: Anak terkadang mencuri agar bisa berbangga dengan memiliki barang yang tidak dimiliki oleh teman-temannya, atau untuk memberikan sesuatu kepada teman-temannya agar bisa diterima di tengah mereka;

-      Melepaskan diri dari sebuah kesulitan: Anak mungkin saja suatu ketika kehilangan uang yang diberikan oleh ayahnya untuk membeli sesuatu, kemudian ia takut mendapat hukuman, sehingga membuatnya berpikir untuk mencuri;

-      Kemiskinan: Anak terkadang mencuri karena tidak mendapatkan kebutuhan hidupnya, seperti mencuri makanan karena lapar;

-      Memenuhi kesukaan, keinginan, atau hobi: Ada anak yang gemar naik sepeda, atau pergi menonton sirkus, sementara ia tidak memiliki uang untuk itu. Ia pun kemudian mencuri untuk memenuhi keinginan tersebut;

-      Mengidap penyakit mental: Penyakit mental pada anak terkadang mendorongnya untuk melakukan pencurian yang tidak disengaja atau terpaksa. Sebuah penyakit yang dikenal dengan istilah ..Kleptomania.

Mengobati Perilaku Mencuri

Abdullah ibnu Dinar berkata, "Aku pernah berangkat bersama Abdullah ibnu Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—ke Mekah. Tiba-tiba seorang penggembala turun dari atas gunung ke arah kami. Lalu Ibnu Umar berkata—hendak mengujinya, '"Wahai penggembala, juallah seekor kambingmu kepadaku'". Penggembala itu menjawab, '"Aku hanya seorang budak (yang menggembala kambing tuanku)'". Ibnu Umar kembali berkata, 'Katakan kepada tuanmu bahwa kambing itu dimakan serigala'". Penggembala itu menjawab, '"Lalu di mana Allah"?' Mendengar jawaban itu, Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—pun menangis, kemudian pergi bersama si budak itu lalu membelinya dari sang tuan dan memerdekakannya. Ia kemudian berkata, '"Kalimat (jawabanmu) itu telah memerdekakanmu di dunia, dan aku berharap semoga kalimat itu membebaskan dirimu (dari Neraka) di Akhirat'."

Tidak diragukan lagi, bahwa budak itu pasti dibesarkan dalam didikan rasa takut kepada Allah, perasaan selalu diawasi oleh–Nya, dan terbiasa bersikap amanah. Oleh karena itu, ia tidak mau mencuri harta milik tuannya. Demikianlah, ketika seorang ibu membiasakan anaknya hidup dalam ketakwaan dan amal shalih, niscaya anak akan tumbuh sebagai seorang yang terpercaya, tidak akan mengulurkan tangannya mengambil milik orang lain.

Ketika mengobati kebiasaan mencuri ini, kita harus mempelajari setiap kasus pencurian secara terpisah, supaya kita mengetahui motif yang mendorong terjadinya masing-masing kasus, sehingga mudah untuk diobati.

Kewajiban ibu adalah menjelaskan kepada anaknya betapa tercelanya perilaku mencuri, sekaligus memberikan sebuah contoh teladan tertinggi dalam menghormati hak milik orang lain. Selain itu, ibu juga harus berusaha memenuhi kebutuhan anak akan kehangatan kasih sayang, supaya ia percaya diri dan tidak merasakan kekurangan apa pun yang mungkin mendorongnya melakukan pencurian.

Mendidik anak di atas prinsip-prinsip Islam dan perasaan takut kepada Allah merupakan sebuah cara jitu yang mampu menjaga anak dari perilaku menyimpang seperti mencuri.

Penyakit Malu (Minder)

Anak yang pemalu adalah anak yang tidak memiliki kemampuan berbaur bersama teman-temannya di sekolah atau orang yang baru ia lihat pertama kali, baik di dalam maupun di luar rumah. Ia tidak bisa bergabung bersama mereka dan tidak bisa menghadapi mereka dengan berani. Oleh karena itu, pengalaman hidupnya menjadi terbatas, persahabatannya berumur pendek dan tidak berkelanjutan, di samping juga tidak bisa menerima kritik atau pandangan sederhana orang lain terhadapnya. Semua sifat ini menjadikannya pribadi yang suka menyendiri, tidak bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.

Rasa malu yang terpuji berbeda dengan penyakit yang satu ini. Perbedaan antara malu yang terpuji dengan malu yang berkonotasi minder sangatlah besar. Karena minder berarti ketertutupan dan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain. Adapun sifat malu yang terpuji adalah salah satu di antara akhlak dan etika islami yang mencegah seseorang melakukan perbuatan yang salah dan diharamkan. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bahkan mewasiatkan kepada umatnya untuk memiliki sifat ini dalam sabda beliau, "Malulah kalian kepada Allah dengan rasa malu yang sebenar-benarnya!" Para shahabat menjawab, "Alhamdulillâh, kami telah memiliki rasa malu." Rasulullah kembali bersabda, "Bukan itu maksudnya, malu kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya adalah menjaga kepala beserta apa yang ia pikirkan dan menjaga perut beserta apa yang ia kandung. Selain itu, hendaklah kalian mengingat kematian. Dan siapa yang menginginkan Akhirat pasti akan meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa yang melakukan hal itu berarti telah malu kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya." [HR. At-Tirmîdzi]

Penyebab Penyakit Malu (Minder)

Metode pendidikan terkadang dapat membuat anak menjadi pemalu. Berlebihan memanjakan anak juga dapat menjadikannya pemalu. Sama halnya dengan memperlakukan anak terlalu kejam, mencelanya berkali-kali, menegur dan menyalahkannya tanpa sebab, serta menggunakan kekerasan dalam mengoreksi kesalahannya, terutama di hadapan orang lain. Semua ini dapat mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri dan munculnya perasaan rendah diri pada anak, sehingga membuatnya merasa minder (malu) serta tertutup dari orang banyak dan masyarakat. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—sendiri selalu berlemah lembut kepada anak-anak agar timbul rasa percaya diri dalam diri mereka.

Terkadang yang menjadi penyebab timbulnya rasa malu (minder) adalah perasaan rendah diri pada beberapa anak yang menderita cacat fisik. Kondisi itu membuat mereka cenderung mengisolasi diri. Selain itu, tidak naik kelas juga dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan miskin kepercayaan diri yang membuat anak minder dan malu.

Anak tunggal biasanya juga menderita penyakit malu karena perhatian dan kekhawatiran orangtua yang berlebihan kepadanya, ditambah curahan kasih sayang yang jauh lebih besar dari yang diberikan para orangtua lain kepada anak yang seumuran dengannya. Hal ini terkadang memancing cemoohan teman-temannya kepadanya, sehingga semakin memperburuk masalah.

Mengobati Penyakit Malu (Minder)

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Al-Aqra' ibnu Hâbis—Semoga Allah meridhainya—suatu ketika melihat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mencium cucu beliau, Al-Husain. Al-Aqra' pun berkata, "Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, tapi aku tidak pernah melakukan hal seperti ini terhadap seorang pun dari mereka." Mendengar itu, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang tidak menyayangi niscaya tidak akan disayangi." [HR. Abû Dâwûd]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersikap lemah lembut kepada anak-anak para shahabat, mengucapkan salam kepada mereka, serta memperhatikan dan menyayangi mereka. Tentang hal itu, Anas ibnu Mâlik—Semoga Allah meridhainya—pernah bercerita bahwa ia memiliki seorang saudara bernama Umair. Umair ini memiliki seekor burung sebagai teman bermainnya. Ketika burung itu mati, Umair sangat sedih. Karena itu, setiap kali Rasulullah melihat Umair, beliau selalu mencandai, menghibur, dan membahagiakannya dengan bersabda, "Wahai Abu Umair, apa kabar burung kecilmu?" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga sering sekali menaikkan kedua cucu beliau, Al-Hasan dan Al-Husain ke punggung beliau, lalu bersabda, "Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, karena itu, cintailah mereka, dan cintailah orang yang mencintai mereka." [HR. Ath-Thabrâni]

Jadi, kasih sayang dan kelembutan yang tidak melampaui batas kewajaran merupakan salah satu faktor yang efektif melindungi anak-anak dari penyakit minder (pemalu).

Ibu juga dapat mengobati penyakit pemalu dan tertutup pada diri anak dengan mendidiknya untuk berani. Bapak juga bisa membawa anak ikut bergabung dalam majelis-majelis umum, karena interaksi seperti ini akan membuatnya jauh lebih berani daripada anak-anak yang tidak berinteraksi dengan orang lain.

Ibu juga harus memberikan kasih sayang, perawatan, dan cinta yang cukup kepada anak-anaknya, serta membuat mereka senantiasa merasa aman dan tenteram. Selain itu, ibu harus menjauhi sikap membeda-bedakan pola interaksi antara anak-anaknya, supaya tidak terjadi kecemburuan pada anak, sehingga membuatnya merasa tidak diterima, lalu menjauhi orang lain dan malu. Karena anak-anak sangatlah sensitif. Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Berlaku adillah dalam memberi sesuatu kepada anak-anak kalian, sebagaimana kalian menyukai mereka berbuat adil dalam berbakti kepada kalian." [HR. Ath-Thabrâni]

Mendidik mental mandiri pada anak merupakan sarana terbaik untuk melindungi dan mengobati anak dari rasa minder (pemalu). Oleh karena itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah teladan yang paling baik dalam mendidik keberanian kepada para shahabat.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Sahal ibnu Sa'ad As-Sâ'idi—Semoga Allah meridhainya, bahwa suatu ketika, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dibawakan air minuman. Kemudian beliau meminum air itu, sementara di samping kanan beliau ada seorang anak kecil, dan di sebelah kiri beliau ada beberapa orang tua. Beliau ketika itu bersabda kepada si anak, "Apakah engkau mengizinkan aku memberi orang-orang ini?" Anak itu menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah, aku tidak akan merelakan bagianku dari dirimu diberikan kepada siapa pun." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ibu harus mengembalikan rasa percaya diri anak. Jika anak adalah seorang yang berprestasi di kelasnya, atau terampil dalam bakat tertentu seperti menggambar misalnya, maka ibu harus menyemangati anaknya dalam menekuni bakat itu, mengangkat posisinya, memujinya, dan membuatnya merasa bahwa ia adalah anak yang berprestasi.

Ibu harus ekstra sabar dalam mengobati penyakit minder anaknya, karena proses pengobatan ini membutuhkan waktu yang lama dan bertahap. Karena itu, ibu harus menampakkan kebahagiaannya setiap kali anak berhasil menyingkirkan sebagian penyakit mindernya. Akan tetapi ketika gagal, ibu harus kembali berusaha, sampai tujuannya tercapai.

Selain itu, ibu harus memberikan perhatian kepada anak, menyimak ketika anaknya berbicara, serta tidak mengejek pembicaraan atau tindakannya. Sikap positif seperti ini akan memberikan kepercayaan diri pada anak, bahkan mendorongnya untuk berbicara dengan orang lain tanpa rasa takut atau malu.

Marah

Sebagian ibu sering mengeluh, "Anakku cepat marah. Mengapa? Apa solusinya?"

Marah adalah kondisi emosional yang dirasakan oleh anak pada hari-hari awal kehidupannya, dan terus menyertainya dalam semua fase kehidupan. Marah adalah naluri kemanusiaan yang dapat berguna dalam beberapa kondisi, seperti mengasah semangat mempertahankan diri, serta menjaga Agama, kehormatan, dan bangsa.

Adapun marah yang tercela adalah marah tanpa alasan yang logis dan bukan demi kebenaran. Oleh karena itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berpesan untuk tidak marah. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa suatu ketika seseorang berkata kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Berilah aku nasihat!" Beliau bersabda, "Janganlah engkau marah!" Orang itu mengulangi permintaan yang sama berulang kali, tapi Rasulullah tetap menjawab, "Janganlah engkau marah!" [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—pernah bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Apakah yang akan menjauhkan saya dari murka Allah?" Beliau menjawab, "Janganlah engkau marah!" [Ahmad dan Al-Bukhâri]

Al-Quranul Karîm memuji orang-orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." [QS. Âli `Imrân: 134]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Orang yang kuat bukanlah yang mampu menumbangkan orang lain dalam bergulat, akan tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Gejolak amarah pada anak bisa terlihat dengan jelas pada fase usia antara enam bulan hingga tahun ketiga. Ada banyak alasan yang menimbulkan kemarahan anak, di antaranya:

-      Tidak terpenuhinya kebutuhan yang ia inginkan, terutama kebutuhan fisiologis (makanan–buang air);

-      Ditinggalkan sendirian di dalam rumah. Selain itu, ia juga dapat marah ketika kita membasuh mukanya saat memandikannya, atau saat menanggalkan pakaiannya;

-      Cara interaksi yang berubah-ubah terhadapnya, antara keras dengan longgar;

-      Terkekangnya kebebasan anak dalam bermain dan bergerak, apalagi anak memang memiliki kecenderungan bergerak Dan bermain, karena itu merupakan ekspresi dari energi yang menyala di dalam dirinya;

-      Terbatasinya kebebasan anak dalam mengekspresikan pendapat juga dapat menyebabkan kemarahannya. Karena walaupun masih kecil, anak tetap ingin memiliki kepribadian yang independen dan pendapat pribadi yang ia ungkapkan, agar ia dapat merasakan eksistensi dirinya;

-      Kekejaman orangtua dan kecenderungan mereka menggunakan kritikan pedas juga dapat meledakkan kemarahan anak. Meskipun ada sebagian anak yang tidak memperlihatkan ledakan emosi menghadapi itu, tetapi sikap orangtua yang seperti itu tetap memiliki efek negatif bagi anak, seperti munculnya depresi dan sikap tertutup;

-      Berlebihannya orangtua dalam memanjakan anak juga dapat mengakibatkan gejolak amarah anak. Anak merasa bahwa semua keinginannya pada masa kecil selalu dipenuhi, sehingga ia mengira bahwa orang-orang di sekitarnya juga akan memenuhi semua keinginannya, walaupun ia telah besar;

-      Kegugupan dan kemarahan sebagian orangtua oleh alasan-alasan sepele juga dapat menyebabkan kegugupan dan kemarahan anak. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi teladan dalam hal ketenangan, serta tidak mudah emosi melebihi batas;

-      Kekurangan atau lemahnya kesehatan anak secara umum menyebabkan lemahnya kemampuan anak dalam mengontrol diri pada kondisi tertentu, sehingga terkadang juga dapat memicu gejolak kemarahannya. Beberapa anak, karena tidak dapat berjalan, berbicara, melihat, atau bermain seperti teman-temannya yang lain akhirnya merasa benci dan mudah marah.

Pengobatan

Langkah pertama untuk mengobati masalah ini adalah membuang dan menghilangkan faktor penyebabnya. Oleh karena itu, para pendidik dan orang tua harus membantu anak untuk tenang dan mampu mengendalikan emosi.

Peran ayah dan ibu sangat penting dalam memberikan pemahaman yang benar kepada anak. Mereka tidak boleh marah dan gugup hanya karena hal-hal sepele. Tetapi kewajiban mereka adalah menjaga lidah mereka dari kalimat-kalimat celaan dan hinaan, agar penyakit-penyakit mental dan emosi kemarahan tidak mengakar pada diri anak. Dengan demikian, orangtua telah menjadi teladan yang baik dalam hal kesabaran, ketenangan, dan pengendalian diri ketika marah.

Intervensi orangtua terhadap tindakan-tindakan anak harus bersifat mendidik dan tidak membuat anak merasa bahwa geraknya dikekang. Orang tua tidak boleh memaksa anak untuk patuh tanpa memberikan pemahaman atau keyakinan. Seorang anak, secara alami menyimpan energi besar dan menyala di dalam dirinya. Hanya saja kualitas pengetahuannya tidak mampu mengarahkan energi besar itu secara positif pada posisinya yang tepat. Di sinilah letak urgensi peran pendidik atau orang tua dalam mengarahkan energi itu menjadi aktivitas-aktivitas dan keterampilan bermanfaat sebagai pelampiasan dari perasaan-perasaan terpendam itu. Lebih dari itu, semua aktivitas tersebut juga menjadikan anak dapat merasakan harga dirinya.

Pendidik atau orang tua seharusnya tidak terlalu memanjakan anak atau memenuhi semua keinginannya. Karena ketika berhadapan dengan orang lain, anak akan mengira bahwa ia akan mendapatkan perlakuan yang sama dari mereka. Ketika ternyata ia justru mendapatkan perlakuan yang kasar, saat itulah menyala perasaan marah di dalam dirinya.

Di antara bentuk keagungan Agama kita adalah bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu perkara pun melainkan mendapat porsi perhatiannya. Terkait usaha pengobatan terhadap penyakit marah ini, terdapat metode sukses yang diajarkan kepada kita oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Ayah dan ibu harus membiasakan anak-anak mereka menjalankan metode ini sebisa mungkin. Ajaran Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam hal ini ada beberapa tahap:

-      Mengubah posisi saat seseorang marah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk. Jika marahnya belum juga hilang, hendaklah ia berbaring." [HR. Abû Dâwûd dan Ahmad]

-      Berwuduk ketika marah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya marah itu berasal dari Syetan, dan sesungguhnya Syetan itu tercipta dari api, dan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia berwuduk." [HR. Abû Dâwûd]

-      Meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan Syetan yang terkutuk. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar di hadapan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam. Salah seorang dari mereka mencela temannya dengan penuh amarah sehingga mukanya memerah. Melihat itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat yang kalau ia ucapkan niscaya murkanya akan hilang, yaitu: A'ûdzubillâhi minasy Syaithânir rajîm (aku berlindung kepada Allah dari [gangguan] Syetan yang terkutuk)." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

-      Meninggalkan tempat munculnya kemarahan. Pernah suatu ketika, terjadi cek-cok antara Ali—Semoga Allah meridhainya—dan (istrinya) Fâthimah Az-Zahra`—Semoga Allah meridhainya. Keduanya saling marah satu sama lain. Lalu Ali—Semoga Allah meridhainya—keluar menuju mesjid dan berdiam di sana. Ketika Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengetahui hal itu, beliau pun mendatangi Ali. Saat itu, terlihat ada sedikit tanah (debu) yang jatuh ke kepala Ali. Rasulullah pun membersihkan debu itu dari kepalanya seraya bersabda, "Berdirilah, wahai Abu Turâb (bapak debu)." [HR. Ath-Thabrâni]

-      Salah satu sikap yang berkhasiat mengobati kemarahan adalah berusaha menghiasi diri dengan akhlak yang menjadi lawan dari kemarahan itu, yaitu sabar dan tenang. Ibu harus berusaha menumbuhkan sifat ini pada diri anak-anaknya, sebab manusia yang penyabar tidak mengenal marah kecuali hanya karena Allah.

-      Selain itu, ibu harus mengarahkan potensi marah pada anak ke arah yang tepat, sesuai dengan situasi yang ada. Jika memang ada situasi yang mengharuskan untuk marah, ibu harus mengingatkan anaknya untuk marah, dan mengajarkan kepadanya bahwa marah dalam situasi seperti itu adalah sifat terpuji. Namun bila sifat sabar pada situasi tertentu lebih baik, ibu juga harus mengingatkan hal itu kepada anak-anaknya, dan mengarahkan mereka untuk bersikap sabar. Karena sesuatu yang belum menjadi akhlak pada diri seseorang sesungguhnya mudah diraih dan dijadikan akhlak dengan cara membiasakannya sampai itu menjadi akhlak dan tabiat pada diri.

-      Berusaha memiliki sifat sabar. Karena sabar merupakan etika kepribadian paling mulia yang dimiliki oleh manusia. Berlatih untuk mengontrol gejolak amarah adalah salah satu unsur penting dalam pertumbuhan emosi yang sehat. Dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempatnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya." [HR. At-Tirmidzi]

Demikianlah, kemampuan mengontrol diri ketika marah adalah sesuatu yang sangat penting. Namun itu tidak berarti membunuh atau mengekang sama sekali energi marah.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

 

www.islamweb.net