Melihat Cairan Warna Kuning Sebelum Benar-Benar Suci, Lalu Membatalkan Puasa, Apa yang Harus Dilakukannya?

2-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Saya memohon Anda membaca pertanyaan saya dengan cermat. Biasanya, saya tidak berpuasa selama lima hari di bulan Ramadhân karena haid, dan biasanya, saya mulai berpuasa lagi pada hari keenam karena ragu (apakah masih haid atau sudah suci), lalu nanti saya meng-qadhâ' enam hari. Tahun ini, seperti biasa, saya tidak berpuasa selama lima hari. Namun setelah melihat cairan kekuningan dalam jumlah yang sangat banyak, saya bertanya kepada keluarga saya, dan mereka menyuruh saya untuk tidak berpuasa. Namun saya tidak ingat, apakah saat itu saya berpuasa atau tidak, tetapi berdasarkan dugaan kuat saya, saat itu saya berpuasa. Setelah bulan Ramadhân saya berkata, saya akan meng-qadhâ' tujuh hari. Kemudian saya tahu bahwa ternyata cairan kekuningan itu tidak dianggap sebagai haid. Apakah puasa saya saat itu sah? Jika tidak, apa kafarat yang harus saya lakukan? Apakah saya wajib memberi sedekah untuk 60 orang miskin kepada satu orang saja?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Kewajiban Anda adalah meng-qadhâ' hari-hari yang Anda tidak berpuasa di dalamnya, dan tidak ada kafarat yang wajib Anda tunaikan.

Kami mengingatkan bahwa cairan kekuningan atau kecoklatan yang bersambung dengan haid di masa haid adalah termasuk haid. Sementara jika ia keluar di selain masa haid atau setelah terlihat tanda suci di ujung masa haid (seperti: keluarnya lendir putih) tidak dianggap sebagai haid.

Jika Anda melihat cairan kekuningan dan kecoklatan pada masa-masa haid Anda berarti itu adalah haid. Jika Anda tidak berpuasa saat itu, itulah memang yang wajib Anda lakukan. Tetapi jika cairan kekuningan dan kecoklatan tersebut keluar di luar masa-masa haid Anda, lalu Anda tidak berpuasa, maka kewajiban Anda hanyalah meng-qadhâ' puasa tersebut menurut jumhur (mayoritas) ulama yang tidak mewajibkan kafarat kecuali jika pembatalan puasa dilakukan dengan jimak. Demikian juga menurut mazhab Maliki yang mewajibkan kafarat bila puasa dibatalkan dengan selain jimak tetapi dengan syarat-syarat yang mereka tetapkan, di antaranya tidak adanya ta'wîl yang dekat. Dan dalam kasus ini, Anda memiliki ta'wîl itu, yaitu ketidaktahuan akan hukum sebenarnya, sehingga kewajiban Anda hanya meng-qadhâ'.

Kami mengingatkan juga bahwa apabila kafarat diwajibkan kepada seseorang, maka tidak boleh diberikan kepada satu orang miskin saja, tetapi wajib diberikan kepada 60 orang miskin.

Kami juga ingin mengingatkan bahwa Anda tidak wajib berpuasa lebih dari jumlah puasa yang Anda tinggalkan (di bulan Ramadhân) sebagai bentuk kehati-hatian. Jika Anda telah melihat tanda suci dari haid maka mandilah, lalu shalat dan berpuasalah. Apabila Ramadhân telah usai, tidak ada kewajiban Anda selain meng-qadhâ' hari-hari puasa yang Anda tinggalkan. Namun jika Anda tidak melihat tanda suci dari haid janganlah menahan diri dari makan dan minum, karena Anda wajib tidak berpuasa selama Anda masih dalam keadaan haid.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net