Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Sejarah Islam
  5. Tokoh Islam
  6. Ulama

Muhammad ibnu Abdul Wahhab

Muhammad ibnu Abdul Wahhab

Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Sulaiman ibnu Ali At-Tamimi Al-Hambali An-Najdi dilahirkan di desa `Uyainah yang terletak di Nejad, barat laut kota Riyadh, pada tahun 1115 H. Ia tumbuh dalam asuhan sebuah keluarga shalih yang meneladani Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan mengikuti sunnah beliau dalam kehidupan mereka. Bapaknya adalah seorang qâdhi (hakim) di `Uyainah. Ia mengarahkan Muhammad kecil untuk menghafal Al-Quran dan mengajarkannya fiqih, sehingga ia tumbuh sebagai anak yang baik, sungguh dalam belajar, dan menghafal banyak hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam.

Ketika beranjak remaja, Muhammad ibnu Abdul Wahhab mulai merindukan Baitul Harâm (Mekah). Ia pun berangkat ke sana, dan belajar kepada beberapa ulama tanah suci yang mulia. Kemudian ia pergi ke Madinah. Di sana ia berkumpul dengan para ulama dan belajar kepada mereka. Ketiga tinggal di Madinah, ia bertekad untuk pergi menuntut ilmu ke Iraq.

Dakwahnya agar seluruh kaum muslimin kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bermula di kota Basrah. Ia berdakwah dengan keberanian seorang ulama muslim yang berusaha menjauhkan segala khurafat dan bid`ah yang melekat pada Agamanya. Dakwahnya ternyata mengundang kemarahan sebagian ulama Basrah. Mereka sepakat untuk melawan dan menyakitinya. Hal itu memaksanya untuk kembali ke kampung halamannya dalam keadaan sedih. Ketika sampai di kampungnya, ternyata bapaknya sudah pindah ke perkampungan Had Yamla. Ia pun pergi ke sana mengikuti orang tuanya. Ia menetap di sana, dan dikenal masyarakat dengan ketakwaan dan kejujurannya dalam beragama. Ia pun kembali menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Ia juga meminta para penguasa untuk menerapkan hukum Allah dan menghukum pelaku kriminal yang merampok, mencuri, dan menyakiti orang lain. Sikap seperti itu mendorong sebagian lawan-lawannya untuk melakukan konspirasi membunuhnya.

Muhammad ibnu Abdul Wahhab mengetahui niat busuk musuh-musuhnya itu, sehingga ia pun pulang ke kampung halamannya (`Uyainah). Di sana, ia disambut dan dimuliakan oleh pemimpin kampungnya, yaitu Utsman ibnu Muhammad ibnu Ma`mar. Utsman berkata kepadanya, "Teruslah berdakwah kepada jalan Allah. Kami akan mendukungmu." Ia pun melanjutkan aktivitasnya mengajarkan kaum muslimin berbagai perkara Agama, mengajak mereka kepada kebaikan, menyeru mereka melakukan perbuatan ma`ruf, serta mencegah mereka melakukan kemungkaran, sampai ia terkenal di kampungnya dan daerah-daerah sekitar. Orang-orang pun berdatangan kepadanya untuk mendengar dan menimba ilmunya yang luas. Ia terus menerangi jalan banyak orang, menyeru mereka ke jalan kebenaran, dan menasihati mereka untuk menjauhi jalan kesesatan, sehingga ia dicintai dan didukung oleh kaum muslimin. Pengaruhnya semakin kuat terhadap pengikutnya, sehingga ia bisa menerapkan syariat Allah di tengah mereka.

Ketika gubernur Al-Ihsâ' mengetahui sepak terjang Muhammad ibnu Abdul Wahab, ia pun mengkhawatirkan kelanggengan kekuasaannya. Karena itu, ia kemudian berusaha membunuhnya. Ketika Muhammad ibnu Abdul Wahhab mengetahui rencana itu, ia pun pindah ke daerah yang bernama Dir`iyyah. Gubernur daerah itu bernama Muhammad ibnu Sa`ûd, seorang laki-laki yang shalih. Allah ternyata memberi ilham kepada Muhammad ibnu Sa`ûd untuk datang ke rumah Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Dir`iyyah. Muhammad ibnu Sa`ûd mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata, "Wahai Syaikh Muhammad, berbahagialah dengan datangnya pertolongan, berbahagialah dengan datangnya keamanan dan bantuan." Muhammad ibnu Abdul Wahhab membalas, "Dan Anda juga demikian. Berbahagialah dengan datangnya pertolongan, bantuan, dan keselamatan yang mulia. Ini adalah agama Allah. Siapa yang menolong agama Allah ini niscaya Allah akan menolongnya, dan siapa yang meneguhkan agama-Nya niscaya Allah pun akan meneguhkannya."

Muhammad ibnu Sa`ûd berkata, "Wahai Syaikh, aku akan membaiat engkau untuk menjalankan agama Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya. Hanya saja kami takut, jika kami mendukung dan menolongmu, lalu Allah memberimu kemenangan melawan musuh-musuh Islam, engkau akan mencari tempat tinggal yang lain dan meninggalkan daerah kami."

Muhammad ibnu Abdul Wahhab berkata, "Aku tidak akan membaiatmu untuk itu. Akan tetapi aku akan membaiatmu bahwa darah akan dibalas dengan darah, kehancuran akan dibalas dengan kehancuran, dan aku tidak akan keluar dari daerahmu selamanya."

Gubernur Muhammad ibnu Sa`ûd dan Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab kemudian saling berjanji untuk menegakkan agama Allah. Syaikh Muhammad pun melanjutkan usahanya menghapus berbagai khurafat dan kebatilan yang tidak diridhai Islam, seperti sihir dan perdukunan yang tersebar di Nejad dan sekitarnya. Para tukang sihir dan dukun-dukun itu mengaku bahwa mereka mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Di samping itu, di daerah Nejad juga terdapat orang–orang yang mengaku sebagai wali Allah. Bahkan lebih dari itu, di sana juga ada orang yang menyembah pohon-pohon dan bebatuan. Syaikh Muhammad terus mendakwahi mereka dengan bantuan gubernur Muhammad ibnu Sa`ûd. Ia juga mengajarkan fikih, tafsir, hadits, dan berbagai ilmu yang bermanfaat lainnya. Ia juga mengirim surat kepada para gubernur di daerah-daerah tetangga untuk menasihati mereka agar mengamalkan Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam, serta menerapkan syariat Islam.

Ketenaran Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab semakin luas di seluruh dunia Islam. Di India, Mesir, Afganistan, Syam, dan negeri-negeri lainnya, banyak orang yang terpengaruh oleh dakwahnya. Dalam berdakwah, Syaikh Muhammad menanggung banyak cobaan. Namun demikian, ia terus berjuang menegakkan agama Allah, pertama dengan lisannya, kedua dengan pedangnya, untuk menegakkan kebenaran dan menghapus kebatilan. Dalam usahanya itu, ia dibantu oleh keluarga Sa`ûd yang setia menopangnya.

Muhammad ibnu Abdul Wahhab berjihad selama lebih 50 tahun untuk menyeru ke jalan Allah. Ia memiliki peran besar dalam mengembalikan manusia kepada syariat Allah, menjauhi kebatilan, dan kembali kepada kebenaran. Akhirnya, cahaya Allah bersinar lagi di Jazirah Arab dan daerah sekitarnya. Mesjid-mesjid kembali semarak dengan kajian Al-Quran dan sunnah Nabi yang suci. Ketika ia wafat pada tahun 1206 H., anak-anak dan cucu-cucunya melanjutkan dakwah dan jihadnya, mengingatkan manusia agar tidak jatuh ke dalam bid`ah dan khurafat. Sampai hari ini pun, dakwahnya masih memiliki pengikut dan pendukung di Jazirah Arab dan sekitarnya.

[Sumber: Ensiklopedia Keluarga Muslim]

Artikel Terkait