Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Fatwa
Cari Fatwa

Hukum Melakukan Perjalanan agar Dapat Berbuka Puasa

Pertanyaan

Anak saya bermukim di Kanada, dan ia harus mengikuti ujian di bulan Ramadhân. Dua mata pelajaran di antaranya diujikan pada saat berpuasa, dua jam sebelum azan Magrib, yaitu saat-saat ia merasakan puncak kelelahan. Ia merasa sangat kelelahan ketika berpuasa, bahkan sampai menderita pusing. Apakah ada keringanan baginya untuk tidak berpuasa? Jika tidak, apakah boleh pada pagi hari ujian itu ia melakukan perjalanan lebih dari 80 Km sehingga dapat mengambil hukum orang yang melakukan safar (perjalanan jauh)?

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Ujian tidaklah termasuk uzur (halangan) yang membolehkan berbuka pada siang hari Ramadhân. Syaikh Al-'Allâmah Ibnu Bâz—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Seorang mukallaf (muslim yang sudah dibebani kewajiban Syariat) tidak boleh berbuka pada siang hari bulan Ramadhan disebabkan ujian, karena ujian tidak termasuk uzur syar'i yang membolehkan tidak berpuasa. Sebaliknya, ia diwajibkan untuk tetap berpuasa dan memindahkan waktu belajarnya ke malam hari jika ia merasa sulit melakukannya di siang hari."

Jadi, anak Anda harus takut kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dan tidak berbuka pada siang hari Ramadhân. Jika ia sengaja berbuka (tidak berpuasa) pada siang hari Ramadhân tanpa halangan yang membolehkannya, berarti ia telah melakukan sebuah dosa besar. Ia hendaknya menyadari bahwa ketaatan kepada Allah adalah salah satu faktor penolong terbesar untuk meraih apa yang diharapkan di dalam hidup ini. Karena Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." [QS. Ath-Thalâq: 4]

Rasa pusing yang Anda sebutkan itu juga bukanlah sebuah halangan yang membolehkannya untuk tidak berpuasa, karena kesulitan yang ada di dalamnya tidaklah besar, dan itu termasuk kategori kesulitan yang memang biasanya selalu ada dalam setiap tugas-tugas ibadah.

Adapun sengaja melakukan perjalanan agar mendapat keringanan berbuka tidaklah diperbolehkan, karena itu termasuk usaha berkilah untuk menggugurkan kewajiban, dan itu tidaklah dibolehkan dalam Syariat.

Syaikh Al-'Utsaimîn berkata, "Puasa, hukum dasarnya adalah wajib bagi manusia, bahkan ia merupakan salah satu rukun Islam sebagaimana sudah diketahui bersama. Dan seseorang tidak dibolehkan berkilah (mencari-cari jalan) untuk menggugurkan sesuatu yang wajib dalam Syariat. Oleh karena itu, jika seseorang sengaja melakukan perjalanan agar bisa berbuka, perjalanan itu menjadi haram baginya, dan berbuka itu juga haram baginya. Ia wajib bertobat kepada AllahSubhânahu wa Ta`âlâ—dan kembali dari perjalanannya, lalu berpuasa. Jika ia tidak kembali, ia wajib berpuasa dalam perjalanannya itu, walaupun ia sedang berstatus musafir. Kesimpulan jawabannya, manusia tidak boleh berkilah (mencari-cari jalan) untuk dapat bebuka pada bulan Ramadhan dengan melakukan perjalanan, karena berkilah untuk menggugurkan kewajiban tetap tidak dapat menggugurkan kewajiban itu, sebagaimana berkilah untuk menghalalkan yang haram tetap tidak akan merubah status haram itu."

Perlu dicatat, bahwa apabila seorang musafir kembali ke derah tempat ia bermukim dengan niat bermukim empat hari atau lebih maka hukum safar (status musafir) telah hilang darinya.

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait