Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Sejarah Islam
  5. Tokoh Islam
  6. Pemimpin

Harun Ar-Rasyîd

Harun Ar-Rasyîd

Mengapa engkau menangis, wahai Amirul Mukminin? Engkau menangis, padahal engkau adalah orang yang shalat 100 rakaat dalam sehari, dan bersedekah dari harta pribadimu 1000 dirham setiap hari? Engkau menangis, padahal engkau adalah orang yang meninggikan syiar-syiar Islam, engkau yang begitu menghormati para ulama dan dai, engkau yang setia berjihad di jalan Allah?!

Ia begitu sering menangisi dirinya. Air matanya senantiasa mengalir setiap kali diberi nasihat. Setiap kali nama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—disebut di sisinya, ia akan mengatakan, "Semoga Allah bershalawat kepada penghuluku."

Di kota Ray, sebuah kota tua yang terletak di bagian tenggara Teheran, lahirlah Harun Ar-Rasyîd ibnul Mahdi ibnu Ja'far Al-Mashûr, pada awal bulan Dzulhijjah tahun 148 H. Saat itu, Ayahnya, Al-Mahdi menjabat sebagai gubernur daerah Ray dan Khurasan yang berada di bawah kekuasaan Khalifah Al-Manshûr. Ayahnya kemudian diangkat menjadi khalifah, setelah Al-Manshûr meninggal dunia.

Harun Ar-Rasyîd tumbuh dalam asuhan orang tuanya yang sejak dini mendidiknya dalam kehidupan militer. Ayahnya mengangkatnya sebagai panglima pasukan yang dinamakan Ash-Shawâ`if (pasukan musim panas) ketika berangkat ke medan jihad pada musim panas, dan dinamakan dengan Asy-Syawâti (pasukan musim dingin) ketika berperang di musim dingin. Nama itu diberikan untuk menggetarkan hati pasukan Bizantium. Setelah diberikan kepercayaan memimpin seluruh wilayah barat Islam (Maghrib), ia ditunjuk oleh ayahnya sebagai putra mahkota untuk menggantikan saudaranya Al-Hâdi sebagai khalifah.

Ar-Rasyîd menjabat sebagai khalifah kaum muslimin pada tahun 170 H., saat ia berusia 25 tahun. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi salah satu kota terbesar di dunia dengan kebudayaan dan tradisi yang unik. Keadilannya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, mulai dari yang kuat sampai kepada yang lemah, yang sakit, dan yang miskin. Masa pemerintahannya bersinar dengan banyaknya ulama besar seperti Imam Malik, Al-Laits ibnu Sa'ad, Al-Kisâ`i, dan Muhammad ibnul Hasan, salah seorang sahabat Abu Hanîfah.

Ar-Rasyîd adalah sosok yang dijadikan teladan dalam ketawadhukan. Abu Mu'awiyah Adh-Dharîr (bermata buta), seorang ulama hadits pernah bercerita, "Pada suatu ketika, aku makan bersama Ar-Rasyîd. Kemudian seseorang yang tidak aku kenal menuangkan air ke tanganku. Ar-Rasyîd lalu berkata, 'Tahukah engkau siapa yang telah menuangkan air untukmu?' Aku menjawab, 'Tidak'. Ia lalu berkata, 'Akulah yang menuangkannya demi memuliakan ilmu'."

Rasa takutnya kepada Allah benar-benar telah sampai ke level tertinggi. Tubuhnya akan gemetar dan isak tangisnya akan terdengar jika seseorang menasihatinya. Dalam riwayat diceritakan bahwa ia berteman dengan Abul 'Atâhiyah, seorang penyair terkenal. Suatu ketika, Harun memerintahkan salah seorang prajuritnya untuk memata-matai dan memberitahu kepadanya apa yang dikatakan oleh Abul 'Atâhiyah. Pada suatu hari, mata-matanya itu melihat Abul 'Atâhiyah menulis di dinding, "Kita berjalan menuju Penguasa Hari Pembalasan. Pada hari itu, orang yang berkesumat akan berkumpul di hadapan Allah."

Mata-mata itu pun mengabarkan kepada Ar-Rasyîd apa yang ia saksikan. Ar-Rasyîd lalu menangis. Beberapa waktu kemudian, ia mengundang Abul 'Atâhiyah, lalu meminta maaf kepadanya. Saat itu, ia juga memberi Abul 'Atâhiyah uang sebanyak 1000 dinar.

Ar-Rasyîd adalah seorang yang sering menunaikan ibadah haji dan berjihad. Biasanya, ia selalu menyelang-nyelingi antara haji dan jihad. Ketika berangkat menunaikan ibadah haji, ia biasanya membawa 100 orang fuqaha dan anak–anak mereka. Jika ia tidak berangkat haji, ia akan membiayai 300 orang untuk menunaikan rukun Islam kelima itu.

Kendatipun begitu lembut, transparan, dan zuhud, Ar-Rasyîd juga merupakan seorang pemberani dan tidak pernah takut kepada apa pun dalam menjalankan perintah Allah. Ia begitu tegas membela kehormatan Agamanya, keras bagaikan besi di hadapan musuh-musuh-Nya.

Pada tahun 187 H., raja Romawi mengkhianati perjanjian damai antara kaum muslimin dengan Ratu Dzini, ratu Romawi yang sebelumnya berkuasa. Sang raja menulis surat kepada Ar-Rasyîd yang berisi: "Sesungguhnya ratu yang sebelumku telah menjadikan engkau seperti seekor burung raksasa, dan menganggap dirinya seperti seekor burung pipit. Karena itu, ia mengantarkan hartanya kepadamu, karena kelemahan dan kebodohan perempuan. Setelah engkau membaca suratku ini, kembalikanlah harta-hartanya yang telah engkau ambil itu. Jika tidak, maka bersiaplah untuk berperang."

Ar-Rasyîd lalu membalas surat itu dengan mengatakan, "Aku telah membaca suratmu. Dan jawabannya adalah apa yang akan engkau lihat, bukan apa yang engkau dengar." Kemudian ia membawa pasukan besar untuk memerangi raja Romawi itu. Saat itu, ia berhasil menaklukkan kota Heraklius, dan memperoleh kemenangan besar.

Pada masa Ar-Rasyîd, tidak ada seorang muslim pun yang berada dalam tawanan musuh. Sepanjang hayatnya, ia senantiasa mencintai jihad dan terus memperluas wilayah Islam. Ia berperang melawan Romawi, sehingga berhasil menaklukkan daerah Herakla dan sampai ke Ankara. Ia kemudian mengarahkan pasukannya menuju Khurasan, sehingga sampai ke kota Thus. Di sana, ia jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 3 Jumâdil Âkhir tahun 193 H.

Saat Harun Ar-Rasyid meninggal, para ulama berandai-andai sekiranya mereka bisa menjadi tebusan bagi kematiannya. Al-Fudhail ibnu 'Iyâdh berkata, "Tidak ada kematian seseorang yang lebih berat terasa bagiku selain kematian Amirul Mukminin Harun Ar-Rasyîd. Aku rela, seandainya Allah memotong jatah usiaku untuk ditambahkan ke usianya."

Dalam riwayat diceritakan bahwa pada saat mengalami sakaratul maut, Harun Ar-Rasyîd berkata, "Ya Allah, berilah kami manfaat dengan perbuatan baik yang kami lakukan, dan ampunilah keburukan (dosa-dosa) kami. Wahai Dzat yang tidak pernah mati, kasihilah manusia yang akan mati ini."

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait