Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. Artikel
  3. POKOK BAHASAN
  4. Islam
  5. Shalat

Hal-hal yang Makruh dalam Shalat

Hal-hal yang Makruh dalam Shalat

Dimakruhkan ketika shalat memalingkan wajah dan dada. Ini berdasarkan pada sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Itu adalah pencurian yang dilakukan oleh Syetan dari shalat seorang hamba." [HR. Al-Bukhâri]. Kecuali jika itu dilakukan karena suatu keperluan, maka tidak ada masalah, seperti dalam kondisi takut (perang) atau karena suatu tujuan yang benar. Jika orang yang sedang mengerjakan shalat memutar seluruh badannya atau membelakangi Ka`bah padahal tidak dalam kondisi takut, maka shalatnya menjadi batal karena meninggalkan syarat menghadap Ka`bah tanpa alasan.

Dengan ini, jelaslah bahwa memalingkan muka dalam kondisi takut tidak masalah, karena itu merupakan sebuah keharusan dalam medan perang. Jika tidak dalam kondisi takut, lalu berpaling dengan wajah dan dada saja tanpa bagian tubuh yang lain, untuk suatu keperluan, itu juga tidak masalah. Tapi, jika dilakukan tanpa adanya keperluan maka hukumnya makruh. Dan jika dilakukan dengan semua badan maka shalat menjadi batal.

· Dimakruhkan ketika shalat mengangkat pandangan ke langit. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengingkari orang yang melakukan itu. Beliau bersabda, "Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat pandangan mereka ke langit dalam shalat mereka?" Bahkan perkataan beliau tentang hal itu begitu keras, hingga beliau mengatakan, "Hendaklah mereka benar-benar berhenti dari itu atau mata mereka akan disambar oleh petir." [HR. Al-Bukhâri]

Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semestinya pandangan seseorang ketika shalat menghadap ke tempat sujud. Tidak semestinya seorang hamba membebaskan pandangannya berkeliaran melihat benda-benda yang ada di hadapannya, seperti: dinding, ukiran-ukiran, tulisan-tulisan, dan sebagainya, karena hal itu akan menyibukkannya dari shalat yag sedang ia kerjakan.

· Dimakruhkan ketika shalat memejamkan kedua mata tanpa ada keperluan, karena itu adalah perbuatan orang Yahudi. Namun jika itu dilakukan karena diperlukan, misalnya: jika di hadapannya ada sesuatu yang mengganggu shalatnya, seperti perhiasan, ukiran, dan sebagainya, maka tidak makruh memejamkan kedua mata. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya.

· Dimakruhkan ketika shalat melakukan duduk iq`â' (duduk seperti duduknya anjing), yaitu membentangkan kedua kaki dan duduk di atas kedua tumitnya. Ini berdasarkan pada sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Jika engkau mengangkat kepalamu dari sujud maka janganlah engkau duduk seperti duduknya anjing." [HR. Ibnu Mâjah]. Dan terdapat hadits-hadtis lain yang semakna dengan ini.

· Dimakruhkan ketika shalat bersandar ke tembok dan sebagainya pada saat posisi berdiri, kecuali karena kebutuhan, karena itu menghilangkan beratnya berdiri. Namun, jika itu dilakukan karena suatu kebutuhan, seperti sakit misalnya, maka tidak masalah.

· Dimakruhkan membentangkan kedua tangan ketika sujud dengan meletakkannya di atas lantai sambil menempelkannya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sempurnakanlah sujud, dan janganlah seseorang di antara kalian membentangkan tangannya seperti anjing." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Dalam hadits yang lain: "Janganlah ia membentangkan tangannya seperti anjing."

· Dimakruhkan juga ketika shalat bermain-main dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat dengan tangan, kaki, janggut, pakaian, atau yang lainnya. Di antaranya juga adalah mengusap tanah tanpa ada keperluan.

· Dimakruhkan ketika shalat berkacak pinggang, yaitu meletakkan tangan di tulang kecil di atas pangkal pinggang. Karena ini adalah perbuatan orang-orang kafir dan orang-orang sombong, dan kita dilarang untuk menyerupai mereka. Larangan mengerjakan shalat dengan berkacak pinggang ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhâri dan Muslim.

· Dimakruhkan ketika shalat membunyikan dan menjalin jari-jemari.

· Seseorang dimakruhkan mengerjakan shalat ketika di hadapannya terdapat hal-hal yang menyibukkan dan mengganggu konsentrasinya, karena itu akan mengganggu kesempurnaan shalatnya.

· Dimakruhkan mengerjakan shalat di tempat yang berisi gambar-gambar, karena itu menyerupai para penyembah berhala, baik gambar-gambar tersebut timbul maupun tidak timbul, berdasarkan pendapat yang benar.

· Dimakruhkan melaksanakan shalat dalam kondisi pikiran yang tidak tenang karena sesuatu yang menganggunya, seperti: menahan buang air kecil, menahan buang air besar, menahan buang angin, suhu yang sangat dingin atau sangat panas, dan kondisi sangat lapar atau sangat haus, karena itu akan menghalangi terwujudnya kekhusyukan.

· Dimakruhkan melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan sudah tersaji. Ini berdasarkan pada sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam: "Tidak ada shalat ketika makan sudah dihidangkan, dan tidak juga bagi orang yang menahan kencing dan buang air besar." [HR. Muslim]. Ini semua untuk menjaga hak Allah—Subhânahu wata`âlâ, agar seorang hamba melaksanakan ibadahnya dengan hati yang tenang dan fokus kepada Tuhan-Nya.

· Dimakruhkan membuat alas khusus untuk kening saat sujud, karena itu merupakan syiar orang-orang Rafidhah (Syiah). Melakukan itu berarti meyerupai mereka.

· Dimakruhkan ketika shalat mengusap kening dan hidung untuk menghapus debu atau benda-benda yang menempel karena sujud. Dan tidak masalah mengusapnya setelah selesai shalat.

· Dimakruhkan ketika shalat melakukan gerakan-gerakan yang tidak bermakna dengan menyentuh janggut, memegang ujung pakaian, membersihkan hidung, dan lain-lain, karena itu mengganggu kekhusyukan shalat.

Yang dituntut dari seorang muslim adalah melakukan shalat dengan sepenuh jiwa dan raganya, tidak disibukkan oleh hal-hal lain di luar shalat. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Peliharalah shalat-shalat (kalian), dan (peliharalah) shalat Wusthâ (Ashar). Berdirilah karena Allah (dalam shalat kalian) dengan khusyuk."

Jadi, yang dituntut dari seorang muslim adalah mendirikan shalat dengan menghadirkan hati dan kekhusyukan, serta melakukan semua hal yang dibolehkan untuk mewujudkan kekhusyukan itu, dan meninggalkan hal-hal yang menghalangi atau menguranginya, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tujuannya adalah agar shalat terlaksana dengan benar serta membebaskan pelakunya dari tuntutan kewajiban. Selain juga agar shalat tertunaikan lengkap dengan gerakan fisik dan kualitasnya sekaligus, tidak hanya dalam bentuk gerakan.

Semoga Allah membimbing kita kepada semua hal yang mengantarkan kita kepada kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan Akhirat.

Wallâhu a`lam.

Artikel Terkait