Hukum-hukum Shalat bagi Musafir 3

15/04/2019| IslamWeb

Bolehkah Menjamak Shalat sebelum Berangkat?

Apabila Anda masih berada di negeri Anda, belum keluar darinya, dan Anda hendak melakukan safar langsung setelah shalat Maghrib misalnya, maka Anda tidak boleh menjamak, karena tidak ada faktor yang membolehkan jamak shalat, sebab Anda belum meninggalkan negeri Anda. Adapun jika Anda berada di negeri tujuan perjalanan Anda, misalnya Anda sudah sampai di Mekah untuk ibadah umrah, lalu Anda ingin melakukan safar (pulang) antara waktu Maghrib dan Isya, maka jika imam selesai melakukan shalat Maghrib, Anda boleh mengerjakan shalat Isya setelahnya secara qashar, lalu Anda berangkat (pulang) ke negeri Anda.

Menunda Shalat Maghrib untuk Dijamak dengan Isya, Kemudian Melihat Kaum Muslimin di Madinah sedang Shalat Isya

Apabila seorang musafir menunda shalat Maghrib untuk dijamak dengan Isya, kemudian ia melihat Kaum Muslimin sedang melakukan shalat Isya di sebuah tempat, ia boleh bergabung dengan jamaah shalat itu dengan niat shalat Maghrib. Dalam kondisi ini, jika ia mulai shalat bersama imam pada rakaat kedua tidak ada masalah, ia ikut salam bersama imam karena ia sudah shalat tiga rakaat. Tetapi jika ia mulai shalat pada saat imam berada di rakaat ketiga, maka ia harus menambah setelahnya satu rakaat. Adapun jika ia masuk pada rakaat pertama shalat Isya, sedangkan ia berniat shalat Maghrib, maka pada saat imam berdiri untuk rakaat keempat, ia harus tetap duduk melakukan tasyahud, dan kemudian salam. Setelah itu, ia ikut shalat lagi bersama imam di sisa (rakaat) shalat Isya itu, sehingga ia bisa mendapatkan dua jamaah untuk dua shalat. Memisahkan diri (dari shalat imam) dalam kondisi seperti ini boleh, karena adanya udzur (halangan). Para ulama menyebutkan bahwa memisahkan diri dari shalat imam karena suatu udzur hukumnya boleh.

Shalat di Negeri Asal Padahal Waktu Shalat sudah Masuk saat Masih dalam Safar, atau Sebaliknya

Standar yang dipakai dalam kasus seperti ini adalah di mana shalat itu dilaksanakan; jika dilakukan di negeri asal maka harus disempurnakan jumlah rakaatnya (tidak qashar), namun jika dilakukan saat masih dalam safar maka dilakukan dengan qashar, baik waktu shalat masuk ketika berada di tempat tersebut atau sebelumnya.

Misalnya, seseorang melakukan safar dari negerinya setelah adzan Zhuhur, tapi ia melakukan shalat Zhuhur setelah keluar dari negerinya tersebut. Dalam kondisi ini, ia shalat Zhuhur dua rakaat (qashar). Adapun jika ia pulang dari safar sedangkan waktu Zhuhur sudah masuk saat ia berada di tengah perjalanan, kemudian ia sampai di negerinya, maka ia harus mengerjakan shalat empat rakaat. Jadi, yang menjadi patokannya adalah di mana shalat itu dikerjakan, jika saat sedang bermukim maka lakukanlah shalat empat rakaat, namun jika sedang dalam perjalanan maka lakukanlah shalat dua rakaat (qashar).

Jika Musafir Berdiri untuk Rakaat Ketiga padahal Ia sudah Berniat Qashar

Jika musafir menyempurnakan jumlah rakaat shalat karena lupa maka shalatnya sah, namun ia harus melakukan Sujud Sahwi, karena telah menambah sesuatu yang semestinya tidak dilakukan, disebabkan lupa. Yang mesti dilakukan oleh musafir adalah melakukan shalat dengan meng-qashar (dua rakaat). Hukumnya wajib menurut mazhab Abu Hanifah dan Ahlu Azh-Zhahir, sunah menurut mazhab mayoritas ulama.

Shalat Musafir bersama Istrinya

Tidak masalah seorang (musafir) melakukan shalat bersama istrinya dan mahramnya dalam safar. Pada masa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, para wanita juga ikut shalat (berjamaah). Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga pernah shalat bersama Anas, ibunda (Anas), dan seorang anak yatim.

Shalat Jumat bagi Musafir

Kewajiban shalat Jumat tidak gugur bagi musafir jika sedang berada di sebuah tempat yang di sana dilakukan shalat Jumat, sementara ia tidak memiliki halangan apa-apa untuk ikut melaksanakannya. Ini berdasarkan keumuman firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli." [QS. Al-Jumu`ah: 9]

Jadi, seorang musafir wajib ikut melaksanakan shalat Jumat agar bisa shalat bersama Kaum Muslimin. Kewajiban shalat berjamaah bagi musafir juga tidak gugur karena keumuman dalil-dalil tentang hal ini.

Menjamak Shalat Ashar dengan Shalat Jumat

Shalat Ashar tidak dapat dijamak dengan shalat Jumat, karena tidak ada hadits yang menjelaskan hal itu, dan tidak sah pula men-qiyas-kan hal ini dengan jamak antara Ashar dengan Zhuhur, karena ada banyak perbedaan antara shalat Jumat dan shalat Zhuhur. Secara hukum dasar, setiap shalat wajib dikerjakan pada waktunya, kecuali ada dalil yang membolehkan menjamaknya dengan shalat lain.

Safar sebelum Shalat Jumat

Apabila perjalanan pada hari Jumat dilakukan setelah adzan kedua, hukumnya tidak boleh. Ini berdasarkan pada firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli." [QS. Al-Jumu`ah: 9]

Jadi, tidak boleh melakukan safar pada waktu ini, karena Allah berfirman dalam ayat ini (yang artinya): "maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli."

Adapun jika seseorang melakukan safar sebelum itu, dan ia berniat akan melaksanakan shalat Jumat di perjalanan, misalnya: ia melakukan safar ke negerinya, dan ia tahu akan melewati negeri lain di perjalanan dan akan berhenti di negeri tersebut untuk melaksanakan shalat Jumat, ini hukumnya boleh. Namun jika ia tidak melaksanakan shalat Jumat tersebut dalam perjalanannya, di antara ulama ada yang memakruhkannya, ada yang mengharamkannya, dan ada pula yang membolehkannya dengan mengatakan bahwa Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak mewajibkan kita hadir (shalat Jumat) kecuali setelah mendengar adzan. Tindakan tang terbaik adalah tidak memulai safar pada waktu seperti itu kecuali jika khawatir akan tertinggal rombongan.

Shalat Sunah Apa Saja yang Boleh Dilakukan Seorang Musafir?

Seorang musafir dapat melakukan semua shalat sunnah kecuali sunah Rawatib Zhuhur, Maghrib, dan Isya. Ia tetap boleh melakukan shalat Witir, Qiyâmullail, Dhuha, rawatib Shubuh, dan shalat-shalat sunnah lainnya, kecuali beberapa sunnah Rawatib yang dikecualikan (di atas).

Musafir (Tetap) Melaksanakan Shalat Tarawih dan Qiyâmullail

Seorang musafir tetap boleh melaksanakan shalat Tarawih, Qiyâmullail, Dhuha, dan shalat-shalat sunnah yang lainnya, namun tidak perlu mengerjakan shalat rawatib Zhuhur, Maghrib, dan Isya.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net