Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Fatwa
Cari Fatwa

Meminum Pil Karena Mengira Itu Tidak Membatalkan Puasa, Apakah Ia Wajib Meng-qadhâ'

Pertanyaan

Pada hari pertama bulan Ramadhân, seorang perempuan meminum pil anti hamil tanpa air, karena ia mengira bahwa hal itu tidak membatalkan puasa. Apa pandangan Agama tentang hal ini?

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Para ulama berbeda pendapat tentang seorang muslim yang mengonsumsi sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu bahwa itu membatalkan puasa, apakah ia wajib meng-qadhâ' atau tidak. Ada dua pendapat dalam masalah ini, tapi pendapat yang mengatakan tidak wajib qadhâ' adalah pendapat yang kuat dan memiliki dalil yang tepat. Kami lebih cenderung membenarkan pendapat ini.

Syaikhul IslâmSemoga Allah merahmatinya—berkata:

"Apabila orang yang berpuasa melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena ia tidak tahu keharaman perbuatan tersebut, apakah ia harus mengulang puasanya? Mazhab Hambali mempunyai dua pendapat dalam masalah ini, sama halnya dengan orang yang melakukan larangan haji karena tidak tahu. Dasar permasalahan ini adalah: Apakah sebuah hukum berlaku bagi seorang mukalaf sebelum disampaikan kepadanya? Ada tiga pendapat dalam mazhab Hambali dan mazhab yang lainnya, yaitu:

1. Berlaku;

2. Tidak Berlaku;

3. Yang berlaku adalah hukum awalnya dan bukan hukum yang menggantikan hukum lain (nâsikh).

Pendapat yang paling kuat adalah bahwa tidak wajib baginya untuk meng-qadhâ' apa pun, dan hukum tidak berlaku baginya sebelum disampaikan kepadanya, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya):

· "…supaya dengannya (Al-Quran) aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)." [QS. Al-An`âm: 19];

· "…dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." [QS. Al-Isrâ': 15];

· "…supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." [QS. An-Nisâ': 165]

Terdapat banyak ayat yang senada dengan ini di dalam Al-Quran. Allah—Subhânahu wata`âlâ—menerangkan bahwa Dia tidak menghukum seseorang tanpa menyampaikan kepadanya ajaran Rasul."

Syaikh ibnu Al-`Utsaimîn—Semoga Allah merahmatinya—berkata:

"Jika seseorang yang berpuasa makan, sedangkan ia tidak tahu, maka ia tidak wajib meng-qadhâ' puasa tersebut. Ketidaktahuan itu terbagi kepada dua macam:

Pertama, tidak tahu hukum. Misalnya orang yang muntah dengan sengaja, tapi ia tidak tahu bahwa muntah seperti itu membatalkan puasa. Orang seperti ini tidak dikenai kewajiban qadhâ', karena ia tidak tahu. Dalil bahwa orang yang tidak mengetahui hukum tidak batal puasanya dalam kasus seperti itu adalah hadits yang terdapat dalam kitab Shahîh Al-Bukhâri dan Muslim, dari `Adi ibnu Hâtim—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia dahulu menyimpan di bawah bantalnya dua helai tali, satu berwarna hitam dan satu lagi berwarna putih. Tali itu adalah tali yang biasa digunakan untuk mengikat unta. Ia kemudian melihat kedua tali itu; apabila ia sudah bisa melihat mana yang hitam dan mana yang putih, ia berhenti makan dan minum. Ketika ia menemui Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam, ia memberitahukan hal tersebut. Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—pun bersabda kepadanya, "Bantalmu itu benar-benar lebar, sehingga dapat menyimpan tali putih dan tali hitam. Sesungguhnya yang dimaksud dengan benang putih (dalam ayat) adalah cahaya siang, dan yang dimaksud dengan benang hitam itu adalah kegelapan malam."

Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—ketika itu tidak memerintahkannya untuk meng-qadhâ' puasanya, karena ia tidak tahu makna ayat Allah tersebut."

Walaupun pendapat ini lebih kuat secara dalil, namun pendapat yang mengatakan wajib meng-qadhâ' puasa lebih hati-hati dan lebih aman dalam melepaskan kewajiban, dan ini merupakan pendapat banyak ulama. Keluar dari perbedaan pendapat para ulama adalah sikap yang lebih baik, dan masalahnya pun sebenarnya mudah. Oleh karena itu, saudari yang disebutkan dalam pertanyaan ini lebih baik meng-qadhâ' puasa hari tersebut sebagai bentuk kehati-hatian dan untuk melepaskan beban kewajibannya, karena perbuatannya tersebut tidak terlepas dari kelalaiannya untuk bertanya dan mencari hukum-hukum Agama yang wajib dipelajari. Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait