Apakah Taat Istri Kepada Suami Berarti Melebur dalam Kepribadian Suami?

21-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Saya sering bertanya-tanya, apakah seorang perempuan ketika menikah harus mengikut semua temperamen suaminya, sehingga ia kehilangan segenap kebebasannya, serta mematuhi semua titah suaminya walaupun bukan dalam hal-hal yang wajib ia lakukan? Saya pernah mendengar bahwa seorang istri hanya dilarang tidak taat kepada suaminya dalam masalah yang terkait hak dan kewajiban suami-istri, dan ia memiliki kebebasan dalam hal-hal yang tidak mengandung maksiat kepada Allah. Jika ia tidak taat dalam masalah-masalah yang terkait hak dan kewajiban suami-istri itu, barulah ia masuk ke dalam katagori istri yang melakukan nusyûz (pembangkangan), dan dapat dipakaikan kepadanya firman Allah tentang perempuan yang melakukan nusyûz.Allah—Subhânahu wata`âlâ—hanya berfirman (yang artinya): "Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya." [QS. Al-Baqarah: 228]. Tapi kita memperhatikan ada orang yang menjadikan seribu tingkatan kelebihan untuk seorang suami, bagaimana menurut Anda?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." [QS. An-Nisâ': 34]

Dan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda, "Wanita mana saja yang meninggal dunia sedangkan suaminya ridha terhadapnya, niscaya ia masuk Surga." [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, dan Al-Hâkim]

Dalam hadits lain, Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—menceritakan, "Suatu ketika, seorang perempuan, yaitu Asmâ' bintu Yazîd Al-Anshâriyah, datang kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—seraya berkata: 'Wahai Rasulullah, aku adalah utusan kaum wanita yang datang kepadamu. Jihad Allah wajibkan kepada kaum laki-laki, jika mereka menang, mereka mendapat pahala, dan jika mereka gugur, mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan memperoleh rezeki, sementara kami kaum wanita selalu mengurus keperluan mereka, apa yang kami dapatkan dari hal itu?' Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—menjawab: 'Sampaikan kepada wanita-wanita yang engkau temui bahwa menaati seorang suami dan mengakui haknya menyamai pahala semua itu (berjihad di jalan Allah). Sayang sekali, sedikit sekali dari kalian yang melakukannya'." [HR. Al-Bazzâr dan Ath-Thabarâni.]

`Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: 'Hai Rasulullah, siapakan manusia yang paling besar haknya atas seorang perempuan?' Beliau menjawab: 'Suaminya'. Kemudian aku bertanya lagi: 'Siapakan manusia yang paling besar haknya atas seorang laki-laki?' Beliau menjawab: 'Ibunya'." [HR. Al-Bazzâr dan Al-Hâkim dengan sanad hasan]

Inilah nas-nas wahyu yang sekiranya Anda merenunginya niscaya Anda akan mengetahui bahwa taat kepada suami adalah kewajiban seorang istri. Akan tetapi ketaatan ini khusus berlaku dalam perkara-perkara yang baik dan mubah. Tidak ada kewajiban taat kepada seorang makhluk dalam berbuat maksiat kepada Sang Pencipta.

Para Fuqahâ' mengatakan: Siapa saja yang wajib ditaati, kewajiban taat kepadanya hanya berlaku dalam perkara yang mubah, kecuali dalam kondisi darurat. Ini sama dengan ketaatan kepada orangtua dan taat kepada pemerintah, yaitu ketaatan dalam perkara yang makruf (kebaikan).

Kita mengetahui bahwa orangtua berhak melarang anaknya untuk berjihad, jika hukumnya belum menjadi fardhu `ain.

Taat kepada suami tidak boleh dimanfaatkan untuk menzalimi, memaksa, dan berlaku sewenang-wenang kepada istri, karena ketaatan itu diwajibkan karena ada hikmah yang dikehendaki oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—di belakangnya, juga untuk kemaslahatan keluarga itu sendiri. Setiap yayasan, kantor, atau perusahaan pasti memiliki pemimpin yang memiliki kekuasaan dan berfungsi sebagai penentu kebijakan. Jika demikian halnya, sudah tentu institusi keluarga yang merupakan pondasi utama masyarakat muslim ini lebih memerlukan itu.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net