Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Ramadhan; Peluang Menggapai Takwa

Ramadhan; Peluang Menggapai Takwa

Saudara-saudara seiman, waktu kedatangan Ramadhan semakin dekat dengan segenap cahaya dan aroma wanginya, dengan semua kebaikan dan kesuciannya. Ramadhan datang untuk memompa daya kemauan dan keteguhan hati dalam diri manusia, menumbuh-kembangkan sifat sabar, serta membiasakan diri tahan menghadapi kesulitan hidup dan tegar menerjang segala rintangan.

Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—biasa mengucapkan selamat kepada para shahabat beliau ketika datang bulan Ramadhan. Beliau memberi mereka kabar gembira dengan bersabda, "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa di dalamnya. Pada bulan ini, pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup, dan Syetan-syetan durhaka dibelenggu. Di bulan ini, terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikannya sungguh benar-benar telah terhalang (untuk mendapatkan kebaikan)." [HR. Ahmad dan An-Nasâ'i]

Dalam riwayat lain, terdapat tambahan redaksi: "Dan setiap malam ada (Malaikat) yang menyeru, 'Wahai pencari kebaikan, datanglah! Wahai pencari keburukan, tahanlah!' Ada banyak orang yang Allah bebaskan dari Neraka (pada bulan ini). Dan itu terjadi setiap malam." [HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hibbân]

Ramadhan tidak ubahnya sebuah madrasah yang kental dengan nuansa pendidikan, tempat seorang mukmin berlatih memompa kemauannya untuk menjaga batasan-batasan (hukum) Tuhannya dalam segala hal, menerima ketentuan-Nya dalam segala hal, melaksanakan perintah dan syariat-Nya dalam segala hal, dan meninggalkan segala hal yang akan mendatangkan mudharat kepadanya, baik pada Agama, dunia, maupun tubuhnya. Ia diharapkan dapat mengontrol seluruh anggota tubuh dan perasaannya dari segala hal yang tidak semestinya dengan menjalani latihan secara utuh di bulan yang penuh berkah ini, agar ia mampu meraih ketakwaan kepada Allah di setiap waktu dan masa, dalam kondisi apa pun dan di mana pun. Ini akan tercapai bila ia berusaha sungguh-sungguh menjaga diri di madrasah yang penuh kasih sayang Allah ini, siang-malam tanpa henti, untuk meninggalkan segala dosa dan keburukan, serta menahan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang tidak dibolehkan. Dengan cara inilah ia baru akan betul-betul lulus dari madrasah ini, sehingga ia keluar sebagai pemenang dari perjuangan melawan nafsu, menabung segala potensi diri, materi, dan mentalnya untuk berjuang melawan musuh-musuhnya.

Bulan suci ini memang pantas menjadi peluang emas untuk sejenak merenung mengintrospeksi diri, demi memperbaiki apa yang telah lalu dan berupaya meraih yang akan datang, sebelum nafas berakhir, sebelum rintihan kesakitan keluar dari mulut, dan sebelum sakaratul maut mencekik. Bulan ini sungguh patut menjadi peluang untuk menggapai takwa, karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah membukakan berbagai sarana kebaikan dan ketaatan di bulan ini. Pada bulan ini, jiwa-jiwa manusia sedang bersemangat melakukan ketaatan. Hati para hamba merindukan ibadah. Di bulan ini, Syetan-syetan yang durhaka dibelenggu, sehingga mereka tidak bisa melakukan apa yang biasanya mereka lakukan di luar bulan ini. Di bulan ini, pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup rapat, dan di setiap malamnya Allah menyelamatkan banyak hamba dari Neraka. Di bulan ini pula terdapat malam Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Betapa luar biasanya kabar gembira ini. Seandainya kita renungkan dengan penuh kesadaran dan pemahaman, kita pasti akan bersegera melakukan segala bentuk kebaikan, berpacu dalam ibadah, meninggalkan semua penyebab kebinasaan, mengabaikan syahwat, dan menjadikan Ramadhan sebagai peluang untuk mencapai takwa.

Ya, Ramadhan adalah peluang untuk menggapai takwa, agar seorang hamba termasuk ke dalam golongan hamba-hamba pilihan, orang-orang shalih terbaik. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." [QS. Al-Baqarah: 183]

Kalimat: "agar kalian bertakwa" menjadi 'illat (alasan) diwajibkannya puasa. Ini sekaligus menjelaskan manfaat terbesar dan hikmah teragung dari ibadah puasa, yaitu terbentuknya ketakwaan kepada Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ.

Amîrul mukminîn Umar ibnul Khaththâb pernah bertanya kepada sahabat yang mulia, Ubai ibnu Ka`ab—Semoga Allah meridhai mereka, tentang pengertian takwa. Ubai pun menjawab, "Wahai Amîrul mukminîn, tidakkah Anda pernah melalui jalan yang berduri?" Umar menjawab, "Ya, pernah." Ubai bertanya lagi, "Lalu, apa yang Anda perbuat?" Umar menjawab, "Aku waspada dan berusaha keras." Maksudnya, berupaya keras menghindari duri-duri itu. Ubai berkata, "Itulah takwa."

Jadi, takwa adalah sensitivitas di dalam hati nurani, kebeningan perasaan, rasa takut yang berkesinambungan, kehati-hatian yang terus-menerus, serta kewaspadaan terhadap duri-duri di jalan kehidupan. Karena jalan kehidupan memang dikepung oleh duri-duri keinginan dan syahwat, duri-duri ketakutan dan kekhawatiran, duri-duri godaan dan kejahatan yang membinasakan, duri-duri pengharapan palsu kepada makhluk yang tidak memiliki kemampuan mengabulkan harapan, duri-duri ketakutan palsu kepada makhluk yang tidak bisa memberi manfaat atau mudharat, dan puluhan duri-duri lainnya.

Inilah pengertian takwa. Jika masih belum jelas, mari kita simak perkataan Ali—Semoga Allah meridhainya—ketika ia mengungkapkan pengertian takwa, "Ia (takwa) adalah takut kepada Dzat Yang Mahamulia, mengamalkan tuntunan Al-Quran, merasa cukup dengan yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari kematian."

Inilah hakikat dan pengertian takwa. Lantas, di manakah posisi kita dari nilia-nilai yang bersinar terang dan penuh cahaya ini? Sungguh, masyarakat muslim generasi awal adalah contoh ideal tentang kesucian, keagungan akhlak, serta semangat kompetisi menuju keridhaan Allah. Ketakwaan menjadi ciri yang menonjol dalam kehidupan generasi mulia yang pernah memimpin dunia dengan keberanian dan perjuangan kerasnya tersebut. Generasi yang menjelajah bumi dari timur hingga barat dengan membawa akhlak dan keutamaan-keutamaannya.

Sang pemimpin orang-orang bertakwa, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah teladan ketakwaan, wara' (menjauhkan diri dari dosa), serta rasa takut yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Agung. Beliau selalu bangun malam, melakukan Tahajud hingga kedua telapak kaki beliau pecah-pecah. Dari dada beliau terdengar suara gelegak isak tangis, seperti suara air mendidih di dalam periuk. Padahal beliau adalah orang yang telah diampuni dosa-dosanya, baik yang terdahulu maupun yang akan datang.

Adapun shahabat beliau yang mulia sekaligus khalifah pengganti beliau yang agung, Abu Bakar Ash-Shiddiq—Semoga Allah meridhainya, diriwayatkan pernah berkata, "Andai aku menjadi daun-daun pohon yang digigit lalu dimakan!!"

Abu Bakar memiliki seorang pelayan yang biasa membawakan makanan untuknya. Di antara kebiasaan Abu Bakar adalah selalu bertanya kepada pelayannya tentang sumber makanan yang dibawakan untuknya, demi menjaga diri dari setiap yang haram. Suatu kali, pembantunya datang membawakan makanan, tapi ia lupa bertanya seperti biasa. Ketika ia telah memulai makan satu suap, si pelayan bertanya kepadanya, "Wahai khalifah Rasulullah, mengapa Anda tidak bertanya kepadaku seperti biasanya?" Abu Bakar segera bertanya, "Dari mana makanan ini, wahai anak muda!" Si pelayan menjawab, "Aku diberi makanan ini oleh orang-orang yang pada masa jahiliyah pernah aku bantu dengan melakukan praktek perdukunan."

Mendengar itu, Abu Bakar tampak gemetar ketakutan. Ia serta merta memasukkan tangannya ke dalam mulutnya, memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya, seraya berkata, "Demi Allah! Seandainya suapan tadi tidak keluar kecuali bersama nyawaku, niscaya aku akan tetap mengeluarkannya." Semua itu ia lakukan karena demikian dahsyatnya rasa takut, kehati-hatian, dan kewaspadaannya terhadap segala benda yang haram.

Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—juga tidak kalah menakjubkan. Ia pernah mendengar seseorang membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya." [QS. Ath-Thûr: 13]. Ia langsung jatuh sakit selama tiga hari, dan orang-orang pun datang menjenguknya.

Bahkan suatu ketika, ia pernah membaca firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian), karena sesungguhnya mereka akan ditanya." [QS. Ash-Shâffât: 24]. Ia jatuh sakit selama sebulan, dan orang-orang datang menjenguknya.

Ali ibnu Abi Thalib—Semoga Allah meridhainya—pun demikian. Ia pernah menggenggam janggutnya sendiri di kegelapan malam seraya berkata, "Wahai dunia! Perdayalah orang selain aku. Apakah untukku engkau berhias, ataukah kepadaku engkau merindu? Aku telah mentalakmu dengan talak tiga. Tidak lagi ada kata rujuk. Bekal yang engkau sediakan hanya sedikit dan umurmu pendek."

Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—suatu kali pernah berjalan bersama sekelompok orang. Lalu ia bertanya kepada mereka, "Apakah kalian memiliki keperluan?" Mereka menjawab, "Tidak. Hanya karena suka berjalan bersama Anda." Mendengar itu, Ibnu Mas`ûd berkata, "Pergilah kalian! Karena sesungguhnya itu merupakan kehinaan bagi yang menjadi pengikut dan fitnah (bahaya) bagi yang diikuti."

Jika kita beralih kepada selain Khulafâ'urrâsyidîn yang mulia, lihatlah misalnya Harun Ar-Rasyîd, khalifah agung dari Dinasti Abbasiyah yang mampu menundukkan para kaisar, meluluhlantakkan para raja Persia, dan kerajaannya merambah seluruh pelosok negeri timur dan barat. Suatu hari, ia keluar bersama rombongan kerajaannya. Seorang Yahudi lalu berkata kepadanya, "Wahai Amîrul Mukminîn! Takutlah Anda kepada Allah!" Harun pun kemudian turun dari kendaraannya dan bersujud kepada Allah di atas tanah dengan segenap kerendahan hati dan kekhusyukan. Setelah itu, ia memerintahkan agar si Yahudi diperlakukan dengan baik dan dipenuhi segala kebutuhannya. Ketika ditanyakan kepadanya penyebab ia melakukan itu, ia berkata, "Ketika aku mendengar perkataannya, aku teringat firman AllahSubhânahu wa Ta`âlâ(yang artinya): 'Dan apabila dikatakan kepadanya: 'Bertakwalah (takutlah) kepada Allah', bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahanam. Dan sungguh neraka Jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.' [QS. Al-Baqarah: 206]. Aku takut, bila ternyata aku-lah orang yang disebutkan dalam ayat itu."

Betapa banyak manusia di zaman sekarang yang bila dikatakan kepadanya: 'Takutlah kepada Allah!', kedua matanya memerah dan urat lehernya menegang karena marah dan merasa diri sudah baik. Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Cukuplah menjadi dosa bagi seseorang bila dikatakan kepadanya: 'Bertakwalah kepada Allah!' ia menjawab: 'Urus saja dirimu sendiri! Bagaimana mungkin orang sepertimu menasihatiku!'."

Saat hati para generasi awal ini penuh berisi ketakwaan, Allah pun menghimpun mereka setelah sebelumnya tercerai-berai di masa Jahiliah, Allah memuliakan mereka setelah sebelumnya terhina, Allah bukakan untuk mereka negeri-negeri di segala penjuru. Semua itu adalah realisasi janji Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan apa yang mereka perbuat." [QS. Al-A`râf: 96]

Hendaklah bulan yang agung ini menjadi awal bagi kita untuk memakai pakaian takwa. Pakaian takwa adalah pakaian terbaik, jika saja manusia mengetahui, sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):

· "Dan pakaian takwa itulah yang paling baik." [QS. Al-A`râf: 26];

· "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai (Surga), di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa." [QS. Al-Qamar: 54-55]

Di bulan Ramadhan ini, kita diwajibkan berpuasa. Dan puasa melarang pelakunya melakukan hal-hal yang diharamkan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—telah melarang orang yang berpuasa untuk makan, minum, serta berhubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadhan, dan menjadikan itu sebagai hal-hal yang merusak puasa. Sebab itu, dapat dipastikan bahwa seorang muslim juga mestinya meninggalkan hal-hal yang haram pada siang hari ketika ia puasa dan pada waktu malamnya. Karena Allah yang telah mengharamkan makan dan minum bagi Anda pada siang hari bulan Ramadhan—padahal makan dan minum adalah kebutuhan alami tubuh dan menjadi penyebab hidup dan matinya manusia—juga telah mengharamkan hal-hal haram lain yang lebih berat dosa dan mudharatnya, tapi bukan suatu kebutuhan asasi seperti makan dan minum. Banyak hadits yang diriwayatkan mengenai hal ini. Di antaranya adalah:

1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, ia tidak boleh berkata kotor, tidak boleh berteriak-teriak, dan tidak boleh melakukan kefasikan. Jika seseorang mencaci atau memakinya hendaklah ia berkata: 'Akusedang berpuasa'." [HR. Al-Bukhâri];

Yang dimaksud dengan kefasikan dalam hadits ini adalah perkataan buruk yang berisikan kedurhakaan, atau penghinaan dan pelecehan terhadap sesuatu yang bersumber dari Agama atau Syariat, atau sejenisnya.

Puasa mencegah pelakunya dari hal-hal yang disebutkan ini. Seolah-olah saorang muslim yang berpuasa mengatakan: "Sesungguhnya puasaku melarangku berteriak semacam itu." Puasa mencegah pelakunya untuk melakukan perbuatan dosa dan hal-hal yang haram. Ketika berpuasa, Anda terdorong untuk mengatakan: "Bagaimana mungkin saya meninggalkan makan dan minum—yang jelas-jelas halal—tetapi di sepanjang waktu saya mengerjakan sesuatu yang diharamkan?"

2. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, sesungguhnya Allah tidak memerlukan (puasanya) saat ia meninggalkan makanan dan minumannya." [HR. Al-Bukhâri]

Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak memerintahkan Anda untuk meninggalkan makan dan minum melainkan agar Anda bisa mengambil manfaat dari sana. Anda diharapkan bisa meninggalkan perkataan kotor, meninggalkan kefasikan, meninggalkan perkataan dusta, dan meninggalkan segala bentuk maksiat yang berhubungan dengan wanita dan anggota tubuh. Kalau Anda tidak bisa melakukan hal tersebut dan tidak mampu mengambil manfaat dari puasa Anda, Allah—Subhânahu wata`âlâ—akan mengembalikan puasa itu kepada Anda dan tidak akan memberi balasan atas apa yang telah Anda lakukan.

3. Diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Betapa banyak orang yang puasa tapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang melakukan qiyâmullail (shalat malam) tapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari bangun malamnya selain bergadang." [HR. Ibnu Mâjah dan Ahmad]

Tidak diragukan lagi, bahwa puasa semacam ini tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi pelakunya. Karena puasa yang benar akan membela dan bersaksi untuk pelakunya kelak pada hari Kiamat, serta memberinya syafaat di sisi Allah. Di dalam hadits disebutkan: "Puasa dan Al-Quran akan memberi syafaat bagi seorang hamba (pelakunya) pada hari Kiamat." Tapi jika seorang hamba tidak menjaga puasanya, ia tidak akan mendapatkan manfaat dan pahala apa-apa dari puasanya.

Salah seorang ulama pernah berkata, "Jika dalam hal pendengaran, aku tidak bisa menjaga; dalam hal pandangan, aku tidak bisa menundukkan; dan dalam pembicaraan, aku tidak kenal kata diam, maka bagian yang aku dapatkan dari puasaku hanyalah lapar dan dahaga. Kalaupun aku mengatakan, 'Sesungguhnya aku berpuasa pada hari ini', hakikatnya aku tidak berpuasa sama sekali."

Artinya, harus ada efek nyata dari puasa terhadap diri pelakunya. Sebagaimana dikatakan oleh Jabir—Semoga Allah meridhainya, "Jika engkau berpuasa hendaklah ikut berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lidahmu dari ghibah (gunjing) dan adu domba. Tinggalkan perilaku menyakiti tetangga, bersikaplah tenang dan penuh wibawa. Jangan jadikan hari puasa dan hari tidak puasamu sama saja."

Secara umum, puasa yang benar mengajak pelakunya untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Karena ketika nafsu mengajaknya untuk melakukan maksiat (dosa), ia melihat kepada dirinya, berpikir, merenung, mempertimbangkan, dan berkata kepada dirinya sendiri, "Bagaimana mungkin saya berbuat maksiat kepada Allah, sementara saya ada dalam genggaman-Nya, ada di bawah kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya senantiasa turun kepada saya, dan saya sedang mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah (puasa) ini?"

Dan di antara orang-orang yang tidak memperoleh manfaat dari puasanya adalah orang yang bergadang di malam bulan puasa sambil menghisap rokok, padahal rokok adalah haram dan menimbulkan mudharat dengan segala bentuknya. Mereka ini jelas tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari puasa mereka. Karena puasa semestinya meninggalkan bekas pada pelakunya, sementara mereka, tidak ada efek puasa yang tersisa pada diri mereka.

Orang yang berpuasa dengan menahan diri dari merokok dan berbagai perkara yang diharamkan sepanjang siang, tetapi ia mengkonsumsi semua itu pada malam hari, jelas tidak mengambil manfaat dari puasanya. Justru puasanya menjadi bencana bagi dirinya.

Puasa yang benar adalah yang dapat mencegah pelakunya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Jika nafsu memanggil dan menggodanya untuk melihat sesuatu yang tidak pantas dilihat, seperti gambar-gambar seksi di film-film dan sejenisnya, atau wanita-wanita yang memamerkan aurat, ia kembali kepada dirinya seraya berkata, "Saya menahan diri dari perkara-perkara halal yang Allah larang—di siang hari—seperti makan dan minum. Bagaimana mungkin pada saat yang sama saya justru melakukan sesuatu yang sudah secara tetap diharamkan oleh Allah?"

Begitu juga jika nafsu mengajaknya untuk mencari penghasilan dari sumber-sumber yang haram, seperti suap, riba, menipu dalam transaksi, curang, atau sejenisnya, ia kembali kepada dirinya seraya berkata: "Tidak mungkin aku menggabungkan antara ibadah dan maksiat." Jika ia kembali kepada dirinya, ia segera bertobat dan berbalik dari apa yang ingin ia lakukan.

Ini adalah sebagian dari contoh betapa orang yang berpuasa secara benar memperoleh manfaat dari puasanya dalam meninggalkan larangan Allah, baik larangan itu bersifat sementara, seperti makan dan minum, maupun larangan yang bersifat tetap, seperti minuman keras, judi, taruhan, rokok, suap, menipu, riba, zina, tempat-tempat hiburan, dan sebagainya.

Seorang muslim sejati berpikir bahwa Tuhan yang mengharamkan makanan dan minuman pada saat puasa adalah Tuhan yang sama dengan yang mengharamkan semua hal-hal haram itu. Sehingga dengan puasa itu, ia pun mampu menahan diri dari semua yang diharamkan oleh Allah—`Azza wajalla.

Jika puasa Anda seperti ini, berarti Anda termasuk orang-orang yang bisa mengambil manfaat dari puasa mereka, orang-orang yang puasa mereka sukses mendatangkan kebaikan dan ampunan untuk mereka. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menegaskan bahwa pengampunan dosa dapat diraih dengan puasa yang dilakukan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang sudah populer: "Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampuni dosanya yang terdahulu." [HR. Al-Bukhâri]

Syaratnya adalah berpuasa karena dorongan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah. Arti iman adalah percaya bahwa puasa adalah sebuah ibadah yang telah Allah wajibkan kepada para hamba-Nya. Sedangkan ihtisâb (mengharapkan pahala dari Allah) mengharuskan adanya perasaan selalu diawasi oleh Allah (murâqabatullâh) dalam segala kondisi.

Ulama mengatakan bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Sehingga ada di antara ulama yang mengatakan bahwa puasa tidak dapat diketahui oleh seorang manusia pun, bahkan tidak dapat dicatat oleh para Malaikat pencatat amalnya. Orang yang berpuasa bisa saja menyendiri di suatu sudut atau di tempat tersembunyi, lalu memakan makanan di mana tidak seorang pun melihatnya. Tetapi seorang mukmin yang berpuasa karena dasar keimanan dan semata-mata mengharap pahala dari Allah, mengetahui betul bahwa Allah senantiasa mengawasinya, sebagaimana diingatkan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [QS. Asy-Syu`arâ': 218-220]. Ia mengetahui bahwa Tuhannya melihat dirinya di manapun ia berada. Orang seperti ini tidak akan memakan sedikit pun setiap yang akan membatalkan puasanya, sekalipun ia sedang sendirian, dan sekalipun ia dalam keadaan lapar. Karena ia berkeyakinan bahwa ia bisa sabar menahan lapar, tapi tidak akan pernah tahan menerima kemarahan Tuhannya.

Inilah arti ungkapan bahwa puasa adalah rahasia tersembunyi yang tidak bisa diketahui kecuali hanya oleh Allah. Dan inilah arti berpuasa atas dasar keimanan itu. Yakni tidak ada yang mendorongnya untuk berpuasa kecuali keimanan. Ia meninggalkan keinginan-keinginannya karena iman kepada Allah. Ia yakin bahwa Allah-lah yang mewajibkan itu. Ia percaya bahwa Allah-lah yang mengharamkan segala keinginan dan perkara-perkara itu baginya.

Puasa yang benar adalah puasa yang efeknya terlihat pada diri Anda, senantiasa Anda jaga dalam segala kondisi, Anda ingat-ingat di setiap waktu, dan tidak Anda nodai dengan sedikit pun perilaku yang akan mengurangi nilainya. Jika Anda melakukan itu, puasa Anda akan menghasilkan ampunan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, ".diampuni dosanya yang terdahulu."

Tidak diragukan lagi, bahwa ibadah puasa dengan efeknya yang luar biasa seperti ini tentu sangat disukai oleh jiwa-jiwa yang suci; jiwa-jiwa yang bersih, jiwa-jiwa yang sehat dan bening, yang merasa bahagia, bertambah suci, dan mengalami peningkatan dengan puasa. Adapun jiwa-jiwa yang kotor dan tersesat tidak akan bersemangat melakukan puasa. Ia ingin segera memutus puasanya dan mendambakan berakhirnya hari-hari puasa. Oleh sebab itu, Anda dapat melihat perbedaan besar antara mukmin sejati dengan yang tidak. Mukmin sejati selalu mengharapkan bulan ini tetap ada dan berlangsung lama. Sebagaimana diriwayatkan di dalam sebuah atsar: "Seandainya umatku mengetahui apa yang ada di bulan Ramadhan, niscaya mereka berharap agar sepanjang tahun adalah Ramadhan." Silahkan perhatikan dan bedakanlah antara mukmin sejati seperti ini dengan orang-orang lain.

Di antara tokoh-tokoh salafusshalih dan wali–wali pilihan Allah, terdapat manusia-manusia yang sepanjang tahun mereka tidak ubahnya dengan Ramadhan. Ada yang memperbanyak puasa dan tidak mau berbuka kecuali bersama orang-orang miskin. Jika keluarganya menghalanginya untuk berbuka bersama orang-orang miskin, ia tidak akan makan pada malam itu. Ada pula yang menjamu teman-temannya dengan berbagai jenis makanan, lalu ikut bergembira bersama mereka, sementara ia tengah berpuasa.

Mereka itulah orang-orang yang mengharapkan panjangnya waktu puasa itu. Ramadhan hanya semakin menambah kesungguhan mereka dalam ketaatan dan ibadah, dibandingkan kondisi mereka pada bulan Rajab, Sya`ban, dan bulan-bulan lain setelah Ramadhan di sepanjang tahun, karena seluruh amal perbuatan mereka nyaris sama.

Adapun orang yang belum sampai kepada jiwanya hakikat puasa ini, belum tersentuh hatinya oleh puasa, dan belum terdidik secara benar, biasanya akan menganggap berat puasa, mengharapkan puasa secepat mungkin selesai dan hari-hari puasa segera usai. Ia bersuka cita setiap kali terlepas dari puasa. Padahal, puasa yang benar tidaklah seperti ini. Mukmin sejati dan bertakwa senantiasa berharap hari-hari puasa ini tidak berlalu. Sering kita mendengar sebagian orang yang berjiwa lemah, bahwa mereka berharap Ramadhan segera berlalu. Begitu muncul hilal bulan Syawal, mereka bersuka cita, seolah telah melepaskan beban berat dari diri mereka.

Kami berpesan kepada kita semua untuk mengukur diri dan melihat seberapa besar kita terpengaruh oleh ibadah agung ini. Jika kita melihat bahwa jiwa kita benar-benar telah merasa suka dan senang kepadanya, telah merasa mendapatkan manfaat yang berkesinambungan di siang dan malam hari, di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lain, maka itu adalah pertanda adanya efek baik puasa terhadap diri kita. Namun bila kita merasa tidak terpengaruh apa-apa, bahkan setelah Ramadhan kembali kepada kelalaian, kembali kepada maksiat dan dosa yang pernah dilakukan sebelum Ramadhan, itu artinya kita tidak mendapatkan manfaat dari puasa kita. Ramadhan berarti tidak kita jadikan peluang untuk menggapai takwa. Dan besar kemungkinan puasa seperti ini akan ditolak.

Oleh sebab itu, orang-orang shalih terdahulu—Semoga Allah merahmati mereka—menaruh perhatian besar terhadap diterimanya puasa mereka. Sudah masyhur kita dengar bahwa mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar disampaikan kepada bulan Ramadhan. Kemudian mereka memohon lagi kepada-Nya selama enam bulan agar Allah menerima ibadah Ramadhan mereka. Mereka begitu bersemangat melakukan amal kebaikan, dan bila telah selesai melakukannya, kekhawatiran muncul pada diri mereka, apakah amalan mereka diterima atau tidak?

Suatu ketika, ada di antara mereka yang melihat sekelompok orang tertawa-tawa pada Hari Raya. Ia pun berkata, "Jika mereka ini adalah orang-orang yang diterima amal (puasa) mereka, ini bukanlah perbuatan orang-orang yang bersyukur. Jika mereka adalah orang-orang yang ditolak amal (puasa) mereka, ini juga bukanlah sikap orang-orang yang takut."

Saudaraku, sesungguhnya maksiat (dosa-dosa) memberi efek yang luar biasa terhadap kerasnya hati! Ramadhan adalah bulan ibadah. Ramadhan adalah musim kelembutan hati. Saudaraku, jika Anda tidak mempersiapkan hati yang lembut dan bersih dari noda-noda maksiat untuk menghadapinya, boleh jadi Anda tidak akan meraih ketakwaan di dalamnya. Dan siapa yang tidak mendapatkan takwa di bulan Ramadhan, boleh jadi ia tidak akan mendapatkannya sama sekali. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Saudaraku, jangan jadikan hari-hari Ramadhan seperti hari-hari Anda yang biasa! Jadikanlah ia kilauan putih cemerlang di permukaan hari-hari usia Anda. Saudaraku, bersungguh-sungguhlah dalam menjaga kebersihan puasa Anda, seperti kesungguhan Anda menjaga kebersihan pakaian Anda. Jauhilah ucapan sia-sia, kata-kata kotor, dan akhlak tercela. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Bukanlah puasa itu (sekedar) menahan dari makan dan minum, tetapi sesungguhnya puasa itu adalah menahan diri dari ucapan yang tiada guna dan kata-kata kotor. Jika engkau dicaci atau diganggu oleh seseorang, katakanlah: 'Aku sedang berpuasa'." [HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hâkim]

Saudaraku, janganlah Anda termasuk orang-orang yang digambarkan oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sabda beliau, "Betapa banyak orang yang puasa, namun tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang melakukan qiyâmullail, tapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari bangun malamnya selain bergadang." [HR. Ath-Thabrâni]

Saudaraku, jadikanlah puasa Anda sebagai madrasah yang membersihkan jiwa Anda, mengajari diri Anda akhlak yang baik, serta mendidiknya untuk menggapai perilaku mulia. Sehingga ketika Ramadhan berakhir, Anda dapat merasakan hasil yang baik dari puasa Anda, dan Anda termasuk orang-orang yang mendapatkan manfaat dari bulan yang penuh berkah ini.

Imam Al-Hasan Al-Bashri—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena pacuan bagi para makhluk-Nya. Di sana mereka berlomba dalam ketaatan menuju keridhaan-Nya. Ada kaum yang berlari cepat, sehingga mereka pun menjadi pemenang. Ada pula yang tertinggal, sehingga mereka menjadi pecundang. Sungguh mengherankan ada pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang yang mempersembahkan kerja terbaik menjadi pemenang dan para pelaku kebatilan menjadi pecundang."

Saudaraku! Bayangkan, bila Anda bepergian jauh untuk memenuhi sebuah kebutuhan Anda, lalu Anda pun menghabiskan waktu tiga puluh hari untuk mencari kebutuhan itu. Namun setelah sampai di akhir perjalanan Anda, ternyata Anda harus kembali dengan tangan hampa, tidak memperoleh apa yang Anda butuhkan. Semua kelelahan dan keletihan Anda pun laksana pergi bersama hembusan angin! Bagaimana kiranya perasaan Anda ketika itu?! Bagaimana perasaan Anda saat itu?! Bagaimana perasaan Anda saat itu?!

Saudaraku! Sedikit sekali manusia yang mempersiapkan diri menyambut hari-hari yang penuh berkah ini dengan rasa harap dan cemas. Jadilah Anda salah satu dari mereka yang sedikit itu!

Saudaraku! Sambil menutup tulisan ini, mari berdoa bersama-sama semoga Allah melipat hari-hari untuk kita, sehingga kita dapat menjumpai Ramadhan. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapat rahmat dengan berpuasa di bulan mulia itu.

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua kejujuran orang-orang yang berpuasa, semangat orang-orang yang menghidupkan malam, dan sifat orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah mengumpulkan kita semua pada Hari Kebangkitan kelak di dalam golongan orang-orang yang diberi nikmat. Semoga Allah, dengan rahmat dan ridha-Nya, menyampaikan kita ke derajat orang-orang yang dekat dengan-Nya. Segala puji yang sempurna hanya milik Allah, selamanya. Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga, para shahabat, dan para pengikut beliau dalam kebaikan. Alhamdulillâhi rabbil `âlamîn.

[Dihimpun, disusun, dan ditulis oleh: Dr. As-Sayyid Al-`Arabi ibnu Kamal]

Artikel Terkait