Islam Web

  1. Fatwa
  2. PUASA
  3. Fidyah dan kafarat Puasa
Cari Fatwa

Kasus-kasus yang Mewajibkan Puasa Dua Bulan Berturut-turut. Dan Bolehkah Rangkaian Dua Bulan Itu Terputus Karena Halangan yang Syar`i?

Pertanyaan

Siapakah orang yang wajib berpuasa 60 hari berturut-turut? Jika hal itu diwajibkan atas seorang perempuan, bagaimana ia berpuasa 60 hari padahal ia akan mengalami haid bulanan? Mohon berikan jawaban yang lengkap tentang hukum-hukum yang mewajibkan berlakunya kafarat seperti ini, terutama bagi kaum perempuan.

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Berpuasa dua bulan berturut-turut diwajibkan dalam tiga kasus:

Pertama: Pembunuhan tidak sengaja. Siapa yang membunuh manusia tanpa alasan yang benar, kemudian tidak bisa mendapatkan seorang hamba sahaya yang muslim untuk dimerdekakan, maka ia wajib berpuasa dua bulan, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga si korban, kecuali jika mereka (keluarga korban) menyedekahkannya. Jika ia (si korban) berasal dari kaum (kafir) yang terikat perjanjian (damai) dengan kalian, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si korban) serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya (hamba sahaya), hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut untuk mendapat penerimaan tobat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." [QS. An-Nisâ': 92]

Kedua: Zhihâr. Orang yang men-zhihâr istrinya (menyamakan istrinya dengan punggung ibunya, sehingga tidak mau menggaulinya), kemudian tidak mendapatkan hamba sahaya untuk dimerdekakan, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Orang-orang yang men-zhihâr istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (mereka wajib) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur (berhubungan badan) kembali. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), diwajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur." [QS. Al-Mujâdalah: 3-4]

Ketiga: Melakukan jimak (hubungan badan suami-istri) pada siang hari bulan Ramadhân. Siapa yang melakukan jimak dengan istrinya pada siang hari bulan Ramadhân, lalu ia tidak bisa memerdekakan seorang hamba sahaya, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.

Orang yang wajib berpuasa dua bulan berturut-turut tidak dibolehkan memutus puasanya kecuali karena suatu uzur (halangan) yang syar`i, seperti: sakit, gila, atau haid. Jika ia memutus rangkaian puasa dua bulan itu karena halangan yang tidak syar`i, ia diharuskan mengulangi kembali puasa dua bulannya dari hitungan awal. Jika ia memutusnya karena suatu halangan yang syar`i, ia wajib meneruskan puasanya secara berturut-turut jika halangannya itu telah hilang, dan memulai dari hitungan terakhir puasanya sebelum ia mendapatkan halangan itu.

Dengan ini, jelaslah bahwa jika seorang perempuan diwajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut, kemudian ia didatangi haid, ia memulai kembali puasanya (setelah haid) dari hitungan terakhir sebelum ia haid.

Kemudian perlu kami ingatkan kepada kaum perempuan, bahwa melakukan jimak di siang hari bulan Ramadhân, menurut pendapat yang paling kuat, tidak menimbulkan

konsekuensi kafarat bagi perempuan, sebagaimana tidak ada hukum zhihâr bagi perempuan berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama).

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait

Cari Fatwa

Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan

Today's most read