Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. HAJI & UMRAH
  3. Istilah-Istilah dalam Haji & Umrah

Kehilangan Kesempatan Haji dan Terkepung

Kehilangan Kesempatan Haji dan Terkepung

Al-fawât (kehilangan kesempatan Haji).

Al-fawât adalah kata benda dari fâtahu yafûtuhu fawâtan wa fawtan, maksudnya di sini adalah kehilangan waktu atau kesempatan melakukan ibadah haji, dan ini terjadi dengan terbitnya fajar di hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) pada seorang yang sedang berihram dan ia belum melakukan wuquf (berdiam diri) di Arafah sebelum itu, baik malam ataupun siang, sesuai perkataan Jabir—Semoga Allah meridhainya, "Tidaklah (waktu/kesempatan) haji hilang sampai terbitnya fajar dari malam jama` (lailatu jama`)." [HR. Al-Atsram]. Lailatu jama` (malam jama`) adalah malam `Îd.

Barang siapa yang kehilangan kesempatan wuquf di Arafah meskipun karena udzur sampai terbit padanya fajar hari Nahr maka ia telah kehilangan waktu atau kesempatan haji karena hilangnya waktu wuquf, dan wajib baginya bertahallul umrah kemudian thawaf, sa`i lalu mencukur rambut atau memendekkan, sebagaimana ia juga wajib qadha menurut jumhur ulama, baik apakah orang yang kehilangan haji tersebut sedang melakukan haji wajib, atau haji sunnah (tathawwu`), kehilangannya karena udzur ataupun tanpa udzur, bersama dengan hal itu ia juga wajib menyembelih kurban yang ia keluarkan di tahun ia melakukan qadha, sesuai perkataan Umar—Semoga Allah meridhainya—kepada Abu Ayyûb Al-Anshâri, "Lakukanlah seperti apa yang dilakukan oleh orang yang melakukan umrah, maka engkau telah tahallul, bila engkau mendapatkan haji (pada tahun) selanjutnya maka berhajilah, dan sembelihlah kurban yang mudah didapat." [HR. Mâlik]

Al-Ihshâr (pengepungan).

Adapun al-Ihshâr adalah kendala dan halangan, kata benda dari ahsharahu, jika suatu halangan menahannya, maksudnya di sini adalah: halangan bagi seorang yang sedang berihram untuk menyempurnakan rangkaian ibadahnya, seperti terhalang untuk memasuki Makkah, atau wuquf di Arafah. Maka al-Ihshâr tidak khusus sebatas Arafah seperti pada al-fawât, ia (al-Ihshâr) mungkin terjadi pada haji dan umrah, berbeda dengan al-fawât tidak terjadi kecuali dalam haji. Al-ihshâr memiliki beberapa bentuk:

Bentuk pertama: Ketika seseorang yang sedang berihram mensyaratkan dalam ihramnya bahwa ia bertahalul (keadaan menjadi boleh; diperbolehkannya seseorang melakukan pekerjaan atau kegiatan yang tadinya terlarang selama mengerjakan ibadah haji atau umrah) dari ihramnya jika suatu penghalang menghalanginya. Dalam hal ini ia boleh bertahalul bilamana terdapat penghalang dan kendala tersebut, dan tidak ada kewajiban apapun baginya, tidak menyembelih binatang tidak juga qadha, dan tidak juga selain keduanya, sebab syarat itu memiliki pengaruh dalam ibadah. Dalil tentang hal ini adalah hadits Dhubâ`ah bintu Zubair—Semoga Allah meridhainya—bahwa ia berkata kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Seusungguhnya aku ingin berhaji, tetapi aku sedang sakit-sakitan." Beliau bersabda, "Berhajilah dan bersyaratlah: 'Ya Allah, aku akan bertahalul di mana saja Engkau menghalangi aku'." [HR. Muslim]. Akan tetapi jika ihramnya untuk haji fardhu (wajib) maka kewajibannya tidak gugur darinya, tetapi tetap dalam tanggungannya sampai ia menunaikannya.

Bentuk kedua: Yaitu ketika pengepungan terjadi karena sebab musuh, perampok dan sejenisnya, sehingga seseorang yang sedang berihram terhalang untuk sampai ke Makkah, maka dalam kondisi seperti ini orang yang sedang berihram boleh untuk bertahalul dari ihramnya, dan wajib baginya dam (menyembelih binatang) yang ia sembelih di tempat di mana ia terkepung, baik di dalam tanah haram ataupun selainnya, lalu mencukur atau memendekkan rambutnya, sesuai firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat." [QS. Al-Baqarah: 196]. Dan karena Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memerintahkan para shahabatnya pada hari Hudaibiyah—ketika kaum Quraisy menghalanginya memasuki Makkah—agar mereka menyembelih binatang kemudian mencukur rambut mereka dan tahalul. Dan tidak ada perbedaan antara kepungan umum yang terjadi pada jama`ah haji seluruhnya atau kepungan khusus yang terjadi pada seorang (haji) tertentu menurut kesepakatan para ulama.

Adapun jika orang yang terkepung mampu sampai ke Baitullah (Masjidil Haram) dari jalan lain, maka ia wajib melakukannya, dan wajib baginya melalui jalan tersebut baik jauh ataupun dekat, dan tidak boleh tahalul. Baik orang yang sedang ihram tersebut terhalang untuk ke Baitullah sebelum wuquf atau sesudahnya, dan boleh baginya bertahalul menurut salah satu pendapat ulama.

Adapun jika hal yang terhalang baginya bukan merupakan rukun-rukun haji, seperti menginap di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah dan thawaf wadâ` maka ia tidak boleh bertahalul karena sahnya haji tidak tergantung pada hal-hal tersebut, tetapi wajib baginya membayar dam karena meninggalkan wajib haji, menurut pendapat lain tidak wajib, karena wajib haji tersebut telah gugur darinya disebabkan karena ketidakmampuan. Jika orang yang terkepung tersebut tidak mampu menyembelih binatang maka tentang pengganti penyembelihan binatang (yaitu puasa) terdapat perbedaan di antara ulama.

Bentuk ketiga: Terhalangnya seorang yang sedang berihram untuk sampai ke tanah suci karena udzur selain musuh, seperti sakit, kehilangan bekal, tersesat, atau rintangan-rintangan lain. Dan dalam masalah ini terdapat perbedaan di antara para ulama:

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa al-ihshâr khusus yang disebabkan oleh musuh. Oleh karena itu maka seorang yang sedang berihram tidak boleh bertahalul karena sakit dan sejenisnya, sampai ia thawaf di Baitullah dan sa`i—artinya tahallul dengan umrah—karena firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam ayat tentang al-ihshâr (yang artinya): "Apabila kamu telah (merasa) aman." [QS. Al-Baqarah: 196] menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan pengepungan adalah apa yang terjadi dari musuh secara khusus, dan karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan para shahabatnya juga bertahalul ketika mereka dikepung oleh musuh.

Kemudian sebagian yang lain berpendapat bahwa al-ihshâr sah terjadi karena semua bentuk rintangan yang menghalangi untuk sampai ke tanah haram, baik berupa musuh, sakit, hilangnya bekal (biaya), penahanan, atau cidera pada tangan atau kaki dan sejenisnya, sesuai umumnya firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat." [QS. Al-Baqarah: 196]. Dan sesuai hadits Hajjâj Ibnu `Amr bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang mengalami cidera (patah tulang tangan atau kakinya) atau pincang maka ia telah halal." [HR. Abû Dâwûd, At-Tirmîdzi, An-Nasâ'i dan Ibnu Mâjah]

Demikianlah bentuk-bentuk kehilangan dan pengepungan dalam ibadah haji (al fawât wal ihshâr), kemudian kami juga ingin mengingatkan tentang satu masalah yaitu: bahwa barang siapa yang berniat tahallul tanpa udzur maka ia tidak halal (tidak menjadi tahallul) dengan niatnya itu dan tidak membatalkan ihramnya, ia tetap berada dalam hukum-hukum ihram, karena (niat) menolak ihram adalah tidak dianggap (sia-sia) sesuai kesepakatan ulama, bahkan ia harus melaksanakannya dan menyempurnakannya, sesuai firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah." [QS. Al-Baqarah: 196].

Wallâhu a`lam.

Artikel Terkait