Hukum Mempercayakan Jabatan Rendah dan Tinggi kepada Wanita

24-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Apa hukum mempercayakan kepada wanita untuk memangku jabatan kepemimpinan dalam suatu pekerjaan, misalnya sebagai direktur, kepala, atau penanggung jawab dalam lingkungan kerja yang bercampur baur (antara lelaki dan wanita)? Apakah benar jika kita berdalil dengan fakta bahwa dahulu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berdagang dengan harta Ummul mukminin Khadijah sebelum masa kenabian, dan beliau mengikuti semua kebijakan yang ditetapkan oleh Khadijah selaku pemilik harta dan perdagangan itu, lalu kita mengatakan bolehnya seorang wanita menjadi pemimpin bagi lelaki dalam suatu pekerjaan? Dan apakah benar jika kita katakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjabat sebagai pemimpin dalam bidang-bidang pekerjaan yang di sana bekerja kaum lelaki dan wanita, walaupun tidak terjadi khalwat, misalnya ia bisa menyampaikan instruksinya melalui telefon atau sarana-sarana teknologi modern lainnya?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Jabatan kepemimpinan dan posisi tertinggi harus dipegang oleh kaum laki-laki yang cakap. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat mensyaratkan kepemimpinan tertinggi Islam (khalifah) harus dipegang oleh laki-laki, sehingga tidak sah dipegang oleh wanita. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallambersabda, "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita." [HR. Al-Bukhâri dll.]

Demikian juga dengan jabatan-jabatan tinggi, seperti kehakiman,jumhur (mayoritas) ulama mensyaratkan harus dipegang oleh laki-laki.

Al-Hâfizh (Ibnu Hajar) berkata, "(Para ulama) telah sepakat mensyaratkan lak-laki untuk menjadi qâdhi (hakim), kecuali mazhab Hanafi, tetapi mereka juga mengecualikan masalah hudud. Sedangkan Ibnu Jarîr tidak mensyaratkannya sama sekali." [Fathul Bâri]

Ibnu Rusyd berkata, "Jumhur ulama berpendapat bahwa laki-laki adalah syarat sahnya suatu pemerintahan. Abu Hanifah berkata: 'Seorang wanita boleh menjadi hakim dalam masalah harta'. Ath-Thabari berkata: 'Boleh (seorang wanita) menjadi hakim secara mutlak dalam segala urusan'." [Bidâyatul Mujtahid]

Al-Khalîl dari mazhab Maliki berkata dalam, "Seorang hakim harus adil dan laki-laki." [Mukhtashar Al-Khalîl]

`Ulaisy, penulis kitab Minahul Jalîl, berkata, "Tidak sah kepemimpinan seorang wanita."

Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh mempercayakan kepada wanita untuk menduduki jabatan-jabatan tertinggi, karena akan menyebabkan bercampurnya laki-laki dengan perempuan, khalwat, dan tanggungan beban berat yang tidak sesuai dengan karakter seorang wanita.

Adapun jabatan-jabatan rendah yang mampu dilaksanakan dan diatur dengan baik oleh wanita, tidak ada halangan untuk mempercayakan kepadanya—Insyâ'allâh, misalnya: manajemen rumah sakit atau sekolah. Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—pernah mengangkat Asy-Syifa' bintu Abdillâh Al-`Adawiyyah—Semoga Allah meridhainya—untuk memimpin tugas hisbah (pengawasan Syariat) di pasar Madinah. Hal itu disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Ishâbah, ketika berbicara tentang biografi Asy-Syifa'. Namun, itu dengan syarat tidak menyebabkan terjadinya khalwat atau ikhtilat (bercampurbaurnya laki-laki dengan perempuan) yang diharamkan dalam Syariat.

Adapun yang disebutkan oleh saudara penanya tentang pekerjaan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam menjalankan perniagaan Khadijah, tidaklah dapat dijadikan sebagai alasan dan dalil dalam masalah ini, karena dua sebab: Pertama, hal itu terjadi sebelum masa kenabian; Kedua, memperdagangkan harta seorang wanita tidak berarti bahwa wanita tersebut menjadi pemimpin atas laki-laki.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net