Haramnya Mengatakan: "Alangkah Buruknya Takdir Ini".

17-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Bolehkah kita mengucapkan kalimat: "Alangkah buruknya takdir ini?"

Jawaban:

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Perkataan seperti ini sama sekali tidak boleh diucapkan, karena dua hal:

Pertama, karena ia mengandung makna ketidaksenangan terhadap qadar (takdir) Allah, padahal seorang muslim dituntut untuk selalu ridha (lapang dada) menghadapi takdir Allah, baik takdir itu menyenangkan maupun tidak.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda, "Sesungguhnya besarnya balasan tergantung kepada besarnya ujian. Dan apabila AllahSubhânahu wa Ta`âlâmencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka (dengan suatu kesulitan). Maka barang siapa yang ridha menghadapi (ujian itu), maka ia berhak mendapatkan keridhaan (dari Allah), dan barang siapa yang marah (kesal), maka ia juga berhak mendapatkan kemarahan (dari Allah)." [HR. Ibnu Mâjah dan At-Tirmidzi. Menurut At-Tirmidzi: hasan gharîb. Menurut Al-Albâni: hasan]

Kedua, karena perkataan seperti ini mengandung makna ejekan terhadap qadar (takdir Allah), dan ini jelas tidak diperbolehkan.

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, "Tidak boleh kita mengatakan kalimat-kalimat seperti: 'Hikmah Allah telah berkehendak', 'Qudrah (kekuasaan) Allah telah berkehendak', 'Takdir Allah telah berkehendak', 'Perlindungan Allah telah berkehendak', dan berbagai bentuk penisbatan kata kerja kepada sifat (mengesankan bahwa sifat itulah yang melahirkan pekerjaan). Tapi kita harus mengatakan: 'Allah berkehendak', 'Ini terjadi karena hikmah dan perlindungan Allah', dan lain-lain."

Oleh karena itu, kita tidak boleh mengucapkan kata-kata tersebut karena yang berkehendak itu adalah Allah, bukan sifat hikmah-Nya, yang mentakdirkan itu adalah Allah, bukan sifat masyî`ah-Nya, dan begitu seterusnya. Hikmah dan masyî`ah merupakan sifat-sifat Allah yang bersifat maknawi. Sementara perbuatan harus dinisbatkan kepada pelakunya, bukan kepada sifat pelakunya.

Catatan tambahan: Kita tidak boleh menyebut bahwa Allah melakukan penghinaan (dengan mengatakan bahwa takdirnya buruk), walaupun kata penghinaan sendiri pernah Allah nisbatkan kepada dirinya, seperti dalam ayat (yang artinya): "(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela, dan (mencela) orang-orang yang tidak memiliki harta (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupan mereka, sehingga orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih." [QS. At-Taubah: 79]

Syaikh Ahmad Al-Hakami berkata, "Ketahuilah bahwa terkadang kita temukan sifat-sifat yang dinisbatkan oleh Allah kepada diri-Nya sebagai bentuk balasan dan keadilan. Dan ketika sifat tersebut dinisbatkan kepada Allah dalam bentuk itu, maka itu mengandung nilai pujian dan kesempurnaan (Allah). Tapi kita tidak boleh menjadikan sifat-sifat tersebut sebagai nama Allah, dan tidak boleh memakaikannya untuk hal-hal lain selain yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran. Misalnya yang lain adalah firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka." [QS. An-Nisâ: 142]

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net