Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. MENSUCIKAN JIWA
  4. Sifat Tercela

Sikap Ceroboh dan Sembrono

Sikap Ceroboh dan Sembrono

Bismillâh. Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga, para shahabat, dan orang-orang yang membela dan menolong beliau.

Sikap tidak tergesa-gesa, santun, lembut, tenang, dan mampu mengendalikan diri merupakan tanda keunggulan akal dan keseimbangan jiwa seseorang. Sebaliknya, sikap ceroboh, gegabah, mengikuti hawa nafsu, kurang perhitungan, dan tergesa-gesa adalah tanda lemahnya akal dan jiwa seseorang. Indikasinya terkadang tampak pada kecenderungan untuk cepat marah karena hal-hal yang remeh, segera bertindak gegabah, menyerang orang yang menyakiti, berlebihan dalam memberi hukuman, terlihat panik ketika menghadapi sedikit saja kesulitan, caci-maki yang keji, atau menggunakan kekuatan untuk hal yang tidak sepatutnya.

Kecerobohan merupakan akhlak yang buruk, siapa pun pemiliknya. Hanya saja, ia lebih buruk lagi bila dimiliki oleh para raja dan para pemimpin. Berdasarkan itu, bila sikap gegabah mengakibatkan sesuatu yang haram, maka ia pun menjadi haram. Dan bila mengakibatkan sesuatu yang makruh, ia pun menjadi makruh. Namun, sikap ini tetap saja merupakan hal yang dipandang buruk di segala kondisi dan waktu. Betapa banyak sikap sembrono yang tidak pada tempatnya telah melahirkan kesedihan yang berkepanjangan. Betapa banyak pula ucapan atau tindakan yang ceroboh telah mencelakakan pelakunya, menghalanginya dari keselamatan, serta melemparkannya ke dalam golongan orang-orang zalim dan fasik.

Di antara bentuk kecerobohan itu adalah sikap buruk sangka terhadap kaum muslimin, tidak melakukan konfirmasi terlebih dahulu dalam mentransfer berita, serta menyebarluaskan tuduhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah tanpa bukti yang jelas. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "(Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit pun, dan kalian menganggapnya sesuatu yang ringan saja, padahal itu di sisi Allah adalah besar." [QS. An-Nûr: 15]

Di dalam Shahîh Muslim, disebutkan sebuah riwayat: "Bahwa Nabi Isa Al-Masîh—`Alaihis salâm—pernah melihat seorang lelaki yang sedang mencuri. Beliau lalu berkata, 'Engkau telah mencuri'. Lelaki itu menyanggah, 'Demi Allah, aku tidak mencuri'. Mendengar itu, Al-Masîh berkata, 'Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan kedua mataku'." [HR. Muslim]

Juga termasuk perilaku ceroboh adalah gegabah dalam mengafirkan umat Islam yang memeluk Islam namun masih belum mengetahui makna-maknanya, hanya karena dianggap berhakim kepada thâghût (pemilik hukum selain Allah). Atau karena tuduhan-tuduhan lain yang biasa dilontarkan oleh mereka-mereka yang ekstrem mengafirkan orang lain (kelompok takfîr). Padahal, sebagaimana diketahui, ketika seseorang keluar dari agama Islam, ia tidak boleh dishalati, tidak boleh dikuburkan di pemakaman kaum muslimin, tidak bisa mewariskan, akad perkawinannya dengan istrinya mesti dibatalkan, ia kehilangan hak perwalian atas anak-anaknya, dan hal-hal berat lainnya. Semua resiko itu tentu menuntut adanya terlebih dahulu pembuktian, upaya untuk menepis tuduhan, dan ditegakkannya argumentasi yang jelas. Sehingga bila itu semua sudah terpenuhi, barulah seseorang bisa dikatakan kafir, tetapi juga melalui mulut ulama atau penguasa yang ditaati.

Bentuk-bentuk Kecerobohan

Juga termasuk ke dalam bentuk kecerobohan adalah sikap gegabah dalam menjatuhkan talak saat diri dikuasai oleh emosi dan amarah, sehingga kemudian menyesal setelah segalanya terlambat, rumah tangga hancur, dan anak-anak terlantar. Termasuk juga dalam kategori ceroboh adalah melakukan amar makruf nahi mungkar tanpa memperhatikan aturan-aturan syar'i. Sehingga Anda bisa melihat ada orang yang memposisikan dirinya sebagai hakim, sebagai algojo, dan juga sebagai korban pada waktu yang bersamaan. Juga orang yang bertindak seolah-olah ia adalah negara di dalam negara. Ia menegakkan hukum-hukum Agama tanpa aturan dan kaedah, sehingga muncul berbagai syubhat, tuduhan, dan bahaya-bahaya besar lainnya.

Contoh lain adalah mematahkan atau merusak fisik, atau memukul wajah, karena mengklaim bahwa si istri atau anak telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Seolah-olah tujuan bisa membenarkan segala cara.

Begitu juga orang-orang yang menghancurkan bangunan kuburan, meskipun ternyata kembali dibangun pada hari yang sama, dan mereka pun akhirnya diklaim telah menodai kehormatan orang-orang yang telah wafat. Kerugian karena sikap dan perilaku demikian pun dirasakan oleh keluarga, saudara-saudara, dan teman-teman yang tidak bersalah apa-apa. Bahkan perilaku-perilaku semacam ini berpotensi membuat orang lari dari dakwah dan menghalangi jalan Allah.

Kesimpulannya, bentuk-bentuk kecerobohan dan sikap gegabah sangatlah banyak. Dan ia selalu mendatangkan bahaya dan kerusakan, sekaligus menghilangkan kemaslahatan. Di dalam hadits, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda:

· "Sesungguhnya Allah—`Azza wajalla—betul-betul memberikan kepada sifat lembut apa yang tidak Dia berikan kepada sifat kasar. Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia memberi hamba itu sifat lembut. Dan tidaklah ada satu keluarga yang terhalang dari kelembutan melainkan mereka terhalang (dari segala kebaikan)." [HR. Ath-Thabrâni]

· "Sifat perlahan-lahan (tenang dan sabar) itu berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan berasal dari Syetan. Dan tidak ada seorang pun yang lebih banyak maafnya daripada Allah." [HR. Al-Baihaqi; Menurut Al-Albâni: hasan];

· "Akan datang pada akhir zaman nanti, satu kaum yang berusia muda lagi berpikiran pendek. Mereka mengucapkan sebagian dari perkataan Nabi. Mereka sebenarnya keluar dari Islam seperti anak panah melesat keluar dari busurnya. Keimanan mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Di mana pun kalian menjumpai mereka, bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya terdapat pahala pada hari Kiamat kelak bagi orang yang membunuh mereka." [HR. Al-Bukhâri]. Kaum Khawarij telah muncul dengan membawa sifat-sifat seperti ini, dan Ali—Semoga Allah meridhainya—pun memerangi mereka.

Para Salafushshalih Memberi Peringatan Tentang Sikap Gegabah

Ketika sebagian rakyat mengeluhkan perilaku para pegawai Umar, Umar pun menyuruh mereka agar menyampaikan langsung (keluhan itu) kepadanya. Ketika mereka datang, Umar berdiri, mengucapkan puja-puji ke hadhirat Allah, lalu berkata, "Wahai sekalian manusia! Wahai rakyatku sekalian! Sesungguhnya kami mempunyai hak yang harus kalian penuhi, (yaitu) nasihat yang tidak terlihat (tidak disampaikan di depan khalayak ramai) dan bantuan untuk melakukan kebaikan. Wahai para pemimpin! Sesungguhnya rakyat juga mempunyai hak yang harus kalian penuhi. Ketahuilah, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih disukai dan lebih dicintai oleh Allah daripada kesantunan dan kelembutan seorang pemimpin. Dan tidak ada kebodohan yang lebih dibenci oleh Allah dan lebih memprihatinkan daripada kebodohan dan sifat kasar seorang pemimpin."

Abu Manshûr berkata, "Sikap tenang adalah benteng keselamatan, sedangkan ketergesa-gesaan merupakan kunci penyesalan."

Ia juga pernah berkata, "Sikap perlahan-lahan (tenang) yang disertai kegagalan itu lebih baik daripada sikap gegabah yang diiringi keberhasilan."

Sebagaimana ia juga berkata, "Caci-maki adalah tanda kebodohan sekaligus kendaraan dosa."

Sikap gegabah dan tergesa-gesa biasanya identik dengan para pemuda dan mereka yang masih belia, dikarenakan ketidaktahuan yang umumnya melekat pada fase usia ini. Oleh karena itu, orang-orang mengatakan, "Pelajarilah secara mendalam (segala sesuatu) sebelum kalian memimpin." Mereka juga mengatakan, "Belajarlah sampai matang sebelum kalian menjadi tuan."

Ibnu Mas'ûd—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata kepada orang-orang yang hidup di zaman beliau, "Kalian berada di satu zaman di mana orang terbaik di antara kalian adalah yang bergegas melakukan kebaikan. Dan akan datang kepada manusia satu masa di mana orang yang terbaik di antara mereka adalah orang yang mau berhenti (untuk berfikir) dan mencari kepastian, karena banyaknya syubhat."

Sifat manusia memang selalu tergesa-gesa. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." [QS. Al-Isrâ': 11]. Sehingga manusia pun tergesa-gesa meminta kejelekan sebagaimana mereka terburu-buru meminta kebaikan. Manusia lebih mengutamakan sesuatu yang cepat meskipun sedikit daripada yang akan datang kemudian meskipun besar. Kadang manusia juga melakukan sesuatu sebelum waktu yang tepat. Oleh karena itu, ketergesa-gesaan yang bersumber dari syahwat selalu dicela di dalam Al-Quran. Sehingga dikatakan, "Ketergesa-gesaan itu berasal dari setan". Tapi bila ketergesa-gesaan itu adalah dalam hal mencari bekal Akhirat, maka itu adalah perilaku terpuji. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman tentang Nabi Musa—`Alaihis salâm—(yang artinya), "…dan aku bersegera kepada-Mu, wahai Tuhanku, supaya Engkau ridha (kepadaku)." [QS. Thâhâ: 84]

Umar ibnul Khatthab—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Sikap perlahan-lahan itu baik dalam seluruh perkara, kecuali sesuatu yang terkait dengan urusan Akhirat."

Al-Hâfizh Ibnu Hajar menghitung mengategorikan sikap tergesa-gesa dan tidak berupaya mencari bukti dalam segala perkara ke dalam dosa besar. Di dalam hadits pun dinyatakan, "Ketergesa-gesaan itu berasal dari Syetan." Karena pada saat tergesa-gesa, Syetan mempromosikan kejahatannya kepada manusia tanpa ia sadari. Berbeda dengan orang yang bersikap tenang dan pelan-pelan saat hendak melakukan suatu perbuatan yang ia inginkan. Dengan sikap itu, ia bisa memperoleh petunjuk dan keyakinan yang kuat. Bila keyakinan itu belum ia peroleh, tidak semestinya ia tergesa-gesa. Bahkan sekalipun dalam hal yang berkaitan dengan kebaikan, sifat tergesa-gesa juga bisa menghilangkan sejumlah ganjaran dan pahala yang mestinya didapatkan. Oleh karena itu, ada ungkapan yang mengatakan, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti di awal urusan yang diinginkannya. Bila perkara itu dirasa adalah untuk Allah, ia lanjutkan. Namun bila itu adalah untuk selain Allah, ia hentikan."

Tergesa-gesa merupakan tanda tidak adanya perhitungan dalam melakukan sesuatu, sekaligus bukti ketidaktahuan terhadap hakikatnya. Hal itu dapat dilihat dari firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):

· "Maka apakah mereka meminta supaya disegerakan azab Kami?" [QS. Asy-Syu`arâ': 204];

· "Mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab. Dan sesungguhnya Jahanam benar-benar meliputi orang-orang yang kafir." [QS. Al-`Ankabût: 54];

· "Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kalian meminta agar disegerakan (kedatangan)-nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan." [QS. An-Nahl: 1]

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Doa setiap kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa, dengan mengatakan, 'Aku telah berdoa, tapi belum dikabulkan'." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Di dalam hadits Ummu Zara' disebutkan bahwa wanita yang ketiga berkata, "Suamiku berpostur tinggi tapi tidak berguna. Kalau aku bicara, aku pasti dicerai (kalau istri menyebutkan kekurangan-kekurangannya, ia langsung menceraikan si istri karena sifat sembrononya). Kalau aku diam, aku terkatung-katung (dibiarkan bagitu saja, tidak menjadi janda dan tidak pula sebagai istri)." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Al-Hasan ibnu Ali—Semoga Allah meridhai mereka—berkata, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kesantunan adalah perhiasan, menepati janji adalah keberanian, tergesa-gesa adalah kebodohan, suka pamer adalah kelemahan, berteman dengan orang-orang yang hina adalah aib, berbaur dengan orang-orang fasik adalah keraguan."

Ungkapan lain juga mengatakan: "Seseorang tidak berhak dinamakan pemimpin sampai memiliki tiga hal: akal, ilmu, dan kemampuan berbicara. Kemudian ia juga lepas dari enam hal: marah, tergesa-gesa, hasad, mengikuti hawa nafsu, berdusta, dan mengabaikan musyawarah."

Imam Malik mencela sikap tergesa-gesa dalam berbagai hal. Ia berkata, "Ibnu Umar membaca surat Al-Baqarah selama delapan tahun." (Artinya, selama masa itu, ia mengumpulkan antara ilmu dan amal sekaligus, sebagaimana metode yang biasa dipakai oleh para shahabat—Semoga Allah meridhai mereka). Imam Malik juga pernah berkata, "Tergesa-gesa adalah suatu bentuk kebodohan."

Sementara Abu Hâtim berkata, "Tergesa-gesa berasal dari sikap keras. Orang yang tergesa-gesa, apabila mendapat kesempatan, perilakunya tidak akan terpuji. Dan apabila tidak mendapat kesempatan, perilakunya juga tercela. Orang yang tergesa-gesa tidak berjalan kecuali menjauh dari tujuan, menyimpang dari kesungguhan, mencari sesuatu yang lebih susah, lebih sulit, dan lebih tersembunyi sebagai jalan. Ia menghukum dengan hukum orang yang bodoh (pandir), sejalan dengan perilaku wanita. Sesungguhnya tergesa-gesa itu akan mendatangkan penyesalan. Tidaklah seseorang tergesa-gesa melainkan akan mendapatkan penyesalan dan memperoleh celaan, karena ketergelinciran selalu bersama ketergesa-gesaan. Sesuatu yang tercela itu tidak akan pernah terpuji."

Dalam wasiatnya kepada anaknya, Al-Khaththab ibnul Ma'la Al-Makhzûmi Al-Qurasyi berkata, "Wahai anakku, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah, mentaati-Nya, serta menjauhi larangan-Nya dengan mengikuti ajaran dan aturan-Nya, sehingga engkau bisa memperbaiki kekurangan-kekuranganmu dan menyenangkan hatimu. Karena sesungguhnya tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah. Dan sesungguhnya aku telah memberimu satu tanda. Jika engkau menjaganya, memperhatikannya, dan mengamalkannya, niscaya engkau bisa menyenangkan para raja, dan membuat tunduk orang yang lemah. Engkau juga akan menjadi orang yang diharapkan, dimuliakan, dibutuhkan, dan apa yang ada di tanganmu akan selalu diharapkan." Hingga sampai kepada perkataanya: "Tergesa-gesa adalah sebuah kesialan, dan perencanaan yang buruk adalah kelemahan."

Karena itu, waspadailah sikap gegabah dan sembrono, karena ia adalah tanda kebodohan dan kelemahan akal. Ia juga sering menjadi penyebab ketergelinciran dan terperosoknya manusia ke dalam kesalahan. pemilik sikap sembrono tidak pantas menjadi pemimpin dan menempati posisi-posisi penting. Sikap ini akan mendatangkan mudharat bagi pemiliknya dan menjatuhkannya ke dalam jurang penyesalan, di saat penyesalan tidak lagi berguna. Mesti ada waktu untuk berpikir dengan tenang dan berupaya mendapatkan kepastian sebelum berbuat, agar kita dapat melihat urusan kita dan urusan orang lain dengan jelas. Dengan itu, diharapkan akan jelas di mana kaki berpijak, dan penghujungnya pun akan menjadi baik.

Alhamdulillâhi rabbil `âlâmîn.

Artikel Terkait