Hukum Hadiah Perlombaan

18-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Apa pengertian hadiah, baik secara etimologi maupun terminologi, dan apa landasan syar`i untuk hadiah-hadiah perlombaan?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Hadiah secara bahasa berarti pemberian. Asal muasalnya, ada seorang pemimpin yang menghentikan musuh, dan di antara keduanya terbentang sungai. Sang pemimpin tersebut lantas berkata, "Siapa yang berhasil melewati sungai ini, maka ia akan mendapatkan ini." Sehingga setiap kali salah seorang dari mereka berhasil melewati sungai itu, ia berhak mengambil hadiah. Demikian dituturkan oleh penulis kamus Lisânul `Arab.

Termasuk dalam pengertian tersebut sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Dan berilah hadiah kepada utusan itu dengan seperti yang pernah aku berikan kepada mereka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Adapun secara terminologi, ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa.

Hukum hadiah berbeda-beda sesuai dengan bentuk dan tujuannya. Ada yang mandûb (disunnahkan), ada yang mubah, dan ada juga yang haram.

Di antara hadiah yang mandûb adalah hadiah untuk tamu, sebagaimana disebutkan dalam hadits, "Menjamu tamu adalah selama tiga hari, hadiahnya adalah sehari semalam, sementara selebihnya adalah sedekah." Artinya, tamu dijamu selama tiga hari, kemudian diberikan waktu kepadanya selama jangka tempuh perjalanan satu hari satu malam. Itu adalah jangka tempuh seorang musafir bisa melewati dari sumber air yang satu ke sumber air yang lain. Sedangkan waktu yang diberikan setelah itu adalah sedekah dan amal kebaikan.

Di antara bentuk hadiah juga adalah hadiah dari raja, dan hadiah perlombaan.

Adapun dalil tentang hadiah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwasanya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—memperlombakan di antara kuda-kuda, dan memberi hadiah kepada yang menang. Hadiah ini adalah untuk perlombaan yang dibolehkan agama seperti pacuan kuda dan memanah, dan hadiahnya disediakan oleh raja atau pemimpin. Maka dalam kondisi seperti ini, mengambil hadiah hukumnya boleh berdasarkan ijma` ulama. Dan yang menjadi sandaran ijma` ini adalah hadits yang disebutkan tadi. Atau hadiah tersebut disediakan oleh pihak asing yang bukan peserta perlombaan, jika raja tidak menyediakannya. Mayoritas ulama, di antaranya adalah imam madzhab yang empat berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini mengambil hadiah hukumnya boleh.

Dan bisa juga hadiah itu berasal dari salah seorang peserta lomba. Mayoritas ulama, di antaranya adalah para pengikut Madzhab Hambali, Hanafi, Syâfi`i, dan satu pandangan dalam Madzhab Maliki juga berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini mengambil hadiah hukumnya boleh.

Adapun jika hadiah itu berasal dari seluruh peserta perlombaan, lalu sebagian mereka mensyaratkan adanya pihak lain yang tidak membayar, yang dikenal dengan muhallil, selanjutnya siapa yang juara dialah yang berhak mendapatkan hadiah, baik yang juara itu adalah muhallil atau yang lainnya, maka yang demikian itu hukumnya boleh menurut mayoritas ulama dengan adanya syarat tersebut. Sedangkan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berpendapat sebaliknya, karena tidak ada dalil yang menyebutkan persyaratan tersebut. Barangkali sandaran mayoritas ulama dalam hal ini adalah untuk menjauhkan bentuk tersebut dari bentuk perjudian. Ini merupakan pendapat yang bijak. Karena judi menurut definisi para ulama adalah praktek yang tidak luput dari untung atau rugi dari kedua belah pihak yang berjudi. Sedangkan dalam bentuk tersebut apabila muhallil ikut lomba dan tidak mendapatkan hadiah, maka ia tidak untung dan juga tidak rugi.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net