Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Puasa

Sifat Puasa Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi Wasallam

Sifat Puasa Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi Wasallam

Oleh: Abdullah ibnu Abdurrahman Al-Jibrin

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Tulisan ini adalah ulasan ringkas tentang karakteristik puasa Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, termasuk kewajiban, adab-adab, dan doa-doa di dalamnya. Dilengkapi pula dengan hukum-hukum tentang puasa dan pembagian manusia terkait dengan hal itu, hal-hal yang membatalkan puasa, dan pembahasan-pembahasan penting lainnya yang akan dijelaskan secara singkat. Kita berdoa semoga Allah memberikan taufik kepada umat Islam untuk mampu menjalankan sunnah Nabi mereka dalam segala hal, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Âmîn.

Definisi Puasa

Puasa adalah beribadah kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang mulia, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Kaitan Puasa dengan Berbagai Kalangan Manusia

o Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal, mampu, dan tidak sedang melakukan perjalanan (musafir).

o Orang kafir tidak diwajibkan berpuasa, dan tidak diwajibkan pula mengganti puasa mereka jika mereka masuk Islam.

o Anak kecil yang belum baligh tidak diwajibkan berpuasa, tetapi boleh disuruh berpuasa untuk membiasakannya.

o Orang yang sedang ditimpa sakit dan diharapkan akan sembuh boleh tidak berpuasa jika puasa berat baginya. Tetapi ia harus meng-qadha (mengganti) puasa itu bila telah sembuh.

o Orang gila tidak diwajibkan berpuasa dan tidak diwajibkan membayar fidyah, walaupun ia telah dewasa. Termasuk dalam hukum ini adalah orang idiot yang tidak memiliki akal yang sempurna, begitu juga dengan orang tua yang pikun.

o Orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa disebabkan faktor permanen seperti usia lanjut atau penyakit yang tidak memiliki harapan sembuh, wajib menebus puasa mereka dengan memberi makan satu orang fakir miskin untuk satu hari puasa.

o Ibu hamil dan menyusui jika merasa tidak mampu berpuasa karena mengkhawatiran akan proses kehamilan dan penyusuan mereka, atau khawatir terhadap keselamatan janin atau bayi mereka, dibolehkan untuk berbuka dan mengganti puasa mereka jika sudah terasa lapang dan kekhawatiran itu telah hilang.

o Perempuan yang haid dan nifas tidak diperbolehkan melakukan puasa selama mereka haid atau nifas, tetapi wajib meng-qadha puasa mereka sejumlah hari yang mereka tinggalkan.

o Orang yang terpaksa tidak berpuasa karena menyelamatkan seseorang—yang harus dijaga jiwa dan kehormatannya—dari tenggelam atau kebakaran boleh berbuka, tetapi wajib meng-qadha.

o Seorang musafir boleh memilih antara berpuasa atau tidak berpuasa dengan syarat meng-qadha puasa yang ditinggalkannya. Baik itu perjalanan yang dilakukan pada momen-momen tertentu seperti umrah, maupun perjalanan yang rutin seperti pengemudi mobil sewaan. Orang seperti ini boleh tidak berpuasa selama berada di luar kawasan negerinya.

Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Puasa:

1. Niat

Orang yang berpuasa fardhu diwajibkan berniat sebelum matahari terbit, sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Siapa yang belum berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya." [HR. Abu Dâwûd]

Dalam hadits lain/, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya maka tiadalah puasa baginya." [HR. An-Nasâ'i]

Niat itu tempatnya di dalam hati, dan keharusan mengucapkannya dengan lidah tidak ada disebutkan dalam hadits Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, dan tidak pula pernah disebutkan oleh para shahabat beliau—Semoga Allah meridhai mereka.

2. Waktu Berpuasa

Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan makan serta minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." [QS. Al-Baqarah: 187]

Fajar itu terbagi dua macam:

  • Fajar Kâdzhib (Fajar yang Tidak Sebenarnya). Yaitu fajar yang tidak menunjukkan masuknya waktu shalat Subuh dan masih dibolehkan makan setelahnya bagi orang yang akan berpuasa. Fajar ini berbentuk semburat cahaya putih terang yang memanjang dan mengarah ke atas seperti ekor singa.
  • Fajar Shâdiq (Fajar yang Sebenarnya). Yaitu waktu yang menunjukkan mulai diharamkannya makan dan minum bagi orang yang berpuasa, dan sebagai tanda masuknya waktu shalat Subuh. Ia berbentuk semburat cahaya berwarna merah yang memanjang dan melintang terlihat di puncak perbukitan.

Apabila matahari telah terbenam, maka berbukalah. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Bila malam telah datang dari arah sini (timur) dan siang telah pergi dari arah sana (barat), dan matahari telah terbenam, maka orang puasa telah (boleh) berbuka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Perintah berbuka ini berlaku begitu terbenamnya bulatan matahari secara total walaupun masih terlihat jelas semburat cahayanya.

3. Sahur

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur." [HR. Muslim]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Berkah terletak pada tiga hal: berjemaah, tsarîd (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur." [HR. Ath-Thabrâni]

Keberkahan makan sahur telah jelas bagi kita dan tidak sepatutnya ditinggalkan. Sebab dengan begitu, kita berarti telah mengikuti sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, sekaligus menguatkan kita untuk berpuasa. Selain itu, makan sahur adalah hidangan yang penuh berkah, sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam:

- "Marilah menikmati makanan yang penuh berkah (sahur)." [HR. Abu Dâwûd];

- "Sahur adalah makanan yang berkah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya dengan meminum seteguk air, karena Allah dan Malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang sahur." [HR. Ahmad];

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Sebaik-baik (makanan) sahur seorang mukmin adalah kurma." [HR. Abu Dawud]

Dan salah satu sunnah Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah mengakhirkan makan sahur hingga mendekati fajar.

4. Hal-hal yang Harus Ditinggalkan oleh Orang yang Berpuasa

§ Perkataan yang tidak benar. Karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak benar, maka Allah tidak membutuhkan (puasanya) saat ia meninggalkan makan dan minumnya." [HR. Bukhâri]

§ Pekerjaan yang Sia-Sia dan Perkataan yang Cabul. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari kesia-siaan dan perkaatan kotor. Jika ada seseorang mencelamu atau berbuat jahat kepadamu, katakanlah: 'Aku sedang berpuasa'." [HR. Ibnu Khuzaimah]

5. Hal-Hal yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa

§ Bangun pagi dalam keadaan junub. Dalam sebuah hadits, `Aisyah—Semoga Allah meridhainya—menceritakan bahwa: "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah memasuki waktu fajar (Subuh) dalam keadaan junub, kemudian beliau mandi dan berpuasa." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

§ Bersiwak (menggosok gigi) ketika berpuasa. Karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Seandainya tidak memberatkan bagi umatku niscaya aku akan perintahkan kepada mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhuk." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak membedakan dalam hadits ini antara orang yang berpuasa dengan yang tidak. Oleh karena itu, ini adalah dalil dianjurkannya bersiwak secara umum, baik bagi yang berpuasa maupun tidak, setiap kali berwudhuk untuk melaksanakan shalat, baik sebelum tengah hari maupun sesudahnya.

§ Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Di dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, padahal beliau sedang berpuasa. Namun beliau melarang untuk berlebihan dalam melakukannya khusus untuk orang yang sedang berpuasa. Beliau bersabda, "Bersungguh-sungguhlah dalam melakukan 'istinsyâq' (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau sedang berpuasa." [HR. Abu Dâwûd]

§ Menyentuh dan mencium istri. Sebuah hadits diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa: "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—biasa mencium dan menyentuh istri-istri beliau pada saat beliau berpuasa. Akan tetapi beliau—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah orang yang paling kuat menahan syahwat." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ini dimakruhkan bagi orang yang masih berusia muda, dan dibolehkan bagi yang sudah berusia lanjut. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya orang yang sudah tua mampu menahan nafsunya." [HR. Ahmad]

§ Berbekam dan bersuntik yang tidak dimaksudkan sebagai makanan. Kedua hal ini tidak membatalkan puasa karena bukan makanan dan tidak masuk ke dalam rongga perut.

§ Mencabut gigi juga tidak membatalkan puasa.

§ Mencicipi masakan. Orang yang sedang berpuasa dibolehkan mencicipi masakan dengan syarat tidak masuk ke dalam tenggorokannya. Begitu juga menyikat gigi dengan menggunakan odol. Sebagaimana keterangan yang disebutkan dari Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya, "Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak dimasukkan ke dalam kerongkongannya." [HR. Al-Bukhâri]

§ Memakai celak, obat tetes mata, dan sejenisnya. Hal-hal seperti ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya dapat dirasakan di kerongkongan maupun tidak. Imam Al-Bukhâri berkata dalam kitab Shahîh-nya, "Anas, Al-Hasan, dan Ibrahim tidak mempermasalahkan celak mata bagi orang yang berpuasa".

6. Berbuka Puasa

§ Menyegerakan berbuka puasa. Menyegerakan berbuka merupakan sunnah Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, sekaligus pembeda antara puasa umat Islam dengan puasa kaum Yahudi dan Nashrani—yang selalu mengakhirkan berbuka hingga muncul bintang di langit. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Umat ini senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Beliau juga bersabda, "Umatku senantiasa berada di atas sunnahku selama mereka tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa." [HR. Ibnu Hibban]

§ Berbuka sebelum menunaikan shalat Maghrib. Karena sebuah hadits diriwayatkan dari Anas—Semoga Allah meridhainya—bahwa: "Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berbuka sebelum melaksanakan shalat Maghrib." [HR. Abu Dâwûd]

§ Dengan apa Rasululllah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berbuka? Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya—bahwa: "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—biasa berbuka dengan beberapa kurma segar sebelum beliau melakukan shalat. Apabila tidak ada kurma segar, beliau berbuka dengan kurma kering, dan jika tidak ada kurma kering, beliau meminum seteguk air." [HR. Abu Dâwûd]

§ Apa yang dibaca oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika berbuka? Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak akan ditolak saat ia berbuka." [HR. Ibnu Mâjah]

Rasulullah berdoa ketika berbuka, "Dzahabazzama'u wabtallatil `urûqu wa tsabatal ajru insyâallâh. (Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan, dan telah tetap pahala di sisi Allah insyâallâh)." [HR. Abu Dâwûd]

7. Hal-Hal yang Membatalkan Puasa

§ Makan dan minum dengan sengaja. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersada, "Apabila seseorang (yang berpuasa) makan dan minum dalam keadaan lupa hendaklah ia tetap melanjutkan puasanya, karena berarti Allah telah memberinya makan dan minum." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

§ Muntah dengan sengaja, yaitu mengeluarkan apa yang ada di dalam perut melalui mulut. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang terpaksa muntah sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, tidak wajib baginya untuk meng-qadha puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja, wajib baginya meng-qadha puasanya." [HR. Abu Dâwûd]

Jadi, muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan puasa.

§ Bersenggama. Apabila seseorang bersenggama pada siang hari bulan Ramadhan, ia wajib meneruskan puasanya, lalu meng-qadha puasanya disertai dengan kafarat yang berat, yaitu membebaskan seorang budak. Jika ia tidak mampu membebaskan seorang, maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika ia tidak mampu juga, kafaratnya adalah memberi makan enam puluh fakir miskin.

§ Suntik/infus makanan, yaitu memasukkan saripati makanan ke dalam usus atau darah dengan maksud memberikan suplay makanan pada orang yang sakit. Ini termasuk hal yang membatalkan puasa, karena makanan itu akan masuk ke dalam rongga menuju perut.

§ Haid dan Nifas. Keluarnya darah dari kemaluan seorang perempuan saat ia berpuasa, baik di awal maupun di ujung puasanya, adalah membatalkan puasa, dan ia wajib meng-qadha puasanya pada hari yang lain.

§ Keluar mani ketika sedang bangun, yaitu dengan cara onani, senggama, mencium, memeluk, atau yang lainnya. Tetapi air mani yang keluar karena mimpi tidak membatalkan puasa seseorang, karena itu terjadi bukan melalui kehendaknya.

§ Transfusi darah. Yakni apabila orang yang puasa mengalami pendarahan, dan ia harus menerima transfusi darah untuk mengganti darahnya yang hilang.

8. Meng-qadha Puasa

Kita disunnahkan untuk bersegera dan tidak menunda-nunda kewajiban meng-qadha puasa. Tidak ada kewajiban untuk menggantinya secara berturut-turut.

Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang pernah meninggalkan shalat kemudian meninggal dunia, ia tidak diwajibkan meng-qadha shalatnya. Begitu pula orang yang tidak mampu berpuasa, tidak digantikan puasanya oleh anggota keluarganya saat ia masih hidup, tetapi diganti dengan cara memberi makanan kepada satu orang fakir miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Tetapi apabila ia meninggal dunia dengan mempunyai hutang puasa, anggota keluarganya harus meng-qadha-kan puasa itu untuknya. Karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang meninggal dunia sementara ia masih mempunyai hutang puasa maka ahli warisnya wajib berpuasa menggantikannya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

9. Berpuasa Tapi Meninggalkan Shalat

Barang siapa yang berpuasa tetapi meninggalkan shalat berarti telah meninggalkan rukun yang paling penting dari rukun Islam setelah Tauhid mengesakan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Puasanya tidak bermanfaat sama sekali selama ia masih meninggalkan shalat, karena shalat merupakan tiang Agama. Orang yang meninggalkan shalat dihukum kafir. Sedangkan orang kafir tidak diterima semua amalannya, sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Sesungguhnya janji yang membedakan antara kita dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat maka sesungguhnya ia telah kafir." [HR. Ahmad]

10. Melaksanakan Shalat Tarawih

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—pernah menyontohkan shalat malam (Tarawih) di bulan Ramadhan secara berjemaah, kemudian beliau mengerjakannya seorang diri lantaran khawatir hal itu dianggap sebagai kewajiban bagi umat beliau. Jumlah rakaatnya adalah delapan rakaat selain witir, berdasarkan hadits dari `Aisyah—Semoga Allah meridhainya—bahwa: "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tidak pernah melakukan shalat malam di bulan Ramadhan dan pada waktu yang lain melebihi sebelas rakaat." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ketika Umar ibnul Khaththâb menghidupkan kembali sunnah ini, ia melakukannya sebanyak sebelas rakaat. Kemudian masyarakat pada zamannya shalat sebanyak 23 rakaat. Lalu pada masa pemerintahan setelahnya, umat Islam melaksanakannya sebanyak 39 rakaat. Dan shalat tarawih 23 rakaat sebagaimana yang dilaksanakan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi merupakan pendapat tiga ulama mazhab dan selain mereka.

Salah satu masalah yang banyak menimpa kaum muslimin dalam shalat Tarawih pada zaman sekarang adalah bacaan yang terlalu cepat, begitu pula rukuk, sujud, dan rukun-rukun yang lain. Ini tentu saja mengurangi nilai shalat, terutama pada aspek kekhusyukannya, dan bisa membatalkan shalat dalam kondisi tertentu.

11. Zakat Fitrah

Hukum Zakat Fitrah adalah wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar—Semoga Allah meridhainya—bahwa: "Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah mewajibkan Zakat Fitrah dari bulan Ramadhan kepada manusia." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Zakat Fitrah diwajibkan kepada setiap umat Islam, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, baik merdeka maupun budak. Kadar Zakat Fitrah adalah satu sha` dari makanan pokok setempat, apabila berlebih dari makanan atau keperluan keluarga yang ditanggung seseorang untuk masa malam dan pagi Hari Raya. Lebih utamanya adalah yang paling bermanfaat bagi kaum fakir miskin.

Waktu menunaikan zakat fitrah adalah pada tanggal 1 Syawwal sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri, dan dibolehkan juga sehari atau dua hari sebelumnya, dan tidak boleh menundanya hingga selesai shalat Idul Fitri.

Artikel Terkait