Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Haji dan Umrah

Aku Datang Memenuhi Panggilan-Mu, Ya Allah, Tiada Sekutu Bagi-Mu

Aku Datang Memenuhi Panggilan-Mu, Ya Allah, Tiada Sekutu Bagi-Mu

Tauhid (mengesakan) Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan beribadah hanya kepada-Nya adalah pondasi dasar dan titik poros Agama yang menjadi muara semua amal ibadah. Untuk tujuan tauhid itulah Allah—Subhânahu wata`âlâ—menciptakan para makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." [QS. Adz-Dzâriyât: 56]. Menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Maksudnya adalah supaya mereka mengesakan-Ku."

Untuk tujuan tauhid itu pulalah Allah—Subhânahu wata`âlâ—mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu'." [QS. An-Nahl: 36]

Dan demi tegaknya tauhid itu jugalah jihad diserukan, surga dan neraka ditawarkan, serta manusia terbagi menjadi dua golongan; celaka dan bahagia, atau pelaku kebaikan dan pendosa. Oleh karena itu, banyak nash Agama yang datang untuk mengagungkan tauhid dan menjauhkan hal-hal yang dapat menodainya.

Dalam kaitannya dengan ibadah haji, salah satu titik paling penting yang ingin ditancapkan oleh ibadah haji adalah tauhid. Ibadah haji harus dapat membuat ajaran tauhid terpatri di dalam hati dan tertanam di dalam jiwa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidaklah mensyariatkan ibadah haji dan memerintahkan pembangunan Ka`bah kecuali untuk menegakkan tauhid itu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), 'Janganlah engkau memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku, dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang rukuk dan sujud." [QS. Al-Hajj: 26]. Dan dalam ayat haji, Allah—Subhânahu wata`âlâ—memperingatkan hamba-hamba-Nya agar menjauhi kekotoran syirik (yang artinya): "Maka jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia." [QS. Al-Hajj: 30-31]

Jika Anda merenungkan amalan-amalan dalam ibadah haji, maka Anda akan menemukan bahwa amalan-amalan tersebut sangat kental dengan nilai-nilai tauhid. Bacaan talbiyah—yang merupakan syi`ar ibadah haji—misalnya, di dalamnya terkandung seruan tauhid dan pengesaan terhadap Allah dalam beribadah dan berniat. Hal itu bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh kaum jahiliah yang memproklamirkan nilai kemusyrikan dalam talbiyah mereka. Mereka mengucapkan dalam talbiyah mereka: "Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau memilikinya beserta apa yang ia miliki."

Jabir—Semoga Allah meridhainya—pernah menceritakan sifat haji Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Beliau memulai ihram dengan mengumandangkan tauhid, 'Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, segala nikmat, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu." [HR. Muslim]

Dalam shalat sunnah thawaf dua rakaat, orang yang menunaikan haji atau umrah dianjurkan membaca surat Al-Kâfirûn dan Al-Ikhlâsh. Hal itu sesuai dengan tuntunan yang dicontohkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Selain itu, juga karena kandungan kedua surat tersebut memuat seruan untuk menegakkan tauhid, dan memusnahkan kemusyrikan serta para pengikutnya. Jabir—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Dalam dua rakaat tersebut beliau membaca surat tauhid (Al-Ikhlâsh) dan Qul yâ ayyuhal kâfirûn." [HR. Abu Dâwud]. Dan dalam riwayat lain dikatakan, "Dalam dua rakaat thawaf, beliau membaca dua surat Al-Ikhlâsh; Qul yâ ayyuhal kâfirûn dan Qul huwallâhu ahad."

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga sangat antusias memproklamasikan tauhid di tempat-tempat yang dahulunya dijadikan oleh kaum musyrikin sebagai lokasi kemusyrikan dan penyembahan selain Allah. Oleh karena itu, beliau mengumandangkan pernyataan tauhid ketika berada di atas bukit Shafa dan Marwah. Jabir—Semoga Allah meridhainya—menceritakan, "Beliau memulai sa`i dari bukit Shafa, lalu naik ke atasnya hingga melihat Ka`bah, lantas menghadap ke kiblat (Ka`bah) sembari mengumandangkan tauhid, bertakbir, dan mengucapkan, 'Lâ ilâha illallâhu wahdaHu lâ syarîka laHu laHul mulku walaHul hamdu wa Huwa `alâ kulli syai'in qadîr, lâ ilâha illallâhu wahdaHu anjaza wa`daHu wanashara `abdaHu wa hazamal ahzâba wahdaHu (Tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Pemilik seluruh kerajaan dan segenap pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allah semata, Dzat yang selalu memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan dengan kekuatannya sendiri mengalahkan bala tentara musuh)'. Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Selanjutnya beliau menuju Marwah, dan sesampainya di sana beliau melakukan hal yang sama dengan ketika berada di Shafa." [HR. Muslim]

Begitu juga ketika berada di Arafah, doa yang paling sering beliau ucapkan adalah: "Lâ ilâha illallâhu wahdaHu lâ syarîka laHu laHul mulku wa laHul hamdu, biyadiHil khairu, wa Huwa `alâ kulli syai'in qadîr (Tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Pemilik seluruh kerajaan dan segenap pujian, di tangan-Nya-lah segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)." [HR. Ahmad]

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga sangat antusias menyelisihi kaum musyrikin dalam banyak amalan haji. Beliau menjadikan Arafah sebagai tempat wuquf beliau dan kaum muslimin, berbeda dengan kaum kafir Quraisy yang menjadikan Muzdalifah sebagai tempat wuquf mereka, dan mereka mengatakan, "Kami tidak akan bertolak kecuali dari haram." Selain itu, beliau juga memilih bertolak dari Arafah setelah terbenam matahari, untuk menyelisihi kaum musyrikin yang bertolak dari tempat wuquf mereka sebelum terbenam matahari.

Dahulu kaum jahiliyah bertolak dari Masy`aril Harâm (Muzdalifah) setelah terbit matahari, di mana mereka berkata, "Terbitlah wahai matahari di atas gunung Tsabîr, supaya kami bertolak untuk menyembelih hewan kurban." Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pun menyelisihi mereka dan bertolak dari Muzdalifah sebelum terbit matahari.

Dan dalam khutbah Haji Wada`, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—membatalkan seluruh amalan dan simbol jahiliah. Ketika itu beliau bersabda, "Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang merupakan urusan jahiliah berada di bawah kakiku (batal dan tidak berlaku lagi)." [HR. Muslim]

Semua hal di atas menguatkan bahwa ibadah haji mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai tauhid. Orang yang mendatangi makam orang-orang yang sudah meninggal untuk menyampaikan permohonan, mempersembahkan kurban, dan ibadah lainnya, Atau meyakini bahwa ada selain Allah yang dapat mendatangkan bahaya dan manfaat, apakah orang-orang seperti itu dapat mewujudkan nilai-nilai haji? Sementara Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Yang (berbuat) demikian adalah Allah, Tuhan kalian, kepunyaan-Nya-lah kerajaan (kekuasaan). Dan orang-orang yang kalian seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun hanya setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian; dan kalau pun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepada kalian sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." [QS. Fâthir: 13-14]

Orang yang bergantung kepada ahli sihir, para dukun, dan para pengikut Dajjal, karena menganggap bahwa mereka mengetahui hal-hal yang ghaib, apakah orang yang demikian itu memahami makna haji? Lalu orang yang lebih memilih hukum selain hukum Allah, atau orang yang meyakini bahwa ada selain Allah yang juga memiliki kekuasaan untuk membuat syariat dan aturan halal dan haram bagi manusia, apakah orang-orang seperti itu memahami makna haji? Sedangkan Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah berfirman (yang artinya): "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [QS. Asy-Syûrâ: 21]. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga telah berfirman (yang artinya): "Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah." [QS. Al-A`râf: 54]

Begitu pula orang yang loyal kepada musuh Allah, atau senang menyerupai sifat dan perilaku mereka, apakah orang yang demikian itu memahami makna haji?

Sesungguhnya semua itu bertentangan dengan hakikat ibadah haji yang luhur. Dan orang yang berhaji wajib membersihkan diri dari semua hal itu. Wahai saudaraku yang sedang berhaji, jadikanlah nilai-nilai tauhid sebagai pegangan Anda saat menjalankan rangkaian ibadah haji, sehingga dengan demikian haji yang Anda jalankan menjadi mabrur, dan amal yang Anda lakukan menjadi amal shalih yang diterima di sisi Allah.

Artikel Terkait