Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. ADAB ISLAM
  4. Adab Kepada Diri Sendiri

Larangan Berputus Asa dan Pesimis Terhadap Rahmat Allah

Larangan Berputus Asa dan Pesimis Terhadap Rahmat Allah

Oleh: Syaikh Musthafa Al-'Adawy

Tidak selayaknya seseorang berputus asa dari rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ. Pesimis dan putus asa terhadap rahmat Allah adalah salah satu dosa besar.

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat." [QS. Al-Hijr: 56]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir." [QS. Yûsuf: 87]

Sebagian ulama berpandangan bahwa maksud dari firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan." [QS. Al-Baqarah: 195] adalah seorang hamba yang berbuat dosa, lalu ia mengira bahwa dosanya tidak akan diampuni, sehingga ia tidak meminta ampun kepada Allah dan enggan kembali kepada-Nya. Sebab itulah ia terjatuh ke dalam kebinasaan.

Disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika seseorang berbuat dosa, kemudian ia berkata, 'Wahai Tuhan, aku telah berbuat dosa, karena itu ampunilah aku', Allah akan berkata: 'Hamba-Ku telah berbuat dosa dan ia tahu bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan memberi hukuman karena dosa itu'. Kemudian orang tersebut berhenti dari perbuatan dosa selama beberapa waktu, lalu kembali berbuat dosa, dan kembali berkata, 'Wahai Tuhan, ampunilah dosaku'. Allah berkata: 'Hamba-Ku tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan memberi hukuman karena dosa itu'. Orang tersebut lalu berhenti dari perbuatan dosa selama beberapa waktu, dan kemudian berbuat dosa lagi, lalu kembali berkata, 'Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku'. Allah pun kembali berkata: 'Hamba-Ku tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan memberi hukuman karena dosa itu. Lakukanlah apa yang engkau inginkan, sesungguhnya aku telah mengampuni dosa-dosamu'." [HR. Muslim]

Simak pulalah kisah seorang lelaki yang gemar meminum khamar, lalu dihadapkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Kisah itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar—Semoga Allah meridhainya, bahwa ada seorang lelaki pada masa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang bernama Abdullah. Ia digelari Himar (keledai). Ia pernah membuat Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tertawa. Rasulullah juga pernah mencambuknya karena ia meminum arak.

Suatu ketika, ia dihadapkan kepada Nabi atas kesalahan yang sama, lalu Nabi memerintahkan untuk mencambuknya. Lalu ada seorang lelaki yang berkata, "Ya Allah, laknatlah ia! Sudah sering sekali ia dihadapkan kepada Rasulullah atas kesalahan yang sama!" Tetapi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah kalian melaknatnya! Demi Allah, aku tidak tahu bila ternyata ia mengasihi Allah dan Rasul-Nya." [HR. Al-Bukhâri]

Di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ada seorang lelaki yang berkata (ketika melihat lelaki peminum itu dihukum), "Ada apa dengan lelaki ini? Semoga Allah menghinakannya." Lalu Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah kalian menjadi penolong Syetan atas saudara kalian."

Sudah semestinya seorang hamba tidak berputus asa dari rahmat Allah—Subhânahu wata`âlâ. Seharusnya setiap kali ia terjatuh dan terjebak ke dalam perbuatan dosa, ia segera meminta ampunan kepada Allah. Sebab tidak seorang pun manusia yang terpelihara dari dosa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman tentang perihal orang-orang bertakwa yang disiapkan Surga sebagai ganjaran mereka (yang artinya): "Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian, dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." [QS. Âli 'Imrân: 133]

Allah juga menyebutkan sebagian sifat-sifat mereka (yang artinya): "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal." [QS. Âli 'Imrân: 135-136]

Bahkan seorang yang bertakwa sekalipun bisa saja melakukan sebuah kesalahan. Ia sangat mungkin terjerumus ke dalam sebuah perbuatan nista, namun ia segera sadar dan kembali kepada Allah, serta meminta ampunan-Nya.

Lihatlah bagaimana kondisi para Nabi—`Alaihimus salâm, yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul tidak takut di hadapan-Ku. Tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarnya kezalimannya dengan kebaikan, sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. An-Naml: 10-11]

Lihatlah bagaimana Nabi Musa—`Alaihis salâm—ketika membunuh seseorang. Ia berkata sebagaimana digambarkan dalam firman Allah (yang artinya): "'Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku'. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Qashash: 16]

Begitu pula mereka yang diceritakan Allah sebagai orang-orang yang membawa kebenaran dan tunduk kepada kebenaran. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman tentang mereka (yang artinya): "Agar Allah menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan, dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan." [QS. Az-Zumar: 35]

Ini menunjukkan bahwa mereka juga pernah melakukan kesalahan.

[Disadur dari Kitab "Al-Istighfâr", karya Syaikh Musthafa Al-'Adawy]

Artikel Terkait